Kembali ke Buku dan Pena
Acara yang berlangsung pada pukul 15.30 hingga 18.00 WIB ini menghadirkan dua narasumber yaitu (1) Bu Andalusia Neneng Permatasari seorang pegiat The Ladybook, (2) Bu Dewi Mulyani seorang aktivis perempuan yang telah menulis 23 buku. Diskusi bernyawa literasi berkemajuan ini akan dipantik oleh Bu Tati Sedfar selaku Ketua Lingkar Studi Islam Berkemajuan. Tiga sosok ini termasuk sosok perempuan yang bukan saja peduli dan respek pada kegiatan literasi tapi juga giat berkarya atau menulis terutama menulis buku.
Bagi saya, acara semacam ini terlihat sederhana, namun sangat bermanfaat, bermakna dan berdampak pada upaya bangsa dan negara kita Indonesia untuk mencapai Indonesia Emas 2045 yang terhitung 20 tahun lagi. Kegiatan bernyawa literasi menjadi elemen kunci yang tak bisa dianggap remeh. Tumbuhnya semangat berliterasi di forum penggiat akan menjadi magnet tumbuhnya semangat berliterasi di tengah masyarakat. Di internal Muhammadiyah hal semacam ini mesti terus digiatkan sehingga menjadi bagian dari langkah gerak persyarikatan.
Dengan demikian, kegiatan semacam ini perlu mendapat dukungan dan apresiasi dari berbagai kalangan. Bagaimana pun, kegiatan semacam ini bukan saja membangun lingkaran soliditas dan motivasi sesama penggiat, tapi juga memastikan produktifitas untuk menulis semakin menggeliat. Kita harus akui jumlah penulis dan buku yang terbit masih kurang dan sebanding dengan jumlah penduduk Indonesia. Tentu daya baca perlu ditingkatkan, sehingga buku berdampak pada kualitas masyarakat Indonesia, terutama pembaca yang menikmati bukunya.
Selama ini sebagian penulis buku tak begitu bersemangat menulis buku karena memang tak ada garansi buku berdampak pada pemenuhan kebutuhan hidup. Namun demikian, tak sedikit yang terus berkarya di tengah kondisi yang tak selalu bersahabat itu. Selain itu, karena tidak mendapat anggaran khusus dari negara, sebab penulis tidak masuk kategori profesi yang mendapat anggaran khusus seperti profesi lainnya: dokter, dosen, guru, TNI, Polri dan sebagainya. Namun penulis pejuang selalu punya alasan untuk berkarya, apapun kondisinya. Termasuk penulis buku biografi tokoh dan serupanya.
Tema forum ini mengingatkan saya pada pentingnya buku sekaligus menulis buku. Mengapa? Pertama, menulis adalah tradisi mulia. Ia adalah warisan autentik perjalanan sejarah umat manusia, terutama peradaban Islam. Generasi awal Islam dan setelahnya adalah generasi yang akrab dengan tradisi menulis. Para sahabat nabi shallallahu 'alahi wasallam adalah sosok intelektual yang sebagiannya akrab dengan tradisi menulis. Keterbatasan fasilitas atau sarana tak membuat mereka sepi dari tradisi yang digariskan oleh surat al-'Alaq ayat 1 ('Iqra') dan QS. Nun ayat 1 ("Nun. Demi pena dan apa yang mereka tuliskan") ini.
Kedua, buku adalah media dokumentasi yang berabad-abad. Buku dapat menjadi media dokumentasi ide atau pemikiran penulis tentang apa saja yang menjadi fokus ulasan pada buku karyanya. Bagi sebagian orang, mendokumentasi ide atau gagasan itu tak perlu. Tapi bagi mereka yang menghargai ide atau gagasan sebagai anugerah Allah, bakal berupaya untuk menjaga termasuk dengan mendokumentasikannya. Bagaimana pun, ide atau gagasan yang muncul sangat berharga dan bermakna. Dan satu fakta yang paling nyata adalah buku telah menjadi media literasi yang paling lama, lintas abad dan peradaban.
Ketiga, menjadi warisan untuk anak dan keturunan selanjutnya. Selain harta dan serupanya, maka buku sejatinya dapat menjadi warisan yang sangat berharga untuk anak dan cucu. Adanya buku dapat menjadi sumber bacaan dan inspirasi bagi mereka tentang banyak hal. Buku dalam tema yang beragam dapat menjadi sumber motivasi dan penyemangat bagi mereka untuk menjalani karier dan kehidupan. Mereka bisa belajar bagaimana langkah yang tepat untuk mengisi seluruh relung kehidupan sehingga produktif dan bermakna. Buku menjadi bacaan yang menemani dalam segala situasi dan kondisi.
Di internal persyarikatan Muhammadiyah sendiri jumlah penulis masih sedikit. Bila pada era 1990-an hingga 2000-an penulis yang berlatar belakang Muhammadiyah cukup banyak, maka belakangan ini sepertinya mulai berkurang. Hal ini bisa dipahami dari penulis rutin di Suara Muhammadiyah, Website resmi Muhammadiyah dan Website Suara Muhammadiyah yang terlihat itu-itu saja. Tak salah memang, namun bila terus-terusan maka berdampak pada mengurangnya minat pembaca yang sedikit banyak lebih tertarik pada penulis baru. Karena tulisan bukan saja soal kualitas tapi juga trend dan selera pembaca.
Karena itu, forum semacam ini menjadi trigger yang baik untuk membangun kesadaran pentingnya menulis terutama menulis buku. Selain itu, forum seperti ini juga dapat membangun kolaborasi yang lebih intens antar sesama penulis atau yang memiliki ketertarikan dengan dunia kepenulisan. Dengan demikian, ajakan untuk kembali ke buku dan pena memberi ketegasan pada kita semua untuk membangun kesadaran bahwa menulis itu punya peran besar dalam mencerahkan dan mencerdaskan masyarakat, bahkan untuk menghadirkan peradaban manusia yang berkemajuan. Akhirnya, "Nun. Demi pena dan apa yang mereka tuliskan". (QS. Nun: 1). (*)
* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku "Muhammadiyah: Ide, Narasi dan Karya"
Komentar
Posting Komentar