Gadai dalam Perspektif Fiqih Islam



ISLAM memerintahkan umatnya agar saling tolong-menolong dalam segala hal, salah satunya dapat dilakukan dengan cara pemberian atau pinjaman. Dalam bentuk pinjaman, hukum Islam menjaga kepentingan kreditur atau orang yang memberikan pinjaman agar jangan sampai ia dirugikan. Oleh sebab itu, pihak kreditur diperbolehkan meminta barang kepada debitur sebagai jaminan atas pinjaman yang telah diberikan kepadanya, yang dikenal dengan gadai.


Gadai-menggadai sudah merupakan kebiasaan sejak zaman dahulu kala dan sudah dikenal dalam adat kebiasaan. Gadai sendiri telah ada sejak zaman Rasulullah Saw. dan Rasulullah sendiri pun telah mempraktikkannya. Tidak hanya ketika zaman Rasulullah saja, tetapi gadai juga masih berlaku hingga sekarang. Terbukti dengan banyaknya lembaga-lembaga yang menaungi masalah dalam gadai itu sendiri, seperti Pegadaian dan sekarang muncul pula Pegadaian Syariah.

Bahkan lembaga ini menjadi sangat populer di kalangan masyarakat (terutama masyarakat perkotaan) ketika menjelang lebaran tiba. Sudah merupakan tradisi bagi pemudik untuk menggadaikan barang berharga mereka menjelang bulan syawal. Dengan menitipkan emas, kendaraan bermotor atau barang berharga lainnya sebagai jaminan atas uang yang dipinjam, keinginan untuk bertemu sanak saudara di kampung dengan kerinduan yang sangat pun terobati. Bukan tanpa alasan karena di saat ongkos dan harga kebutuhan untuk oleh-oleh yang semakin menggila yang tidak lagi dapat diatasi oleh gaji maupun pendapatan selama di rantauan (kota), maka pegadaian merupakan alternatif yang dapat menjawab hal tersebut.

Sekilas lembaga ini memang terlihat sangat membantu. Terutama ketika ia ber-motto “mengatasi masalah tanpa masalah”, ia berhasil menafsir dan mencitrakan dirinya di mata masyarakat sangat baik. Akan tetapi, disadari atau tidak ternyata dalam prakteknya lembaga ini belum dapat terlepas dari persoalan. Dengan berkaca mata pada Fiqih Islam, ketika perjanjian gadai ditunaikan terdapat unsur-unsur yang dinilai bertentangan dengan syariat.

Hal ini dapat terlihat dari praktek gadai itu sendiri yang menentukan adanya bunga gadai, yang mana pembayarannya dilakukan setiap 15 hari sekali. Tidak itu saja, bahkan pembayarannya haruslah tepat waktu, karena jika terjadi keterlambatan pembayaran, maka bunga gadai akan bertambah menjadi dua kali lipat dari kewajibannya. Tentu terdapat kencenderungan merugikan salah satu pihak. 

Pengertian Gadai

Secara etimologi, gadai berasal dari Bahasa Arab yaitu rahn berarti tetap dan lama, yakni tetap atau berarti pengekangan dan keharusan.[1]

Sedangkan menurut terminologi syara’, gadai (rahn) berarti penahanan terhadap sesuatu barang dengan hak sehingga dapat dijadikan sebagai pembayaran dari barang tersebut.[2]
Mengenai rahn, ulama fiqih berbeda pendapat dalam mendefinisikannya. Pertama, menurut ulama Syafi’iyah, rahn yaitu menjadikan suatu benda sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar ketika berhalangan dalam membayar utang.

Kedua, menurut ulama Hanafiyah, rahn yaitu harta yang dijadikan jaminan utang sebagai pembayar harga (nilai) utang ketika yang berhutang berhalangan (tak mampu) membayar utangnya kepada pemberi pinjaman.

Menurut Sayyid Sabiq, gadai adalah menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan utang, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil utang atau ia bisa mengambil sebagaian (manfaat) barang itu.[3]

Dalam bukunya Pegadaian Syariah, Muhammad Sholikul Hadi (2003) mengutip pendapat Imam Abu Zakariya al-Anshari dalam kitabnya Fathul Wahhab yang mendefenisikan rahn sebagai: “menjadikan benda bersifat harta sebagai kepercayaan dari suatu utang yang dapat dibayarkan dari (harga) benda itu bila utang tidak dibayar.”

Landasan Hukum Gadai

Sebagaimana halnya dengan jual-beli, gadai diperbolehkan, karena segala sesuatu yang boleh dijual boleh digadaikan. Dalil yang melandasi gadai telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits.

Al-Qur’an

Ayat al-Qur’an yang dapat dijadikan dasar hukum perjanjian gadai adalah QS. Al-Baqarah ayat 282 dan 283.
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya…” (QS. Al-Baqarah : 282)

Akan tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanahnya (utangnya).” (QS. al-Baqarah: 283)

Sunnah

Hadis riwayat Aisyah ra., ia berkata: Rasulullah SAW. pernah membeli makanan dari seorang Yahudi dengan cara menangguhkan pembayarannya lalu beliau menyerahkan baju besi beliau sebagai jaminan. (shahih muslim)

Dari Abu Hurairah ra. Nabi SAW bersabda : Tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan menanggung resikonya. (HR. Asy-Syafii, al-Daraquthni dan Ibnu Majah).

Nabi bersabda : Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung biayanya dan binatang ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Bagi yang menggunakan kendaraan dan memerah susu wajib menyediakan biaya perawatan dan pemeliharaan. (HR. Jamaah kecuali Muslin dan An-Nasa’i)

Dari Abu Hurairah ra. Rasulullah SAW bersabda : apabila ada ternak digadaikan, maka punggungnya boleh dinaiki (oleh yang menerima gadai), karena ia telah mengeluarkan biaya (menjaga)nya. Apabila ternak itu digadaikan, maka air susunya yang deras boleh diminum (oleh orang yang menerima gadai) karena ia telah mengeluarkan biaya (menjaga)nya. Kepada orang yang naik dan minum, maka ia harus mengeluarkan biaya (perawatannya). (HR. Jamaah kecuali Bukhari, Muslim dan An-Nasa’i)

Hukum Gadai

Para ulama sepakat bahwa gadai diperbolehkan, tetapi tidak diwajibkan, sebab gadai hanya jaminan jika kedua pihak tidak saling mempercayai.

Firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 283 (‘barang tanggungan yang dipegang’) adalah anjuran baik kepada orang beriman dalam kondisi ‘tidak adanya kepercayaan’ dalam bermuamalah. Jika saling percaya, maka tak perlu gadai jika membutuhkan sesuatu melalui proses pinjaman, misalnya. Hal ini seperti yang diisyaratkan oleh lanjutan QS. Al-Baqarah pada ayat 283 (yang artinya), “Akan tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanahnya (utangnya).” (QS. al-Baqarah: 283)

Hukum gadai secara umum terbagi menjadi dua, yaitu shaih dan gairu shahih. Rahn shahih adalah rahn yang memenuhi persayaratan; sedangkan rahn gairu shahih adalah rahn yang tidak memenuhi persyaratan. 

Kelaziman gadai tergantung pada penggadai, bukan penerima gadai. Sedangkan penerima gadai hanya berhak membatalkannya kapan saja dia mau jika memang layak adanya pembatalan.

Selain itu, menurut jumhur ulama, gadai baru dipandang sah apabila barang gadai sudah dipegang oleh penerima gadai. Selama barang gadai belum diterima penerima gadai, maka proses gadai tidak sah. 

Dampak Gadai

Jika akad gadai sudah sempurna, yakni penggadai menyerahkan barang gadai kepada penerima gadai, maka terjadilah beberapa dampak hukum berikut ini: Adanya utang untuk penggadai, Hak menguasai barang gadai, Menjaga barang gadai, Pembiayaan atas barang gadai, dan Pemanfaatan barang gadai. 

Syarat Gadai

Mengenai syarat gadai, maka dapat dijelaskan ke dalam beberapa poin berikut ini: Pertama, Syarat Aqid, Kedua, Syarat Shighat, Ketiga, Syarat Utang, Keempat, Syarat Borg, Kelima, Syarat Kesempurnaan Barang, Keenam, Beberapa hal Berkaitan dengan Syarat Gadai.  

Adapaun syarat dalam gadai adalah: Orang yang menggadaikan dan yang menerima gadai adalah orang yang boleh melakukan transaksi jual-beli;  Orang yang berakal;  Baligh (dewasa); dan Bukan orang gila dan anak-anak.[4]

Rukun Gadai

Gadai memiliki empat unsur, yaitu orang yang memberikan jaminan (penggadai), orang yang menerima (penerima gadai), jaminan (barang gadai) dan utang.

Menurut ulama Hanafiyah, rukun gadai adalah ijab dan qabul dari orang yang memberikan jaminan dan orang yang menerima, sebagaimana pada akad yang lain.[5] Akan tetap akad dalam gadai tidak akan sempurna sebelum adanya penyerahan barang.

Adapun ulama selain Hanafiyah, rukun gadai adalah shigat, aqid (orang yang beraqad), jaminan dan utang.

Sedangkan menurut jumhur ulama, rukun gadai ada lima, yaitu rahin (orang yang menggadaikan); murtahin (orang yang menerima gadai); marhun/rahn (barang gadai); marhun bih (utang); dan shighat (ijab-qabul).[6]

Selanjutnya dapat dijelaskan rukun gadai, yaitu:

Pertama, Ijab Qabul (sighat). Hal ini dapat dilakukan baik dalam bentuk tertulis maupun lisan, asalkan di dalamnya terkandung maksud adanya perjanjian gadai di antara para pihak.

Kedua, Orang yang bertransaksi (Aqid). Syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi orang-orang yang bertransaksi gadai yaitu Rahin (pemberi gadai) dan Murtahin (penerima gadai) adalah telah dewasa, berakal sehat, dan atas keinginan sendiri.

Ketiga, Adanya barang yang digadaikan (Marhun). Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk barang yang akan digadaikan oleh Rahin (pemberi gadai) adalah dapat diserahterimakan, bermanfaat, milik Rahin  secara sah, jelas, tidak bersatu dengan harta lain, dikuasai oleh Rahin, dan harta yang tetap atau dapat dipindahkan. Dengan demikian barang-barang yang tidak dapat diperjualbelikan tidak dapat digadaikan.

Keempat,  Hutang (Marhun Bih). Menurut ulama Hanafiah dan Syafiiyah syarat sebuah hutang yang dapat dijaadikan alas hak atas gadai adalah berupa hutang yang tetap dapat dimanfaatkan , hutang tersebut harus lazim pada waktu akad, hutang harus jelas dan diketahui oleh Rahin dan Murtahin.

Kesimpulan

Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa gadai (rahn) adalah perjanjian atau transaksi utang-piutang/pinjam-meminjam dengan menyerahkan barang sebagai jaminan atau tanggungan utang.

Dalam Islam gadai itu sendiri diperbolehkan, landasan hukum gadai terdapat pada Al-Qur’an (surah Al-Baqarah ayat 282-283) dan  Al-Hadits.

Para ulama sepakat bahwa gadai diperbolehkan, tetapi tidak diwajibkan, sebab gadai hanya jaminan jika kedua pihak tidak saling mempercayai.

Adapun rukun dalam gadai adalah adanya ijab qabul (shighat), orang yang bertransaksi (penerima dan pemberi gadai), adanya barang yang digadaikan dan adanya hutang. Sedangkan syarat gadai adalah Orang yang menggadaikan dan yang menerima gadai, bukan orang gila dan anak-anak, orang yang berakal dan baligh (dewasa).

Para jumhur ulama berbeda pendapat tentang pemanfaatan barang yang digadaikan. Para imam madzhab selain imam hanbali melarang barang yang digadaikan digunakan oleh penerima gadai meskipun mendapat izin dari rahin.

Namun demikian ada sebagian ulama yang memperbolehkan barang yang digadaikan digunakan oleh penerima gadai, jika barang tersebut berupa kendaraan atau binatang ternak yang dapat diambil manfaatnya dan memerlukan biaya perawatan maka penerima gadai dapat mengambil manfaat dari barang tersebut dan disesuaikan dengan biaya perawatannya selama barang tersebut ada padanya.

Gadai tidak hanya digunakan dalam perusahaan umum pegadaian saja, namun juga praktik gadai ini telah diterapkan atau diaplikasikan dalam perbankan syari’ah, tetapi bukan menjadi produk utama melainkan sebagai pelengkap.

Salah satu manfaat yang dapat diambil pihak bank dari praktik rahn ini adalah memberikan keamanan bagi semua penabung dan pemegang deposito bahwa dananya tidak akan hilang begitu saja jika nasabah peminjam ingkar janji karena ada suatu asset atau barang (marhun) jaminan yang dipegang oleh bank.

Dalam transaksi gadai peluang untuk terjadinya riba bisa terjadi jika rahin tidak mampu membayar utangnya hingga waktu yang telah ditentukan, kemudian murtahin menjual marhun dengan tidak memberikan kelebihan harga marhun kepada rahin, maka hal tersebut termasuk riba.

Selanjutanya penyelesaian terhadap rahn, yaitu apabila pada waktu pembayaran yang telah ditentukan rahin belum dapat membayar utangnya, hak murtahin adalah menjual marhun, pembelinya boleh murtahin sendiri atau yang lainnya, tetapi dengan harga yang umum yang berlaku pada waktu itu dari penjualan marhun tersebut. Hak murtahin hanyalah sebesar piutangnya, dengan akibat apabila harga penjualan marhun lebih besar dari jumlah hutang, sisanya dikembalikan kepada rahin. Apabila sebaliknya, harga penjualan marhun kurang dari jumlah utang, rahin masih menanggung pembayaran keduanya.

Daftar Pustaka
Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga Keuangan Syariah, Sinar Grafika, Jakarta, 2012.
Hamzah Ya’qub, Kode Etik Dagang Menurut Islam, Diponegoro, Bandung, 1984.
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, Gunung Djati Press, Bandung, 1997.
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005.  
M. Hasbi Ash Shiddieqie, Pengamat Fiqih Muamalah, PT. Pustaka Rizka Putra, Semarang, 1997.
Muhammad Sholikul Hadi, Pegadaian Syariah, Salemba Diniyah, Jakarta, 2003.
Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah, Pustaka Setia, Bandung, 2001.
Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, Fiqih Wanita, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2008.

Oleh: Syamsudin Kadir—Direktur Eksekutif Penerbit Mitra Pemuda, dan Penulis buku “MEMBANGUN PENDIDIKAN DAN BANGSA YANG BERADAB”.  


[1] Rachmat Syafei. Fiqih Muamalah. (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hlm. 159. Sedangkan menurut Hendi Suhendi (2005), menurut bahasa, gadai (rahn) berarti al-tsubut dan al-habs yaitu penetapan dan penahanan. Baca dalam Hendi Suhendi. Fiqih Muamalah (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005)  
[2] Rachmat Syafei. Fiqih Muamalah. (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hlm. 159
[3] Sayyid Sabiq. Fiqih Sunnah (Jilid III), hlm. 187
[4] Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah. Fiqih Wanita. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008)
[5] Rachmat Syafei. Fiqih Muamalah. (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hlm. 162
[6] Fathurrahman Djamil. Penerapan Hukum Perjanjian dan Transaksi di Lembaga Keuangan Syariah. (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm. 233

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah