Melahirkan Siswa Zaman Now
PENDIDIKAN
formal dirasakan urgensinya ketika keluarga tidak mampu lagi memberikan
pendidikan yang wajar kepada anak-anaknya. Lembaga ini akhirnya diterima
sebagai wahana proses kemanusiaan dan pemanusiaan kedua setelah keluarga. Dalam
perjalanannya, ternyata tidak ada pendidikan formal yang benar-benar ideal. Ini
ditandai dengan adanya praktik pendidikan yang kurang menghargai
kebebasan siswa. Fenomena semacam ini disebut Paulo Freire dalam The Politic of Education : Culture, Power,
and Liberation (1980)—dalam Inovasi Pendidikan (Sudarwan Danim,
2010)—sebagai praksis pendidikan yang membelenggu, bukan membebaskan.
Kalau
memperhatikan posisi peserta didik sebagai generasi penerus, maka pendidikan
mesti dirancang dengan sebuah multiliterasy
pedagogocal planning dan mempersiapkan peserta didik untuk memiliki
berbagai kompetensi diantaranya, pertama,
memiliki kompetensi untuk kolaborasi lintas latar: negara, budaya, bahasa dan
profesi serta memiliki kompetensi diversity
dengan baik, pengetahuan, sikap dan tindakan, sehingga bisa berkolaborasi di
segala level kehidupannya.
Kedua,
memiliki kompetensi dalam komunikasi global, bisa menggunakan bahasa yang baik
dan bisa dipahami oleh masyarakat dunia, baik dalam bentuk tulisan maupun
komunikasi verbal, baik dalam aspek bacaan (reading)
maupun dalam bentuk tulisan (writing),
sehingga bisa memudahkan dalam berbagai kehidupan termasuk profesinya kelak.
Ketiga,
menguasai teknologi informasi dengan baik untuk akses informasi, komunikasi,
penyampaian informasi pada publik bahkan untuk menyimpan daya yang
diperlukan untuk dibuka setiap saat, dan
dibuka kapan saja, di mana saja, sehingga sangat membantu dalam proses
pembelajaran dalam kehidupan selanjutnya.
Keempat,
meminjam ungkapan Sulaiman, Akademisi IAI Bunga Bangsa Cirebon, peserta didik
mesti memiliki kemampuan berpikir kritis (critical
thinking) yang baik, mampu mengubah masalah menjadi kesempatan untuk maju
ke masa depan, berpikir kreatif-inovatif, hingga memiliki kemampuan problem solving yang baik. Semua ini,
menurut Sulaiman, bisa dikembangkan dengan proses pembelajaran yang lebih
kekinian dan futuristik dengan bantuan tenaga pendidik terutama guru.
Untuk
siswa abad 21 atau dalam bahasa kekiniannya menjadi siswa zaman now, dalam
pandangan Roekel (2012)—dalam Madrasah dan Profesionalisme Guru (Dede Rosyada,
2017)—paling tidak ada empat kompetensi yaitu crititikal thinking, comunication,
colaboration, creativity and innovation.
Tulisan
ini mencoba untuk memberi perspektif sekaligus mengelaborasi beberapa
kompetensi tersebut, di samping hal lain yang masih terkait. Pertama, critical thinking. Dalam cara pandang filosofis, critical thinking, yaitu cara berpikir
yang bertujuan, berbasis regulasi, teori, konsep, dan hasil analisis terhadap
data. Sementara dalam cara pandang psikologi, critical thinking, yaitu penggunaan keterampilan atau strategi
kognitif untuk meningkatkan probabilitas pencapaian outcome yang diharapkan. Dalam hal ini paling tidak ada 4 sub
kompetensi yang mesti dimiliki oleh siswa yaitu mampu menyampaikan argumentasi
logis secara efektif, mampu berfikir sistemastik, mampu merumuskan kesimpulan,
dan mampu melakukan problem solving
secara efektif. Kompetensi ini mesti dimatangkan oleh guru dalam proses pembelajaran.
Kedua,
comunication. Komunikasi adalah kunci
sukses dalam segala hubungan sosial di era serba kompetitif ini. Komunikasi merupakan proses penyampaian informasi atau
sebuah pemahaman umum dari seseorang terhadap orang lain. (Lunenburg, 2010). Untuk
membangun kompetensi ini maka guru sebagai pendidik sekaligus sebagai model
perlu membiasakan berkomunikasi dengan benar dan tepat. Dalam hal ini siswa
bisa menyontoh apa yang dilakukan oleh guru, juga mengembangkan potensi
komunikasi dalam dirinya, baik dalam proses pembelajaran di kelas maupun kehidupan
sosial di luar kelas. Daya pantik guru dalam beragam pola sangat mempengaruhi
siswa dalam mematangkan kompetensi ini.
Ketiga,
collaboration. Secara sederhana, kolaborasi
merupakan kerjasama dengan melakukan pertukaran informasi, mengembangkan
berbagai pilihan kegiatan bersama, melakukan sharing pengalaman dan pandangan. Menurut Dede Rosyada Rektor UIN
Jakarta (2017), substansi kolaborasi adalah belajar membangun jaringan,
koordinasi beragam potensi dan kerjasama beragam latar belakang. Guru mendidik
siswanya secara cerdas untuk menjadi generasi pembelajar yang siap bekerjasama
dengan siapapun dalam kehidupannya kelak sebagai generasi penerus bangsa dan bahkan
menjadi warga dunia-global.
Keempat,
creativity and innovation. Secara
sederhana, kreatif adalah kemampuan melahirkan gagasan dan konsep baru untuk
menyelesaikan masalah tertentu, atau kemampuan melahirkan prototype baru untuk melahirkan sebuah produk baru yang akan
dihasilkan. Sementara inovasi, menurut Mark Roger (1998) yaitu sesuatu yang
benar-benar baru dan benar-benar ada pengembangan yang signifikan dikerjakan
oleh perusahaan untuk melahirkan nilai tambah baik bagi perusahaan maupun
pemakai produk.
Apa
yang diungkapkan oleh Roger dapat dipahami bahwa siswa yang inovatif yaitu
siswa yang mampu menemukan hal baru baik nilai tambah maupun sesuatu karya atau
gagasan yang benar-benar baru. Dengan begitu, siswa yang keratif dan inovatif
mesti terbiasa berpikir untuk menemukan gagasan sebagai solusi dari berbagai
masalah yang ada, bahkan mampu menghasilkan produk atau karya yang lebih
produktif dari karya yang sudah ada.
Kelima,
character. Dalam pandangan Sulaiman, yang
disampaikannya dalam sebuah Seminar Pendidikan Nasional (SPN) beberapa waktu lalu,
dalam zaman yang terjangkit virus materealistik dan hedonis ini, maka yang
dibutuhkan adalah character. Mengafirmasi
Sulaiman, sangat wajar bila pada 6 September 2017 lalu Presiden mengeluarkan
sebuah kebijakan baru melalui Peraturan Presiden No. 87 Tahun 2017 tentang
Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). Peraturan tersebut membebaskan sekolah
atau madrasah menerapkan penguatan karakter selama lima atau enam hari dalam
sepekan. PPK merupakan bagian dari Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM) yang
bertujuan membangun dan membekali anak bangsa menjadi generasi emas berjiwa
Pancasila dan berkarakter baik pada 2045. PPK dilaksanakan dengan menerapkan
nilai-nilai Pancasila, terutama nilai-nilai religius, toleran, disiplin,
bekerja keras, cintah Tanah Air, cinta damai, peduli sosial dan
bertanggungjawab.
Kalau
kita ingin mewujudkan pendidikan yang semakin berkualitas, sehingga daya saing
bangsa dan negara kita semakin berkualitas pula, maka yang mesti kita lakukan
adalah menyiapkan generasi handal dan kompetitif yaitu siswa zaman now dengan
beberapa kompetensi tersebut di atas. Dengan keterlibatan semua pihak, kita
berharap semoga Allah memberi petunjuk agar semuanya terwujud! [Oleh:
Syamsudin Kadir—Direktur
Eksekutif Mitra Pemuda, Penulis buku “Membangun Pendidikan dan Bangsa yang
Beradab”. Dimuat pada halaman 4 Kolom Wacana Koran Radar Cirebon
edisi 18 Desember 2017]
Komentar
Posting Komentar