100 Tahun SDK Cereng: Pak Martinus Tjama dan Tradisi Literasi Alumni


Sekolah Dasar Katolik (SDK) Cereng merupakan salah satu lembaga pendidikan pendidikan formal tingkat dasar yang sudah menjalankan proses kegiatan belajar dan mengajar (KBM) sejak 8 Agustus 1900. Saat itu masih dalam bentuk tenda kecil dan hanya bisa menampung puluhan siswa dari berbagai kampung, dari Cereng dan sekitarnya. Kelak, didirikanlah bangunan sekolah dan secara resmi sekolah ini didirikan pada 8 Agustus 1925. 

Pada awalnya sekolah ini berlokasi di Cereng (kampung lama), lalu pada tahun 1975 lokasi sekolah berpindah ke Lember (Cereng baru) yang masih termasuk kampung Cereng atau dikenal juga sebagai Golo Molas. Dari dekade ke dekade sekolah ini berkembang pesat dan meluluskan ribuan siswa dari berbagai tempat. Alumninya pun sudah ada yang bergelar doktor, magister dan sarjana. Mereka berkarir di berbagai lembaga dan institusi lintas profesi, baik PNS/ASN maupun swasta. 

Mengenang SDK Cereng, saya menjadi teringat salah satu kepala sekolah terlama di era 1980-1990-an bahkan 2000-an. Saya lupa berapa lama beliau menjabat. Namanya Pak Martinus Tjama. Pak Martinus, demikian saya menyapanya, merupakan salah satu guru generasi pelanjut atau penerus dari guru-guru sebelumya. Pak Martinus merupakan guru yang multitasking alias serba bisa. Kemampuannya dalam mengajar tak bisa dianggap enteng. Penguasaannya pada berbagai mata pelajaran juga sangat layak diacungi jempol. Semua mata pelajaran dikuasainya. Benar-benar guru serba bisa. 

Salah satu warisan terbaik Pak Martinus yang selalu saya ingat adalah tradisi literasi. Literasi memang bukan saja baca dan tulis, tapi kedua hal ini adalah tradisi literasi yang paling dasar. Dua hal itulah yang menjadi warisan utama dari sosok guru yang dikenal tegas dan disiplin ini. Saya masih ingat salah satu nasehat sang guru saat saya masih menempuh pendidikan di SDK Cereng medioa 1990-1996. "Kalian harus rajin baca dan tulis. Apapun yang disampaikan oleh Bapak dan Ibu Guru harus ditulis dan dibaca ulang. Sehingga nanti bisa diperdalam saat studi sore atau studi malam. Manfaatnya akan kalian rasakan nanti," ungkapnya kala itu. 

Pertama, tradisi baca. Pak Martinus bukan sekadar meminta para siswa untuk rajin membaca buku-buku pelajaran yang saat itu jumlah bukunya masih tergolong sedikit. Tidak hanya meminta untuk membaca rangkuman pelajaran. Sang guru juga memulainya dengan rajin membaca buku dan rangkuman materi karyanya. Bila para siswa sedang mengerjakan tugas di kelas, Pak Martinus biasa membaca buku di ruang guru. Di mejanya tersedia buku-buku yang rutin dibaca. Baik buku yang sedang diajar pada satu hari tertentu maupun yang akan disampaikan pada mentum pembelajaran di hari selanjutnya. 

Bahkan saat jadwal studi malam di sekolah maupun di rumah guru, Pak Martinus selalu mengingatkan agar para siswa terlebih dahulu membaca buku terutama pelajaran atau tema yang sedang diperdalam. Bayangkan saja, Pak Martinus meminta agar para siswa membaca bukan sekali tapi berkali-kali. Hal-hal yang butuh penjelasan lebih mendalam, nantinya akan diperjelas pada saat diskusi atau tanya jawab. Dan salah satu yang menarik adalah Pak Martinus bukan sekadar menyuruh para siswa, tapi beliau sendiri memberi contoh. 

Kedua, tradisi tulis. Menulis merupakan salah satu tradisi kunci dalam pembelajaran di berbagai lembaga pendidikan, termasuk di SDK Cereng saat itu hingga saat ini. Ketersediaan buku yang terbatas memang menjadi salah satu alasan mengapa tradisi menulis di SDK Cereng begitu masif. Tapi yang paling utama adalah karena para gurunya terutama Pak Martinus adalah sosok guru yang aktif menulis. Saya masih ingat bagaimana beliau aktif menulis poin pelajaran bidang studi sehari-hari. Selalu ada rangkuman yang segera disalin oleh para siswa. 

Suatu ketika saya dan teman-teman angkatan saya terpilih menjadi delegasi lomba cerdas cermat tingkat gugus. Saat itu saya dan tim menjadi pemenang dan kelak menjadi delegasi ke tingkat selanjutnya yang diadakan di Labuan Bajo. Saat itu, Labuan Bajo masih ibukota kecamatan Komodo, belum menjadi ibukota kabupaten Manggarai Barat seperti sekarang. Saat itu sekolah lain mengandalkan buku, sementara saya dan kawan-kawan masih mengandalkan buku catatan atau rangkuman yang biasa digunakan saat di sekolah. 

Seingat saya, rerata para guru di SDK Cereng saat itu adalah pembaca buku yang sangat aktif. Mereka juga penulis yang aktif. Walau sekadar membaca buku pelajaran, hal itu menjadi motivasi dan inspirasi tersendiri bagi para siswa. Begitu juga tradisi menulis, hal itu menjadi kesan terbaik bagi para siswa bila mengenang para guru SDK Cereng. Pak Martinus merupakan salah satu guru yang mewarisi dua hal tersebut: baca dan tulis. Saya sangat yakin, walau pun sudah meninggal, tapi catatan beliau masih terjaga sampai sekarang di SDK Cereng. Bagi saya, itu bukan sekadar warisan berharga tapi juga saksi sejarah. 

Saya harus akui bahwa saya termasuk salah satu siswa yang sangat bangga memiliki guru dan pernah diajar oleh sosok guru hebat seperti Pak Martinus. Beliau sosok guru yang telaten, disiplin dan tegas. Dan yang tak kalah pentingnya adalah beliau salah atau guru yang melek literasi. Bahkan sebelum gerakan literasi menjadi gerakan nasional. Dari SDK Cereng nun jauh di pelosok negeri sudah menjalankan program itu sejak lama, puluhan bahkan satu abad yang lalu oleh para guru, generasi sebelum hingga Pak Martinus dan setelahnya.  

Saat ini saya sudah menulis 60-an judul buku, salah satunya "Selamat Datang Di Manggarai Barat". Di samping itu, belasan buku biografi tokoh nasional. Ini bukan pekerjaan ringan, sebab tantangan dalam menciptakan karya tulis terutama buku butuh modal tak sedikit. Dari ide dan tenaga hingga waktu dan biaya. Tetapi itu tak seberapa bila dibandingkan dengan kesungguhan dan keseriusan Pak Martinus dan guru-guru lainnya untuk mendidik saya dan generasi setelah saya untuk giat dalam menjaga tradisi baca dan tulis. Pada setiap buku yang saya hadirkan ada keringat Pak Martinus dan para guru lainnya. Bagi saya, mereka adalah para pahlawan pendidikan sekaligus pahlawan literasi. 

Pada HUT RI ke-80 dan HUT SDK Cereng ke-100 tahun ini adalah momentum terbaik bagi saya dan siapapun yang pernah dididik oleh Pak Martinus dan para guru lainnya untuk menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas lakon sejarah yang mereka perankan. Mereka memang tidak pernah berharap disebut sebagai pahlawan, tapi lakon mereka adalah lakon kepahlawanan yang tersejarahkan. Jujur saja, saya harus akui bahwa saya dan siapapun alumni SDK Cereng tidak akan pernah menjadi siapa-siapa seperti saat ini kalau bukan karena ada kontribusi mereka. Terima kasih para guru, maju terus SDK Cereng! (*)


* Oleh: Syamsudin Kadir, Siswa SDK Cereng Media 1990-1996  


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok

Anatomi dan Klasifikasi Ayat-Ayat Al-Qur’an