Konsepsi Islam tentang Pengetahuan
DALAM sejarah
peradaban Islam, konsep ilmu pengetahuan meresap ke dalam jiwa umat Islam sebagai
identitas dirinya. Bahkan menurut Mursalim (2010) al-Qur’an sendiri menyebut
akar kata “ilmu” dan kata turunannya tidak kurang dari 744 kali. Di sini sangat
jelas bahwa Islam konektif dengan ilmu pengetahuan bahkan menjabarkannya secara
konseptual dan bahkan dalam perkembangannya dapat diteorisasikan dalam bentuk
pengembangan atau cabang-cabang ilmu pengetahuan.
Dengan demikian, maka kita dapat mengatakan bahwa sifat penting dari konsep pengetahuan dalam al-Quran
adalah holistik dan utuh. Di dalam Islam—dalam hal ini sebagaimana ditegaskan
oleh Nabi Muhammad Saw. dalam banyak hadits—pencarian pengetahuan oleh
seseorang bukanlah sesuatu yang tidak mungkin, tetapi harus, dan dianggap
sebagai kewajiban bagi semua Muslim yang bertanggung jawab.
Dengan ilmu pengetahuan, Allah telah memuliakan
manusia. Nabi Adam ’alaihis salam
diangkat derajatnya oleh Allah di atas para malaikat karena Allah telah
menganugerahkan kepadanya ilmu pengetahuan. Dalam al-Qur’an (QS. Al-Mujadilah:
11) Allah juga berjanji akan mengangkat orang-orang yang beriman dan
orang-orang yang berilmu pengetahuan dalam banyak tingkatan derajat. Semua ini
mempertegas kemuliaan orang yang berilmu pengetahuan dalam perspektif Islam.
Dalam perspektif al-Qur’an (QS. Ali ‘Imran: 189-191) dijelaskan
bahwa orang yang berilmu pengetahuan, yaitu orang yang senantiasa merenungi
ayat-ayat kauniyah, lalu sampai pada kesadaran dan pengakuan pada kebesaran
Allah, dan akhirnya sampai pada puncak rasa takut kepada-Nya. Dengan begitu,
ilmu pengetahuan semestinya mengantarkan pemiliknya pada peningkatan ketakwaan
dan rasa takut kepada Allah. Maknanya, dalam Islam seseorang baru disebut
berilmu pengetahuan jika ilmu pengetahuan yang dimiliknya mengantarkannya pada
rasa takut kepada Allah. Dengan perspektif seperti inilah kita memahami firman
Allah dalam al-Qur’an Surat Faathir ayat 28, “Diantara hamba-hamba Allah yang takut kepada Allah hanyalah ulama (orang-orang
yang berilmu pengetahuan).”
Menurut
Ismail Fajrie Alatas (2011),
klasifikasi ilmu pengetahuan dalam konsep Islam tidak dikotomis antara ilmu
pengetahuan umum dengan ilmu pengetahuan agama. Sebab seluruh ilmu pada
dasarnya berasal dari Allah SWT. Namun demikian, menurut Ismail—agar lebih
fokus Al-Ghozali—membagi ilmu pengetahuan menjadi dua jenis: a). ilmu-ilmu
fardu ‘ain, ilmu yang wajib dipelajari oleh semua orang Islam meliputi
ilmu-ilmu agama atau ilmu yang bersumber dari dalam kitab suci Al-quran. b)
ilmu-ilmu yang merupakan fardu kifayah, ilmu-ilmu yang dapat dimanfaatkan untuk
memudahkan urusan duniawi, seperti ilmu hitung, kedokteran, teknik, pertanian, industri
dan sebagainya.
Menurut Ibn Khaldun, ilmu yang mewujud dalam diri
manusia mempunyai dua sumber, yaitu akal dan wahyu. Dengan akal, manusia dapat
dibedakan dengan binatang yang tidak dianugerahkan akal. Kemudian Ibn Khaldun
mengklasifikasikan ilmu ke dalam dua pembagian, yaitu ilmu yang diperolehi oleh
manusia dari rasul-rasul Allah dan ilmu yang diperolehi berdasarkan proses
akal. Ilmu yang pertama dinamakan al-Ulum al-Naqliyyah al-Wadiyyah (the
traditional sciences), yaitu ilmu yang didapati melalui rasul Allah
berdasarkan al-Quran dan al-Sunnah dan yang kedua dinamakan al-Ulum
al-Hikmiyyah al-Falsafiyyah (the philosophical sciences), yaitu ilmu yang
diusahakan oleh akal manusia.
Dalam al-Ulum al-Naqliyyah al-Wadiyyah,
Ibn Khaldun menjelaskan ilmu yang terkandung dalamnya yaitu : (1) Ilmu Tafsir
yang menjelaskan lafaz-lafaz al-Quran, (2) Ilmu Qiraah yang membahas tentang
bacaan al-Qur’an, (3) Ulum Hadits yang membahas tentang sanad dan perawi-perawi
hadits Rasulullah, (4) Usul Fiqh membahas tentang kesimpulan hukum-hukum Allah,
(6) Ilmu Fiqh membahas tentang perbuatan manusia, (7) Ilmu Kalam yang membahas
tentang aqidah keimanan, (8) Ilmu Bahasa yang meliputi lughah, nahu, bayan dan
adab.
Dalam klasifikasi kedua, yaitu al-Ulum`
al-Hikmiyyah al-Falsafiyyah (akal) terbagi ke beberapa jenis ilmu,
yaitu (1) Ilmu Matematik yang membahas tentang hitungan dan ukuran, (2) Ilmu
Handasah (Geometri) yang membahas tentang ukuran dan timbangan, (3) Ilmu Hay’ah
(Astronomi) yang membahas tentang perputarawan cakrawala, (4) Ilmu Mantiq yang membahas
tentang menjaga akal dari kesalahan, (5) Ilmu Tabie (Nature) yang mengkaji tentang
fisik dan persoalan yang melingkupinya, (6) Ilmu Ilahiyyat (Metafizik) yang
membahas tentang ketuhanan, (7) Ilmu Sihir, (8) Ilmu Rahasia Huruf, dan (9)
Ilmu Kimia.
Pada perkembangannya, setiap ilmu tersebut mempunyai
cabang tersendiri. Sebagai contohnya, ilmu Matematik akan melahirkan ilmu
Arithmatik, ilmu Hisab, ilmu Mua’malat dan ilmu Faraid; ilmu Tabie (Fisik) akan
melahirkan ilmu Kedokteran dan ilmu Pertanian. Begitu seterusnya.
Pengklafikasian ilmu oleh Ibn Khaldun secara umum
mempunyai persamaan dengan tokoh-tokoh sebelumnya seperti al-Farabi dalam
kitabnya Ihsa’ al-Ulum dan al-Ghazali dalam Ilya’
Ulumuddin, Kitab al-Ilm. Al-Ghazali sebagai contohnya
menggunakan istilah syar’iyah (syariah) dan ghayr
al-syar’iyah (bukan syariah).
Sebagai upaya pewarisan, semua jenis ilmu yang terkandung
di dalam al-Qur’an dan al-Hadits mesti
diperdalam dan dikembangkan oleh umat Islam. Baik ulumuddin, bahasa dan sejarah,
maupun ilmu-ilmu seperti falak, bumi, jiwa, kedokteran, pertanian, biologi, hitung,
hukum, perundang-undangan, kemasyarakatan, antropoligi, sosiologi, ekonomi, balaghah,
dan sebagainya. Dengan begitu—dalam pandangan Imam Suprayogo (2014)—Islam
semakin realistis dengan kehidupan umat manusia, terutama umat Islam. Semoga
kita semua semakin meneguhkan diri sebagai generasi yang haus ilmu dan amal dalam
berbagai perspektif dan dimensinya. [Oleh: Syamsudin Kadir—Pegiat PENA dan Pendidikan
Islam di IAI Bunga Bangsa Cirebon, dan Direktur Eksekutif Penerbit Mitra Pemuda Indonesia]
Komentar
Posting Komentar