BEM Terpecah Belah dan Mati Oleh Dirinya Sendiri
Pertanyaannya, mengapa BEM muncul dalam beragam nama bahkan sudah masuk kategori terpecah belah? Apakah BEM menjadi demikian karena dipecah belah oleh sebuah rezim tertentu? Sekadar opini. Sebetulnya yang memecah belah BEM itu ya BEM itu sendiri. Kalau mereka konsisten dan berpegang pada nilai-nilai luhur perjuangan, tidak bakal mampu dipecah belah oleh siapapun. Kalau mereka bergerak karena membela kepentingan rakyat maka tak ada yang mampu merusak niat dan tujuan baik mereka kecuali diri mereka sendiri.
Tapi mana tahan bila bea siswa sudah menanti. Melanjutkan S2 dengan syarat ini itu tentu menarik dan tak sedikit yang terjebak pada agenda jangka pendek. Nilai perjuangan disimpan di meja organisasi, itu pun sekadar tulisan. Sisanya adalah "jual diri" untuk tujuan sesaat, bahkan mungkin jangka panjang, tapi sifatnya untuk kepentingan pribadi. Ditambah lagi ketika melihat senior mereka mendapat jabatan ini itu setelah dari BEM. Mereka juga ingin mendapatkan hal yang sama setelah di BEM kelak.
Sebagai modal awal, mereka perlu memiliki basis massa. Menjadi aktivis BEM atau pejabat di BEM paling hanya beberapa bulan atau tahun. Maka setelah di BEM, mereka tetap menjaga basis massa itu. Itu modal pendukung bila hendak mendapatkan sesuatu di luar kampus. Bahkan tak sedikit yang menancapkan taringnya di basis massa. Bukan saja di satu perguruan tinggi, tapi di banyak perguruan tinggi. Seperti juga yang dilakukan senior mereka, generasi sebelumnya. Jadi, ini warisan lintas generasi.
Naifnya, hal itu ditempuh tak selalu untuk mendidik generasi dan regenerasi yang normal, tapi terutama untuk menguasai secara masif basis massanya. Hanya itu. Agar suatu saat dapat dimanfaatkan untuk kepentingannya. Karena setiap orang punya selera dan kepentingan bahkan cantolan, akhirnya organisasi dikorbankan untuk kepentingan semacam itu. Organisasi diperebutkan untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Walaupun benderanya "publik", substansinya adalah pribadi atau kelompok.
Hal lain, dapatlah dipahami bahwa berkarier di jalur politik, perusahaan negara dan serupanya butuh jam terbang. Salah satunya pengalaman di BEM. Maka berkarier di BEM sebagai bagi loncatan penting. Maka berbagai cara harus ditempuh. Termasuk cara-cara curang. Saling sikat dan sikut jadi hal biasa. Pokoknya yang penting "saya" atau paling tidak yang penting "kami". Pola semacam itu diwariskan kepada generasi setelahnya. Atau paling tidak kepada jangkar-jangkar yang dipasang dalam melanggengkan kekuasaannya.
Maka organisasi semacam BEM pun benar-benar menjadi rebutan. Tidak selalu oleh kalangan yang berbeda latar belakang, bahkan dengan sesama yang punya latar yang sama. Bukan saja karena bisikan alumni atau senior mereka yang kadang usil, tapi juga oleh selera pribadi demi karier jangka panjang. Sebab bila BEM tak direbut maka keinginan untuk berkarier jangka panjang bisa tersandera sejak dini. Bila tak melakukan penguasaan sekian tahun maka basis massa bisa habis dan tak dapat direbut kembali.
Adanya selera personal yang begitu dominan membuat organisasi semakin pincang. Mereka yang aktif di organisasi untuk tujuan serius: mematangkan potensi dirinya justru terdistorsi oleh kepentingan sebagian elite BEM seperti itu. Ujungnya, ada yang aktif lalu mengundurkan diri dari barisan BEM. Karena fenomena tadi, munculnya berbagai faksi yang terlihat jelas. Atau pun mereka tetap di BEM, tapi sekadar menyetor muka. Sehingga mereka yang "independen" nyaris tak mendapat ruang. Mereka diperlakukan sebagai penonton, bahkan hanya sebagai anjing penggonggong.
Dampaknya, mereka yang punya kepentingan berlabel "personal" tadi seperti jalan sendiri tapi eksis. One man one show. BEM jadi panggung sendiri. Terlihat dan atas nama keragaman padahal bukan, sebab selera personal dan kelompoknya terlalu dominan. Di sinilah saldo nilai-nilai luhur semakin menipis. Kepentingan pribadi dan kelompok menjadi standar perjuangan bahkan dikibarkan di mana-mana. Mereka yang berbeda warna dianggap musuh dan harus disingkirkan. Tak ada ruang untuk kolaborasi dan lahirnya ide-ide cemerlang dari dapur yang berbeda.
Dampaknya, organisasi menjadi ajang saling menghakimi dan terus menerus mengklaim: "kami" dan "mereka". Sejak dini organisasi BEM menjadi medan untuk saling menggergaji kebersamaan, mengikis kolaborasi dan mengubur nilai-nilai perjuangan mahasiswa itu sendiri. Pola semacam ini terjadi berulang kali dan pasti menimbulkan sekaligus membawa energi dendam tak berkesudahan. BEM pun terpecah belah dan mati di kandangnya sendiri. Bukan selalu oleh orang atau institusi lain, sebab yang utama adalah oleh dirinya sendiri, oleh BEM itu sendiri (*)
* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku "Pemuda Negarawan"
Komentar
Posting Komentar