Tradisi Menulis Doktor Adian Husaini dan Keluarga
Sepengetahuan saya, semoga tak keliru, Pak Nuim, demikian akrab saya menyapanya, merupakan salah satu penulis aktif untuk berbagai media terutama media online beberapa tahun terakhir. Khusus untuk buku, beliau suka menulis tema-tema pergerakan dan dinamika peradaban. Di samping itu, juga tentang keislaman dan rumah tangga atau parenting. Untuk beberapa kesempatan juga menjadi narasumber atau pembicara berbagai kegiatan.
Titik temu saya dengan Pak Nuim adalah pada tradisi literasi. Bukan saja membaca tapi juga menulis. Selain itu juga isu-isu kekinian yang menjadi konsen bersama, sehingga walau pun tak bersua secara fisik namun kami tetap memiliki koneksi yang cukup kuat. Makanya dalam beberapa tulisan beliau, saya selalu menjadi pembaca setia. Bukan sekadar untuk lebih memahami isu kekinian, tapi juga untuk belajar menulis sehingga semakin produktif menghasilkan karya.
Apalah lagi akademisi sekaligus cendekiawan muslim Dr. Adian Husaini (Doktor Adian) yang merupakan kakak kandung beliau sudah saya kenal sejak lama. Saya pun semakin tertarik untuk membaca karya-karyanya. Buku-buku Doktor Adian, demikian saya akrab menyapa beliau, juga sudah saya baca sejak lama. Misalnya, buku Penyesatan Opini (2002), Tantangan Sekularisasi dan Liberalisasi di Dunia Islam (2004), Pragmatisme Dalam politik Zionis Israel (2004), Wajah Peradaban Barat (2005), dan Hegemoni Kristen - Barat Dalam Studi Islam Di Perguruan Tinggi (2006).
Berikutnya buku Virus Liberalisme di Perguruan Tinggi Islam (2009), Membendung Arus Liberalisme Di Indonesia (2009), KEMI: Cinta Kebebasan yang Tersesat (2010), Membangun Peradaban dengan Ilmu (2010), Filsafat Ilmu: Perspektif Barat dan Islam (2013), Pluralisme Agama: Telaah Kritis Cendekiawan Muslim (2013), Mewujudkan Indonesia Adil dan Beradab (2015), dan Kerukunan Beragama dan Kontroversi Pengunaan Kata "Allah" Dalam Agama Kristen (2015).
Lalu buku 10 Kuliah Agama Islam (2016), Pendidikan Islam: Kompilasi Pemikiran Pendidikan (2018), dan Kiat Menjadi Guru Keluarga: Menyiapkan Generasi Pejuang (2019), Jangan Kalah Sama Monyet (2020), Islam dan Pancasila (2020), Mengenal Sosok dan Pemikiran Syed Muhammad Naquib al-Attas dan Wan Mohd Nor Wan Daud (2020), dan Perguruan Tinggi Ideal Era Disrupsi Pasca Covid-19: Konsep dan Aplikasinya (2020).
Berikutnya, buku Pemikiran dan Perjuangan M. Natsir dan Hamka dalam Pendidikan (2021), Rasional Tanpa Menjadi Liberal (2021), Bersama Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia Mewujudkan Indonesia Adil-Makmur 2045 (2021), 55 Tahun Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia - 1967 - 2022 (2022), Beginilah Pendidikan Nasional yang Ideal: Konsep, Aplikasi, Tantangan dan Solusinya (2022), Mohammad Natsir: Negarawan, Guru, Dai Teladan (2025) dan masih banyak buku lainnya.
Selain buku, Doktor Adian dan Pak Nuim juga kerap menulis artikel untuk berbagai media online. Temanya beragam dan tentu saja menarik untuk dibaca. Saya termasuk yang mentahbiskan diri sebagai pembaca setia buku dan tulisan beliau lainnya. Di samping itu juga berupaya menghadiri berbagai forum dimana beliau menjadi narasumber, baik secara offline maupun online. Hal ini saya lakukan lebih dari hubungan baik tapi juga ketertarikan pada konsistensi dua sosok ini dalam menulis tema-tema yang aktual juga konektif dengan kegiatan dakwah dan pergerakan Islam.
Bila ditelisik, ternyata "kakak-adik" ini merupakan dua sosok intelektual yang berpengalaman di dunia jurnalistik era 1990-an dan 2000-an. Mereka kerap menulis berita, di samping berbagai artikel untuk berbagai media massa kala itu. Sebut saja Republika. Majalah ISLAMIA juga selalu hadir dengan tulisan Doktor Adian dan koleganya di INSISTS seperti Prof. Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi dan sebagainya, dan beberapa media lainnya. Saya termasuk yang aktif membaca media-media tersebut saat masih aktif.
Bila dulu sering dikirim untuk surat kabar, maka belakangan ini Doktor Adian dan adiknya sering menulis untuk berbagai media online. Uniknya, temanya beragam, tentu dengan bahasan kekinian dan diksi yang mudah dicerna pembaca. Pembacanya juga tergolong banyak dan berasal dari beragam latar belakang. Di samping itu, mereka juga aktivis tulen sehingga begitu aktif di berbagai organisasi. Termasuk mengajar di perguruan tinggi yang berbeda.
Hal itu dilakoni sejak lama, seingat saya sejak tahun 2000-an. Kemudian, selain itu kini keduanya menggawangi Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia (DDII). Sebuah organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam yang dulu didirikan oleh tokoh sekaligus pahlawan nasional Pak Mohammad Natsir (Pak Natsir). Bila Doktor Adian mendapat amanah sebagai Ketua Umum Dewan Da'wah Pusat, maka Pak Nuim pernah diamanahi sebagai Ketua Dewan Da'wah Kota Depok dan kini sebagai Dewan Pembinanya.
Rupanya tradisi literasi terutama tradisi menulis dua sosok ini diikuti juga oleh anak-anak Doktor Adian terutama Bana Fatahillah dan Fatih Madini. Bana Fatahillah telah menulis buku pertama berjudul Capita Selecta: Pendidikan dan Pemikiran Islam Dari Teras Al-Azhar (2021). Kemudian Fatih Madini menulis buku pertama berjudul Reformasi Pemikiran Pendidikan Kita (2020). Bila sang kakak (Bana Fatahillah) menulis setelah kembali dari Allah Azhar, sementara sang adik menulis buku tersebut saat masih berusia 17 tahun, atau saat masih menjadi mahasiswa di At-Taqwa College, Depok.
Dari keluarga Doktor Adian inilah, saya dan tentu juga pembaca di luar sana, bisa belajar menulis. Menulis sejatinya bisa dilakukan oleh siapapun. Asal memiliki niat dan tekad yang kuat, menjaga semangat dan telaten dalam menulis, maka insyaa Allah bisa menghasilkan tulisan yang layak dibaca. Mungkin untuk menulis buku butuh waktu yang cukup, maka sebagai proses belajar dan awal, mulailah dari hal-hal sederhana. Tulislah tentang apa yang terlintas dalam pikiran kita. Lalu, kirim ke media massa dan media online yang sekarang sedang menjamur. Atau kita publikasi di blog dan akun media sosial pribadi kita.
Setahu saya Doktor Adian dan Pak Nuim tidak terlahir dari orangtua atau leluhur yang berlatar penulis. Tapi mereka, termasuk anak-anak Doktor Adian begitu giat belajar, selain secara otodidak juga belajar kepada para tokoh yang akrab dengan tulis menulis. Selain Pak Natsir, para tokoh Dewan Da'wah lainnya adalah penulis kawakan. Pak Natsir menjadi salah satu sosok yang menginspirasi banyak kalangan, termasuk keluarga Doktor Adian ini. Apalah lagi era 1990-an dan 2000 adalah era mulai dibukanya ruang bagi media untuk tumbuh, pada saat itulah mereka semakin gandrung pada dunia kepenulisan, hingga saat ini.
Satu hal yang penting dan menarik untuk diingat juga dipelajari secara mendalam oleh kita yang baru mulai belajar menulis bahwa ternyata Doktor Adian dan keluarganya ini tidak berprofesi sebagai penulis. Mereka sehari-hari fokus mendidik dan menekuni aktivitas keormasan, juga kegiatan sosial keagamaan lainnya. Tapi tidak diragukan lagi bahwa mereka sangat konsen untuk menulis dan menghasilkan karya tulis yang menarik dan dinanti bahkan diburu pembaca. Bukan saja artikel untuk berbagai media massa dan media online, tapi juga buku dalam berbagai judul.
Penggiat literasi terutama para penulis pemula perlu banyak belajar pada Doktor Adian dan keluarga. Mereka menekuni dunia kepenulisan sudah puluhan tahun. Itu artinya, belajar menulis itu butuh waktu yang panjang, terutama untuk mencapai karya tulis yang bermutu. Selebihnya, bila Doktor Adian dan keluarga sudah menulis dan berkarya, lalu kapan kita memulai, dan hendak menulis apa atau menulis tentang apa? Atau, bila sudah memulai, masih kah kita bermalas-malasan untuk menulis alias menghasilkan karya hanya karena kesibukan yang sejatinya masih bisa disiasati? Jujurlah, bahwa kita sejatinya selalu punya waktu dan alasan untuk menulis, terutama untuk menulis buku. (*)
* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Belasan Buku Biografi Tokoh
Komentar
Posting Komentar