Menelisik Eksistensi Pendidikan Luar Sekolah
Pendidikan
Luar Sekolah (PLS)
merupakan salah satu jenis pendidikan
yang diselenggarakan oleh lembaga
pendidikan non formal yang bukan pendidikan formal dan informal (UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas, Pasal
13 ayat 1). Dalam UU tersebut dijelaskan bahwa, “Pendidikan non formal diselenggarakan bagi warga
masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan
yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan
formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat.” (Pasal 26 ayat 1)
PLS sendiri muncul karena beberapa alasan, diantaranya, pertama, dari
fakta sejarah. (1) Sejarah perolehan pendidikan. Pendidikan
yang diperoleh sebelum anak menjadi siswa di sekolah formal adalah ketika anak berada dalam keluarga terutama kedua orangtuanya. Pendidikan yang
diperoleh dalam keluarga ini merupakan pendidikan yang terpenting terhadap
perkembangan pribadi anak. (2)
Kebutuhan pendidikan. Semakin dibutuhkannya berbagai
macam keahlian dalam menyongsong kehidupan yang semakin kompleks dan penuh
tuntutan, maka sangat wajar kalau masyarakat
menghendaki berbagai penyelenggaraan pendidikan dengan program keahlian. (3) Keterbatasan sistem
persekolahan. Sistem persekolahan, mengharuskan siswa
berada dalam bentuk menyeluruh dan keahlian yang sejenis sehingga mereka
terasing dari pengetahuan dan keahlian lain. (4)
Potensi sumber
belajar. Dipahami bahwa sumber belajar menyebar
di sekitar lingkungan kehidupan. Tidak hanya terfokus pada perpustakaan, koran,
majalah, video dan serupanya
yang
merupakan sumber belajar yang bisa memenuhi kebutuhan yang berguna bagi
seseorang.
Kedua, dari segi analisis perspektif. (1) Pelestarian
identitas bangsa. Bahwa nilai
dan prinsip luhur bangsa sebagai identitas bangsa yakni
penerusan kebudayaan nasional mesti
diwariskan secara masif lintas generasi, sehingga Indonesia memiliki imunitas
dan lebih berperan aktif dalam percaturan dunia-global. (2) Kecenderungan belajar individual. Kecenderungan dan keinginan belajar seseorang tidak
bisa dihalangi. Kecenderungan
ini juga diperkuat oleh kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi informasi dan telekomunikasi, serta kemudahan
komunikasi antar manusia dari berbagai latar belakang. Ketiga, dari segi formal kebijakan, meliputi: (1) Pembukaan UUD 1945 serta UUD 1945 Pasal 31 ayat (1) dan Pasal 31 ayat (3).
Masalah
dan Solusi
Tanpa menafikan peranan penting PLS, faktanya PLS masih
dihadapkan dengan berbagai permasalahan serius, misalnya, pertama,
PLS belum mendapat pemahaman dan perhatian
yang proporsional dari berbagai
kalangan, serta masih dianggap bukan bagian dari penyelenggara pendidikan,
sehingga dukungan,
respon serta anggaran yang maksimal yang menjadi penopang utama pemerataan
pelayanan PLS bagi masyarakat di berbagai
lapisan dan di berbagai daerah
belum dapat dilaksanakan secara optimal.
Kedua,
masih terbatasnya jumlah dan mutu tenaga profesional pada institusi PLS di
tingkat pusat dan daerah dalam mengelola, mengembangkan dan melembagakan PLS. Ketiga, masih terbatasnya sarana dan prasarana
PLS baik yang menunjang penyelenggaraan maupun proses pembelajaran PLS itu sendiri. Keempat, ketergantungannya penyelenggaraan kegiatan PLS masih pada tenaga sukarela sehingga
tidak ada jaminan kesinambungan pelaksanaan program PLS. Kelima, belum masifnya
partisipasi masyarakat dalam memprakarsai penyelenggaraan, pelembagaan dan pengevaluasian PLS.
Dalam konteks itu, ke depan PLS mesti memperhatikan
beberapa hal penting, yaitu, pertama,
memperluas daya jangkau dengan fokus utama masyarakat
yang memang berhak mendapatkan PLS sehingga penyelenggaraan PLS merata dan terjangkau
dan mengalami kemajuan yang sangat signifikan.
Kedua,
PLS diarahkan untuk menghasilkan lulusan yang sesuai dengan kebutuhan pasar dengan tetap menjaga
kualitas aspek akademik. PLS harus mampu meningkatkan kualitas peserta didiknya dalam hal pengetahuan, keterampilan, profesionalitas, produktivitas,
dan daya saing dalam merebut peluang pasar dan peluang usaha. Ketiga,
meningkatkan peran serta masyarakat dan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan
dan pengelolaan PLS, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, serta
pembiayaannya sehingga pelembagaan penyelenggaraan PLS yang dikelola oleh,
dari, dan untuk masyarakat mengakar pada mekanisme perkembangan lingkungan
masyarakat, di samping mengembangkan
sistem komunikasi dan informasi di bidang PLS, termasuk fasilitas atau
sarna-prasarana penunjang yang perlu ditingkatkan mutunya.
Dalam pandangan Marjohan (2010), pendidikan bisa menjadi engine of growth, sebagai penggerak dan
lokomotif bagi pembangunan diri dan pembangunan bangsa. Diakui bahwa pendidikan diandalkan untuk
mengatasi masalah kemanusiaan akibat krisis global. Kecemasan banyak pihak
terhadap kehidupan pada era global ini, menuntut kemampuan bersaing yang amat
tinggi pada satu pihak, dan ketangguhan menghadapi perubahan yang cepat pada
pihak yang lain. Pada sistuasi seperti ini, manusia menaruh harapan pada
pendidikan. Kehidupan era global secara lebih jauh dianggap sebagai ancaman
bagi eksistensi umat manusia pada “masa akhir”, yang akan datang. Pada saat
itulah, untuk kedua kalinya, pendidikan diandalkan dapat menjaga eksistensi
manusia sebagai pembangun peradaban.
Memperhatikan penjelasan tersebut dan penjelasan UU No.
20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas, Pasal 13 ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1) dapat dipahami bahwa keberadaan PLS sejatinya menjadi satu
kesatuan yang utuh dengan jenis pendidikan lain, baik pendidikan formal maupun
pendidikan informal. Dengan begitu, PLS mesti didukung oleh berbagai stakeholder dan terus ditumbuh-kembangkan dalam
kerangka mewujudkan pendidikan berbasis masyarakat yang lebih maju, dinamis, kompetitif,
konektif dan kontributif bagi kemajuan dunia pendidikan, dunia kerja dan
berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara lainnya. [Oleh: Syamsudin Kadir—Direktur Eksekutif Penerbit Mitra
Pemuda. Tulisan ini dimuat pada halaman 2 Koran Rakyat Cirebon edisi
hari Selasa 14 Maret 2017]
Komentar
Posting Komentar