Memupus Budaya Sampah Perguruan Tinggi
SANGAT
menarik tulisan Jejen Musfah yang berjudul “Budaya Orang Pendidikan” di Harian
Republika edisi 22 Agustus 2016 lalu. Walau sudah lama, tulisan itu masih sangat
relevan untuk dikaji secara mendalam dalam konteks untuk membangun—apa yang
diungkap oleh Mohammad Naquib Al-Attas—pendidikan yang berkeadaban.
Pada
tulisan itu Dosen Pascasarjana Manajemen Pendidikan UIN Jakarta tersebut
membentang secara terbuka beberapa budaya rendahan yang menjangkiti pendidikan tinggi
di Indonesia dari level mikro, messo dan makro. Dalam diksi yang berbeda saya
bisa menyebutkan kembali, misalnya mahasiswa yang suka dan bangga menyontek
alias tidak jujur dalam ujian akademik, mahasiswa dan dosen yang asal-asalan
dalam melakukan penelitian ilmiah dan menghadirkan produk ilmiah, manajemen
yang lamban dan kerap mempersulit proses akadmeik, dosen yang gila jabatan dan
gelar tanpa peningkatan kualitas ril, serta mahasiswa yang suka memanipulasi
nilai dan karya ilmiah.
Budaya
rendahan semacam itu sangat berbahaya bagi kemajuan perguruan tinggi bahkan
pendidikan di masa depan, karena itu sikap dan langkah yang paling beradab
adalah menemukan jalan keluar dan menjalankannya secara sadar dan melakukannya
secara bersama-sama.
Saya
sangat sepakat dengan nalar dan argumentasi Jejen bahwa dalam menghadapi itu
semua yang dibutuhkan diantaranya adalah adanya kepemimpinan transformatif.
Baik Presiden, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Rektor, Dekan, maupun dosen
dan seterusnya mesti memiliki jiwa transformatif. Jiwa semacam ini menurut
Jejen dicirikan, misalnya, ia mesti mampu menggerakan lembaga atau institusi
juga bawahannya untuk bekerja dan bersikap sesuai visi lembaga atau institusi
yang dipimpinnya. Pemimpin lembaga perguruan tinggi tidak boleh sibuk dengan
urusan yang tidak ada kaitannya dengan pembangunan dan pengembangan serta
kemajuan lembaga yang dipimpinnya.
Saya
berpendapat bahwa, selain itu, sebetulnya pemimpin berjiwa transformatif juga
mesti percaya diri, jujur, cerdas, kreatif, inovatif dan bertangungjawab. Ia
mesti mampu menghadirkan perbaikan dan perubahan bagi lembaga juga bawahannya
ke arah yang lebih baik dan maju. Sebab pemimpin yang transformatif, ia dinilai
bukan sekadar karena ucapannya, tapi terutama karena tindakan sekaligus
kinerjanya.
Berikutnya,
dia juga mesti melek dengan tradisi riset dan literasi. Kita patut mengelus
dada manakala masih ada saja kalangan akademisi yang duduk sebagai pejabat di
perguruan tinggi yang hingga kini tidak terbiasa dengan kegiatan riset.
Sehingga tak sedikit yang belum punya karya atau produk ilmiah. Biangnya bisa
kita kemukakan, misalnya, karena malas, miskin ambisi dan nihil cita-cita untuk
membangun tradisi ilmiah yang kuat.
Sederhana
saja, begitu bangga kita dengan lembaga pendidikan berlabel wah tapi di situ kita tidak menemukan dinamika
keilmuan. Budaya penelitian mahasiswa maupun dosen jarang ditemukan, sehingga
produk penelitian dalam bentuk produk literasi pun nyaris tak ditemukan pula. Kita
pun kerap berbangga tapi bagai memamerkan cek kosong. Terlihat ramai tapi sepi
produktifitas.
Kita
sudah maklum bahwa lembaga pendidikan terutama perguruan tinggi merupakan wadah
dimana kaum intelektual hidup dan bergulat dengan instrumen akademiknya.
Perguruan tinggi merupakan negara dalam bentuk lain bagi masyarakat akademik
dengan segala bentuk kegiatan dan pergulatan yang terjadi di dalamnya, yang
semuanya bernyawa intelektual: penelitian, pengujian, dan pengkaryaan. Sehingga
hampir semua bersepakat bahwa sebuah bangsa hanya mungkin bangkit dan maju
manakala perguruan tingginya hidup. Kuncinya adalah kemampuan perguruan tinggi
untuk membangun budaya akademik atau keilmuan yang masif.
Dalam
konteks masa depan, kita perlu memperhatikan beberapa aktivitas penting. Pertama, proses belajar di perguruan
tinggi mesti dikelola secara kreatif dan inovatif. Contoh ril, proses belajar
tidak mesti di dalam kelas (indoor)
saja, bisa juga dilakukan di luar kelas (outdoor).
Mahasiswa tidak boleh merasa cukup dengan apa yang diperoleh di dalam kelas,
sebab ada medium lain yang layak dikunjungi. Dari perpustakaan kampus,
laboratorium, forum diskusi dan seminar, forum workshop dan pelatihan maupun terlibat aktif dalam berbagai kelompok
diskusi yang ada di dalam juga di luar kampus.
Kedua,
membangun hubungan dan semangat belajar secara kolaboratif antar mahasiswa dan
dosen. Selama ini terkesan ada jarak yang begitu lebar antar mahasiswa dan dosen.
Dosen hadir di ruang kelas untuk menjalankan tugas mengajar tapi tidak punya
hubungan emosional dan psikologis dengan mahasiswanya. Mahasiswa pun juga
menjangkit penyakit yang sama. Efeknya, mahasiswa tidak punya ambisi untuk
mendalami ilmu dari mata kuliah yang diajar oleh sang dosen. Mahasiswa pun
mirip seperti robot yang kaku, stagnan hingga mati kutu.
Ketiga,
membangun tradisi riset antar mahasiswa dan dosen. Selama ini tradisi semacam
ini hanya dilakukan oleh para peneliti tertentu. Adapun jika dilakukan oleh
dosen tak jarang dilakukan hanya karena mengejar target tertentu yang bersifat
jangka pendek dan sangat materialistik. Mahasiswa pun kerap melakukan riset
ilmiah hanya untuk kepentingan tugas akhir atau skripsi yang kerap kali tidak
berhubungan dengan kondisi ril masyarakat dan sama sekali tidak punya efek
secara sosial.
Keempat,
melaksanakan tradisi akademik sekaligus keilmuan secara jujur. Kita lagi-lagi
patut mengelus dada karena kerap menemukan karya yang konon disebut ilmiah tapi
tidak masuk kategori ilmiah karena tidak memenuhi standar ilmiah. Jangan
jauh-jauh, tugas makalah bahkan skripsi mahasiswa kerap merupakan hasil copy paste yang dilakukan secara tidak
jujur dari karya orang lain. Isinya bisa jadi ilmiah, tapi prosesnya sangat
jauh dari spirit ilmu yang ilmiah.
Sungguh,
ilmu pengetahuan bahkan perguruan tinggi tentu saja akan semakin berkembang dengan
baik, memiliki efek sosial secara masif dan mendapat berkah dari Allah, jika
semua pihak terutama kalangan perguruan tinggi menjalankan tradisi akademik dan
keilmuan dengan baik pula. Pesannya, menjadi masyarakat akademik mesti ditempatkan
pada tempat yang terhormat, sebab ilmu dan dimana ilmu itu diperdalam adalah
terhormat pula. Dengan cara begitu, sadar atau tidak, kita sebetulnya sedang
melakukan kerja besar sekaligus menyejarah yaitu memupus budaya sampah
perguruan tinggi. [Oleh: Syamsudin Kadir—Direktur Eksekutif Penerbit Mitra Pemuda dan Pegiat PENA IAI Bunga Bangsa Cirebon]
Komentar
Posting Komentar