Perkembangan Pemikiran dalam Islam
MUNCULNYA
pemikiran Islam sebagai cikal bakal kelahiran peradaban Islam pada dasarnya
sudah ada pada awal pertumbuhan Islam, yakni sejak pertengahan abad ke-7 M,
ketika masyarakat Islam dipimpin oleh Khulafa’ al-Rasyidin.[1]
Kemudian mulai berkembang pada masa Dinasti Umayyah, dan mencapai puncak
kejayaannya pada masa Dinasti Abbasiyah. Ketinggian peradaban Islam pada masa
Dinasti Abbasiyah merupakan dampak positif dari aktifitas “kebebasan berpikir”
umat Islam kala itu yang tumbuh subur ibarat cendawan di musim hujan. Setelah jatuhnya
Dinasti Abbasiyah pada tahun 1258 M, peradaban Islam mulai mundur. Hal ini
terjadi akibat dari merosotnya aktifitas pemikiran umat Islam yang cenderung
kepada ke-jumud-an (stagnan). Setelah berabadaban umat Islam terlena
dalam “tidur panjangnya”, maka pada abad ke-18 M mereka mulai tersadar dan
bangkit dari stagnasi pemikiran untuk mengejar ketertinggalannya dari dunia
luar (Barat/Eropa).
Perkembangan
pemikiran dan peradaban Islam ini karena didukung oleh para khalifah yang cinta
ilmu pengetahuan dengan fasilitas dan dana secara maksimal, stabilitas politik
dan ekonomi yang mapan. Hal ini seiring dengan tingginya semangat para ulama
dan intelektual muslim dalam melaksanakan pengembangan ilmu pengetahuan agama,
humaniora dan eksakta melalui gerakan penelitian, penerjemahan dan penulisan
karya ilmiah di berbagai bidang keilmuan. Kemudian gerakan karya nyata mereka
di bidang peradaban artefak.
Pengertian Perkembangan
Pemikiran Islam
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “perkembangan” adalah perihal berkembang. Selanjutnya, kata “berkembang”
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ini berarti mekar terbuka; terbentang;
menjadi besar, luas, menjadi banyak, memuai, serta menjadi bertambah sempurna
dalam hal kepribadian, pikiran, pengetahuan, dan sebagainya.[2]
Dengan demikian, kata “berkembang” tidak saja
meliputi aspek yang berarti abstrak seperti pikiran dan pengetahuan, tetapi
juga meliputi aspek yang bersifat konkret. Arti perkembangan pada prinsipnya adalah tahapan-tahapan
perubahan yang progresif yang terjadi dalam rentang kehidupan manusia dan
organisme lainnya, tanpa membedakan aspek-aspek yang terdapat dalam diri
organisme-organisme tersebut.
Perkembangan mengandung makna adanya pemunculan sifat-sifat yang
baru, yang berbeda dari sebelumnya, mengandung arti bahwa perkembangan
merupakan peubahan sifat indiviu menuju kesempurnaan yang merupakan
penyempurnaan dari sifat-sifat sebelumnya.[3]
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perekembangan
adalah proses atau tahapan pertumbuhan ke arah yang lebih maju baik meliputi
kepribadian, pikiran, pengetahuan, dan sebagainya.
Secara etimologi pemikiran dari kata dasar
“pikir” yang berarti proses, cara, atau perbuatan memikir, yaitu menggunakan
akal budi untuk memutuskan suatu persoalan dengan mempertimbangkan segala
sesuatu secara bijaksana. Pemikiran juga bisa diartikan sebagai upaya cerdas
dan proses kerja akal dan kalbu untuk melihat fenomena dan berusaha mencari
penyelesaiannya secara bijaksana.[4]
Menurut M. Abdul Karim, pemikiran Islam ialah
kegiatan manusia dalam mencari hubungan sebab akibat ataupun asal mula dari
suatu materi ataupun esensi serta renungan terhadap suatu wujud, baik materinya
maupun esensinya, sehingga dapat diungkapkan hubungan sebab dan akibat dari
suatu materi ataupun esensi, asal mula kejadiannya serta substansi dari wujud
atau eksistensi sesuatu yang menjadi objek pemikiran. Dan apabila dikaitkan
dengan Islam, maka berarti bahwa kegiatan pemikiran tersbut dituntun oleh
bimbingan diyakini datangnya dari Maha Pencipta kepada Nabi Muhammad Shollahallhu
‘alaihi wasalam berupa
bimbingan naluri, bimbingan inderawi, bimbingan akal, dan bimbingan agama yang
tergabung dalam ajaran, kelembagaan, pranata sosial, dan ritual.[5]
Sejarah Lahirnya
Pemikiran Islam
Pandangan
hidup dan pemikiran Islam lahir karena adanya tradisi intelektual dan keilmuan yang
bersumber dari wahyu. Tradisi keilmuan justru diciptakan oleh kandungan yang
terdapat dalam al-Qur’an yang dijelaskan oleh Nabi Muhammad Shollahallhu ‘alaihi wasalam.
Menurut
Hamid Fahmy Zarkasy, kalau kita lacak kelahiran tradisi keilmuan dan ilmu-ilmu
dalam Islam secara periodik maka urutannya terdiri dari 1) Turunnya wahyu dan
lahirnya pandangan hidup Islam 2) Adanya struktur ilmu pengetahuan dalam
al-Qur’an dan Hadith dan 3) Lahirnya tradisi keilmuan Islam dan 4) lahirnya
disiplin ilmu-ilmu Islam.[6]
Periode
tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: Periode pertama turunnya wahyu harus
dilacak dari periode Makkah dan Madinah. Dalam konteks kelahiran pandangan
hidup, periode Makkah adalah periode pembentukan struktur konsep dunia dan
akherat sekaligus, seperti konsep-konsep tentang Tuhan dan keimanan kepadaNya,
hari kebangkitan, penciptaan, akherat, surga dan neraka, hari pembalasan, baik
dan buruk, konsep ‘ilm, nubuwwah, din, ibadah dan lain-lain. Pada
periode Makkah inilah terbentuk struktur konsep tentang dunia (world-structure)
baru yang merupakan elemen penting dalam pandangan hidup
Islam. Periode Madinah adalah periode konfigurasi struktur ilmu pengetahuan,
yang berperan penting dalam menghasilkan kerangka konsep keilmuan, scientific
conceptual scheme dalam pandangan hidup Islam. Pada periode ini wahyu
banyak mengandung tema-tema umum yang merupakan penyempurnaan ritual
peribadatan, rukun Islam, sistim hukum yang mengatur hubungan individu,
keluarga dan masyarakat; termasuk hukum-hukum tentang jihad, pernikahan, waris,
hubungan Muslim dengan ummat beragama lain, dan sebagainya.
Secara umum dapat dikatakan sebagai tema-tema yang berkaitan dengan kehidupan
komunitas Muslim. Meskipun begitu, tema-tema ini tidak terlepas dari tema-tema
wahyu yang diturunkan sebelumnya di Makkah, dan bahkan tema-tema wahyu di
Makkah masih terus didiskusikan.
Periode
kedua timbul dari kesadaran bahwa wahyu yang turun dan dijelaskan Nabi itu
telah mengandung struktur fundamental scientific worldview, seperti
struktur konsep tentang kehidupan (life-structure), struktur konsep tentang
dunia, tentang ilmu pengetahuan, tentang etika dan tentang manusia, yang
kesemuanya itu sangat potensial bagi timbulnya kegiatan keilmuan.
Istilah-istilah konseptual yang terdapat dalam wahyu seperti ilm, iman,
usul, kalam, nazar, wujud, tafsir, ta’wil, fiqh, khalq, halal, haram, iradah
dan lain-lain mulai difahami secara intens. Konsep-konsep ini telah memadahi
untuk dianggap sebagai kerangka awal konsep keilmuan (pre-scientific
conceptual scheme), yang juga berarti lahirnya elemen-elemen epistemologis
yang mendasar. Periode ini sangat penting karena menunjukkan wujudnya struktur
pengetahuan dalam pikiran ummat Islam saat itu yang berarti menandakan
munculnya “Struktur Ilmu” dalam pandangan hidup Islam, meskipun benih beberapa
konsep keilmuan telah wujud pada periode Makkah.
Periode
ketiga adalah lahirnya tradisi keilmuan dalam Islam. Periode ini merupakan
konsekuensi logis dari adanya struktur pengetahuan dalam pandangan hidup Islam.
Seperti biasa, karena suatu tradisi selalu melibatkan masyarakat maka tradisi
keilmuan Islam, seperti yang akan ditunjukkan nanti, juga melibatkan komunitas
ilmuwan. Komunitas inilah yang kemudian melahirkan kerangka konsep keilmuan
Islam (Islamic scientific conceptual scheme) yang merupakan framework
yang berperan aktif dalam tradisi keilmuan itu. Bukti adanya masyarakat ilmuwan yang
menandai permulaan tradisi keilmuan dalam Islam adalah berdirinya kelompok
belajar atau sekolah al-Kuffah di Madinah.
Disini kandungan wahyu dan hadith-hadith Nabi dikaji dalam kegiatan belajar
mengajar yang efektif. Meski materinya masih
sederhana tapi karena obyek kajiannya tetap berpusat
pada wahyu, yang betul-betul luas dan kompleks. Materi kajiannya tidak dapat
disamakan dengan materi diskusi spekulatif di Ionia, yang menurut orang Barat
merupakan tempat kelahiran tradisi intelektual Yunani dan bahkan kebudayaan
Barat (the cradle of western civilization). Yang jelas, Al-Kuffah,
adalah gambaran terbaik institusionalisasi kegiatan belajar-mengajar dalam
Islam dan merupakan tonggak awal tradisi intelektual dalam Islam. Hasil dari kegiatan ini adalah munculnya, katakan,
alumni-alumni yang menjadi pakar dalam hadith Nabi, seperti misalnya Abu
Hurairah, Abu Dharr al-Ghiffari, Salman al-Farisi, ‘Abdullah ibn Mas’ud dan
lain-lain. Ribuan hadith telah berhasil direkam oleh anggota sekolah ini.
Kegiatan
awal pengkajian wahyu dan hadith ini dilanjutkan oleh generasi berikutnya dalam
bentuk yang lain. Dan tidak lebih dari dua abad lamanya telah muncul
ilmuwan-ilmuwan terkenal dalam berbagai bidang studi keagamaan, seperti misalnya
Qadi Surayh (d.80/ 699), Muhammad ibn al-Hanafiyyah (d.81/700), Ma’bad
al-Juhani (d.84/703), Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz ( d.102/720) Wahb ibn Munabbih
(d.110,114/719,723), Hasan al-Basri (d.110/728), Ghaylan al-Dimashqi
(d.c.123/740), Ja’far al-Sadiq (d.148/765), Abu Hanifah (d.150/767), Malik ibn
Anas (179/796), Abu Yusuf (d.182/799), al-Shafi’i (204/819) dan lain-lain.
Framework
yang dipakai pada awal lahirnya tradisi keilmuan ini sudah tentu adalah
kerangka konsep keilmuan Islam (Islamic scientific conceptual scheme).
Indikasi adanya kerangka konseptual ini adalah usaha-usaha para ilmuwan untuk
menemukan beberapa istilah teknis keilmuan yang rumit dan canggih.
Istilah-istilah yang di derivasi dari kosa-kata al-Qur’an dan hadith Nabi
termasuk diantaranya: ‘ilm, fiqh, usul, ijtihad, ijma’, qiyas, ‘aql, idrak,
wahm, tadabbur, tafakkur, hikmah, yaqin, wahy, tafsir, ta’wil, ‘alam, kalam,
nutq, zann, haqq, batil, haqiqah, ‘adam, wujud, sabab, khalq, khulq, dahr,
sarmad, zaman, azal, abad, fitrah, kasb, khayr, ikhtiyar, sharr, halal, haram,
wajib, mumkin, iradah dan lain sebagainya, menunjukkan adanya kerangka
konsep keilmuan.
Atas
dasar framework ini maka dapat diklaim bahwa embrio ilmu (sains) dan
pengetahuan ilmiah dalam Islam adalah struktur keilmuan dalam worldview
Islam yang terdapat dalam al-Qur’an. Hal ini bertentangan secara diametris
dengan klaim para penulis sejarah Islam kawakan dari Barat, seperti De Boer,
Eugene Myers, Alfrend Gullimaune, O’Leary, dan banyak
lagi yang menganggap sains dalam Islam tidak ada asal usulnya. Seakan akan
tidak ada sesuatu apapun yang berasal dari dan disumbangkan oleh Islam kecuali
penterjemahan karya-karya Yunani. Framework seperti ini diikuti oleh penulis
modern seperti Radhakrishnan, Majid Fakhry W. Montgomery Watt dan lain-lain.[7]
Faktor yang Menyebabkan
Perkembangan Pemikiran Islam
Jika
dilihat dari segi pemikiran Islam, dapat dinyatakan bahwa perkembangan pemikiran Islam disebabkan
oleh berbagai faktor. Pertama; Sebagai usaha untuk memahami atau
mengambil istinbath (intisari atau pengajaran) hukum-hukum agama
mengenai hubungan manusia dengan penciptanya dalam masalah ibadah. Juga
hubungan sesama manusia dalam masalah muamalah. Masalah ini menyangkut
persoalan ekonomi, politik, sosial, undang-undang dan lain-lain. Kedua;
Sebagai usaha untuk mencari jalan keluar (solusi) dari berbagai persoalan
kemasyarakatan yang belum ada pada zaman Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wassalam dan zaman sahabat, atau untuk
memperbaiki perilaku tertentu berdasarkan ajaran Islam. Ketiga; Sebagai
penyelaras atau penyesuaian antara prinsip-prinsip agama Islam dan
ajaran-ajarannya dengan pemikiran asing (di luar Islam) yang berkembang dan mempengaruhi
pola pemikiran umat Islam. Keempat; Sebagai pertahanan untuk menjaga
kemurnian akidah Islam dengan menolak akidah atau kepercayaan lain yang
bertentangan dengan ajaran Islam, dan menjelaskan akidah Islam yang sebenarnya.
Kelima; Untuk menjaga prinsip-prinsip Islam agar tetap utuh sebagaimana
yang telah diajarkan oleh Rasulullah Shollallahu
‘alaihi wassalam untuk dilaksanakan oleh umat Islam sepanjang masa hingga
akhir zaman. Perkembangan pemikiran dan peradaban umat Islam mencapai puncak
kejayaannya pada masa Dinasti Abbasiyah.
Untuk
mencapai kejayaan tersebut, tergambar bahwa strategi dan aktivitas yang efektif
dilakukan oleh para Khalifah Dinasti Abbasiyah adalah: Pertama, keterbukaan.
Jika dibandingkan dengan masa kekhalifahan Umayyah yang sangat membatasi diri dengan pihak luar,
keadaan pemerintah Dinasti Abbasiyah sebaliknya. Bentuk pemerintahan Dinasti
Umayyah lebih menonjol kepada pemerintahan Arab, sedangkan politik Dinasti Abbasiyah
merupakan pemerintahan campuran dari segala bangsa. Kedua, kecintaan
pada ilmu pengetahuan. Pada masa Dinasti Abbasiyah, ilmu pengetahuan Islam
banyak digali oleh para ulama (intelektual) Islam. Sebab para Khalifahnya
sangat senang dengan ilmu pengetahuan. Karena itu dinasti ini sangat besar
jasanya dalam memajukan peradaban Islam di mata dunia. Ketiga, toleran
dan akomodatif. Corak kehidupan orang-orang Abbasiyah lebih banyak meniru tata
cara kehidupan bangsa Persia. Pada masa ini kebudayaan Persia berkembang sangat
maju, sebab bangsa Persia mempunyai kedudukan yang baik di kalangan keluarga istana.
Banyak orang Persia yang dipilih untuk mengendalikan pemerintahan Dinasti
Abbasiyah.
Dampak
Perkembangan Pemikiran Islam
Era
klasik Islam banyak terjadi kemajuan yang menakjubkan dalam perkembangan
pemikiran. Damaskus dan Baghdad menjadi pusat ilmu pengetahuan dan teknologi,
kemudian menjalar ke kota Kufah dan Basrah di Mesopotamia, Isfahan dan Nisyafur
di Persia, Bukhara dan Samarkand di Transoxiana, Kairo di Mesir, Tunis, Toledo
dan Cordova di Andalusia.
Peradaban
Islam maju dan berkembang di semua sektor kehidupan karena ditunjang oleh
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Baghdad merupakan kota terbesar dan
kosmopolitan yang menjadi perantara antara dunia Mediterania dan Hindu-China di
timur. Kebesaran Baghdad didukung oleh adanya tiga wilayah kekuasaan Islam yang
memicu perkembangan sains dan teknologi ke arah kemajuan, yaitu Timur Tengah
Mesir, Pantai Utara Afrika dan Andalusia. Saat itu, dunia Islam memiliki gaya
hidup khas lebih superior dari dunia Barat yang masih dalam kegelapan.
Perkembangan
pemikiran Islam pada masa ini tidak hanya berdampak besar pada kemajuan
peradaban di dunia Islam, bahkan sangat berpengaruh ke dunia luar, utamanya
Eropa dan sekitarnya. Gerakan pemikiran Islam ini banyak melahirkan para tokoh
pemikir muslim dan bukan muslim. Para ilmuwan yang bukan muslim juga memainkan peranan
penting dalam menerjemahkan dan mengembangkan karya Kesusasteraan Yunani dan
Hindu, serta ilmu zaman pra-Islam kepada masyarakat Kristen Eropa. Sumbangan
mereka ini menyebabkan seorang ahli filsafat Yunani yaitu Aristoteles terkenal
di Eropa.
Sejarah
telah membuktikan bahwa kemajuan dunia Islam pada abad pertengahan menjadi
jembatan emas kemajuan Eropa. Bangsa Eropa kala itu belum memiliki peradaban
yang maju, zaman itu dikenal dengan zaman kegelapan. Belum dijumpai
daerah-daerah yang menjadi pusat pencerahan kecuali daerah tertentu saja, itu
pun yang ditempati para pendeta yang memahami bahasa Yunani dan bahasa Latin.
Masuknya peradaban Islam
ke Eropa, terutama melalui pintu Spanyol, merubah tatanan baru dan pencerahan
terhadap bangsa Eropa dengan sebuah peradaban baru hingga menapaki masa modern.
Karenanya, sulit dipungkiri bahwa kemajuan Eropa tidak bisa dilepaskan dari kemajuan
dunia Islam.
Sebuah
bukti sejarah menyatakan bahwa Mesir telah membantu kemajuan peradaban di
Eropa, adapun kota-kota di Eropa seperti: Pisa, Genova, Venezis, Napoli,
Firenze memiliki hubungan dagang dengan Mesir. Kota-kota ini kemudian menjadi
lokomotif bangkitnya Eropa yang dikenal dengan renaissance, serta
menjadi cikal bakal peradaban modern di sana.
Bukti
lain, di era kebangkitan Eropa, ketika mereka kembali pada ilmu-ilmu Yunani
klasik, mereka menjumpai buku-buku yang telah dimuat dalam khazanah buku
muslimin. Buku-buku lain yang mereka nukilkan adalah ilmu filsafat dan ilmu
kedokteran. Buku-buku kedokteran ini diajarkan di kampus-kampus Eropa sampai
abad 18 M, tidak terkecuali Sekolah Salerno yang dianggap sebagai
sekolah kedokteran pertama di Eropa. Buah pikiran Ibnu Sina dan al-Razi menjadi
referensikuliah kedokteran di Paris. Bahkan teori-teori Ibnu Khaldun yang menjadi
peletak dasar ilmu sosial masih dikenal di kampus-kampus Eropa sampai sekarang.
Daftar Pustaka
M. Abdul Karim, Islam Nusantara, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher,
2007.
Tim Penyusun Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga, Jakarta: Balai
Pustaka, 2005.
Online:
2. http://hminews.com/news/bangkrutnya-tradisi-intelektual-islam
redesain gerakan - intelektual-sistemik-nasional/.
Oleh: Syamsudin Kadir—Direktur
Eksekutif Penerbit Mitra Pemuda dan Penulis buku “Membangun Pendidikan dan Bangsa yang Beradab”.
[1] http://hminews.com/news/bangkrutnya-tradisi-intelektual-islam
redesain
gerakan - intelektual-sistemik-nasional/.
[2] Tim Penyusun Depdiknas, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka,
2005), h. 447
[4] Secara etimologi pemikiran dari kata dasar “pikir” yang berarti proses,
cara, atau perbuatan memikir, yaitu menggunakan akal budi untuk memutuskan
suatu persoalan dengan mempertimbangkan segala sesuatu secara bijaksana.
Pemikiran juga bisa diartikan sebagai upaya cerdas dan proses kerja akal dan
kalbu untuk melihat fenomena dan berusaha mencari penyelesaiannya secara
bijaksana.
[5] M. Abdul Karim, Islam
Nusantara, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007), h. 38.
[7] Ibid.
Komentar
Posting Komentar