Islam dan Guru Sebagai Penentu Anak Berkarakter
MENURUT
ajaran Islam, pendidikan adalah kebutuhan hidup manusia yang mutlak harus
dipenuhi, demi untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Dengan pendidikan itu pula manusia akan mendapatkan berbagai macam ilmu
pengetahuan untuk bekal dalam hidup dan kehidupannya.
Pendidikan
Islam sendiri merupakan disiplin ilmu yang di dalamnya mengandung berbagai
dimensi. Seperti dimensi manusia sebagai subyek atau pelaku pendidikan (baik
berstatus sebagai pendidik atau peserta didik), maupun dimensi landasan,
tujuan, materi atau kurikulum, metodologi, dan dimensi institusi dalam
penyelengaraan pendidikan. Dimensi-dimensi tersebut merupakan faktor penting
yang mendukung keberhasilan pelaksanaan proses kegiatan pendidikan, dan
masing-masing dimensi ini memiliki paradigma fungsional sendiri-sendiri dan
saling terkait bersinergi dalam sebuah sistem pendidikan.
Dalam
perspektif Islam pendidikan berupaya untuk mengembangkan seluruh potensi
peserta didik seoptimal mungkin, baik yang menyangkut jasmaniah maupun
rohaniah, akal dan akhlak. Dengan optimalisasi seluruh potensi yang
dimilikinya, melalui peranan guru pendidikan Islam berupaya mengantarkan
peserta didik ke arah kedewasaan pribadi secara sempurna, yaitu yang beriman
dan berilmu pengetahuan.
Konferensi
Pendidikan Islam sedunia yang ke-2, pada tahun 1980 di Islamabad, dalam Abudin Nata
(2016), merumuskan, pendidikan harus ditujukan untuk mencapai keseimbangan
pertumbuhan personalitas manusia secara menyeluruh, dengan cara melatih jiwa,
akal, perasaan, dan fisik manusia. Dengan demikian, pendidikan diarahkan untuk
mengembangkan manusia pada seluruh aspeknya : spiritual, intelektual, daya
imaginasi, fisik, keilmuan, dan bahasa, baik secara individual maupun kelompok,
serta mendorong seluruh aspek tersebut untuk mencapai kebaikan dan
kesempurnaan. Tujuan akhir pendidikan diarahkan pada upaya merealisasikan
pengabdian manusia kepada Allah, baik pada tingkat individual, maupun
masyarakat dan kemanusiaan secara luas.
Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang dikenal UU Sisdiknas 1 ayat (1)
dijelaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Fungsi
pendidikan nasional sendiri adalah untuk mengembangkan kemampuan dan watak
serta martabat bangsa. Hal ini sesuai dengan fungsi pendidikan nasional
sebagaimana yang dijelaskan dalam UU
Sisdiknas Pasal 1 ayat (1) bahwa, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Sedangkan
pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggungjawab (UU Sisdiknas Pasal 3).
Dari
beberapa rumusan di atas dapat dikemukakan beberapa catatan sebagai berikut. Pertama, seluruh rumusan pendidikan
selalu memiliki objek atau sasaran yang sama yaitu manusia. Hal ini bisa
dipahami dengan melihat tugas utama pendidikan yaitu meningkatkan sumber daya
manusia. Dalam konteks pendidikan Islam sekaligus pendidikan nasional adalah
peserta didik atau siswa.
Kedua,
seluruh rumusan pendidikan selalu menempatkan pendidikan sebagai sarana yang
strategis untuk melahirkan manusia yang terbina seluruh potensi dirinya (fisik,
psikis, akal, spiritual, fitrah, talenta dan sosial) sehingga dapat melaksanakan
fungsi pengabdiannya dalam rangka beribadah kepada Allah serta mencapai
kebaikan hidup di dunia dan di akhirat.
Ketiga,
seluruh rumusan tersebut selalu dilihat dari kebutuhan masyarakat. Pendidikan
adalah sarana yang paling strategis untuk menanamkan nilai-nilai, ajaran,
keterampilan, pengalaman dan sebagainya yang datang dari luar ke dalam diri
peserta didik.
Keempat,
sesuai dengan karakteristik ajaran Islam yang mengedepankan prinsip
keseimbangan, seharusnya pendidikan Islam dirancang berdasarkan prinsip yang
memadukan antara kepentingan masyarakat (seperti pelestarian nilai, ajaran, dan
norma yang berlaku di masyarakat) dan kepentingan individu (seperti yang
terkait dengan penyaluran bakat, minat, hobi, dan berbagai potensi lainnya yang
dimiliki manusia).
Seluruh
proses pendidikan yang bertujuan untuk membentuk karakter mulia peserta didik,
salah satu satu faktor utama dan penentunya adalah guru. Guru yang dibutuhkan
tentu guru yang bukan asal guru tapi guru yang hebat. Dalam pandangan Amirulloh
Syarbini (2015) guru hebat adalah sosok guru yang profesional dalam mengemban
tugas dan tanggung jawabnya. Ia mampu memotivasi, memengaruhi, menggugah, dan
mengubah peserta didik ke arah yang lebih baik.
Dalam
konteks ini, Kamis 16 Maret 2017 lalu saya menghadiri acara Seminar Nasional Pendidikan
“Guru Berintegritas Kunci Generasi Berkarakter Kuat dan Cerdas” yang
diselenggarakan oleh Sekolah Dasar Sains Islam (SDSI) Bina Ummah,
Sumber-Cirebon-Jawa Barat. Acara yang diselenggarakan dalam rangka memperingati
HUT Yayasan Bina Umah (Yabinu) ke-17 tersebut menghadirkan narasumber Ahmad
Sukarya, pengurus pusat Jaringan Sekolah Islam Terpadu (JIST). Pada acara yang
dihadiri ratusan peserta dari mahasiswa, guru, dosen, pegiat, dan pemerhati
pendidikan tersebut Ahmad Sukarya menjelaskan bahwa dalam pandangan Islam guru yang
mampu membentuk karakter peserta didik paling tidak memiliki beberapa
kompetensi dasar, pertama, kompetensi
personal religius yaitu kemampuan dasar guru menyangkut kepribadian yang agamis.
Dalam hal ini guru mesti mampu mentransformasikan nilai kejujuran, keadilan,
kebersihan dan sebagainya kepada peserta didik. Kedua, kompetensi sosial religius, yaitu kemampuan menyangkut
kepedulian terhadap masalah sosial yang selaras dengan ajaran Islam seperti
tolong-menolong, gotong-royong dan sebagainya. Ketiga, kompetensi profesional religius yaitu kemampuan dasar
menyangkut kecakapan untuk menjalankan tugasnya secara profesional dalam
bingkai nilai Islam.
Apa
yang disampaikan Sukarya selaras dengan rumusan Undang-Undang Nomor 14 Tahun
2005 tentang Guru dan Dosen yang menjelaskan bahwa guru adalah pendidik
profesional dengan tugas utamanya mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan,
melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini
jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Mudah-mudahan
rumusan ideal tersebut mampu mewujud dalam diri para guru di berbagai lembaga
pendidikan kita sehingga impian terbentuknya peserta didik yang berkarakter
benar-benar mewujud sehingga dunia pendidikan nasional negeri kita, Indonesia,
semakin kontributif dalam mempercepat tercapainya tujuan pendidikan dan tujuan
pembangunan nasional. [Oleh: Syamsudin
Kadir—Direktur Eksekutif Penerbit Mitra Pemuda, Penulis buku “Membangun Pendidikan dan
Bangsa yang Beradab”]
Komentar
Posting Komentar