Tantangan Pendidikan Indonesia Masa Depan
PENDIDIKAN
merupakan sektor yang sangat menentukan kualitas suatu bangsa. Kegagalan
pendidikan berimplikasi pada gagalnya suatu bangsa. Keberhasilan pendidikan
juga secara otomatis membawa keberhasilan sebuah bangsa.
Saat
ini, dunia pendidikan nasional Indonesia berada dalam situasi “kritis” baik
dilihat dari sudut internal kepentingan pembangunan bangsa, maupun secara
eksternal dalam kaitan dengan kompetisi antar bangsa. Fakta menunjukkan bahwa,
kualitas pendidikan nasional masih rendah dan jauh ketinggalan dibandingkan
dengan negara-negara lain. Berbagai kritikan tajam yang berasal dari berbagai
sudut pandang terus ditujukan kepada dunia pendidikan nasional dengan berbagai
alasan dan kepentingan.
Begitu
banyak dan kompleks permasalahan di dalam pendididikan Indonesia. Kurikulum
yang berganti-ganti rupanya belum mampu menciptakan pendidikan Indonesia yang
berkualitas. Berawal dari permasalahan kompleks pendidikan, muncul banyak
tantangan masa depan pendidikan di Indonesia.
Tantangan Pendidikan Indonesia
Bagi
orang-orang yang berkompeten terhadap bidang pendidikan akan menyadari bahwa
dunia pendidikan kita sampai saat ini masih mengalami “sakit”. Dunia pendidikan
yang “sakit” ini disebabkan karena pendidikan yang seharusnya membuat manusia
menjadi manusia, tetapi dalam kenyataannya seringkali tidak begitu. Seringkali
pendidikan tidak memanusiakan manusia. Kepribadian manusia cenderung direduksi
oleh sistem pendidikan yang ada.
Masalah
pertama adalah bahwa pendidikan,
khususnya di Indonesia, menghasilkan “manusia robot”. Dikatakan demikian,
karena pendidikan yang diberikan ternyata berat sebelah atau tidak seimbang.
Pendidikan ternyata mengorbankan keutuhan, kurang seimbang antara belajar yang
berpikir (kognitif) dan perilaku belajar yang merasa (afektif). Jadi unsur
integrasi cenderung semakin hilang, yang terjadi adalah disintegrasi. Padahal
belajar tidak hanya berfikir. Sebab ketika orang sedang belajar, maka orang
yang sedang belajar tersebut melakukan berbagai macam kegiatan, seperti
mengamati, membandingkan, meragukan, menyukai, semangat dan sebagainya.
Masalah
kedua adalah sistem pendidikan yang
top-down (dari atas ke bawah) atau kalau menggunakan istilah Paulo Freire
(seorang tokoh pendidik dari Amerika Latin) adalah pendidikan gaya bank. Sistem
pendidikan ini sangat tidak membebaskan karena para peserta didik (murid)
dianggap manusia-manusia yang tidak tahu apa-apa. Guru sebagai pemberi
mengarahkan kepada murid-murid untuk menghafal secara mekanis apa isi pelajaran
yang diceritakan. Guru sebagai pengisi dan murid sebagai yang diisi. Otak murid
dipandang sebagai safe deposit box, dimana pengetahuan dari guru ditransfer ke
dalam otak murid dan bila sewaktu-waktu diperlukan, pengetahuan tersebut
tinggal diambil saja. Murid hanya menampung apa saja yang disampaikan guru.
Oleh
karena itu strategi pendidikan di Indonesia harus terlebur dalam “strategi
kebudayaan Asia”, sebab Asia kini telah berkembang sebagai salah satu kawasan
penentu yang strategis dalam bidang ekonomi, sosial, budaya bahkan politik
internasional. Bukan bermaksud anti-Barat, melainkan justru hendak mengajak
kita semua untuk melihat kenyataan ini sebagai sebuah tantangan bagi dunia
pendidikan kita. Mampukah kita menjadikan lembaga pendidikan sebagai sarana
interaksi kultural untuk membentuk manusia yang sadar akan tradisi dan
kebudayaan serta keberadaan masyarakatnya sekaligus juga mampu menerima dan
menghargai keberadaan tradisi, budaya dan situasi masyarakat lain?
Berawal
dari permasalahan kompleks pendidikan, muncul banyak tantangan masa depan
pendidikan di Indonesia, antara lain, pertama, Kualitas
Pendidikan. Kualitas
pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Hal ini dibuktikan
antara lain dengan data di Asia kualitas pendidikan di Indonesia berada pada
urutan ke-12 dari 12 negara. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam.
Kualitas
pendidikan di Indonesia dipengaruhi oleh rendahnya daya saing. Data yang
dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki
daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang
disurvei dunia. Berdasarkan survei dari lembaga yang sama Indonesia hanya berpredikat
sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di
dunia.
Abdul Malik Fadjar (2001) menyatakan bahwa
“sistem pendidikan di Indonesia
adalah yang terburuk di kawasan Asia”. Indonesia mengalami ketertinggalan dalam
mutu pendidikan. Baik pendidikan formal maupun informal. Hasil itu diperoleh
setelah kita membandingkan dengan negara lain. Pendidikan memang telah menjadi
penopang dalam meningkatkan sumber daya manusia Indonesia untuk pembangunan
bangsa. Oleh karena itu, kita seharusnya dapat meningkatkan sumber daya manusia
Indonesia yang tidak kalah bersaing dengan sumber daya manusia di negara-negara
lain.
Ada
dua faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan, khususnya di Indonesia
yaitu : (a)
Faktor internal, meliputi jajaran dunia pendidikan baik itu Departemen Pendidikan Nasional, Dinas Pendidikan daerah, dan juga sekolah yang berada di garis
depan. Dalam hal ini, interfensi dari pihak-pihak yang terkait sangatlah
dibutuhkan agar pendidikan senantiasa selalu terjaga dengan baik. (b) Faktor eksternal, adalah masyarakat
pada umumnya. Masyarakat merupakan ikon pendidikan dan merupakan tujuan dari
adanya pendidikan yaitu sebagai objek dari pendidikan.
Kedua, Kualitas Kurikulum. Kurikulum pendidikan di Indonesia juga
menjadi masalah yang harus diperbaiki. Pasalnya kurikulum di Indonesia hampir
setiap tahun mengalami perombakan dan belum adanya standar kurikulum yang
digunakan. Tahun 2013 yang akan datang, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
akan melakukan perubahan kurikulum pendidikan nasional untuk menyeimbangkan
aspek akademik dan karakter. Kurikulum pendidikan nasional yang baru akan
selesai digodok pada Februari 2013 itu rencananya segera diterapkan setelah
melewati uji publik beberapa bulan sebelumnya.
Mengingat
sering adanya perubahan kurikulum pendidikan, akan membuat proses belajar
mengajar terganggu. Karena fokus pembelajaran yang dilakukan oleh guru akan
berganti mengikuti adanya kurikulum yang baru. Terlebih jika inti kurikulum
yang digunakan berbeda dengan kurikulum lama sehingga mengakibatkan penyesuaian
proses pembelajaran yang cukup lama.
Ketiga, Guru. Hingga saat ini, masih banyak masalah
dan kendala yang berkaitan dengan guru. Berbagai upaya pembaharuan pendidikan
telah banyak dilakukan antara lain melalui perbaikan sarana, peraturan,
kurikulum, dan sebagainya. Beberapa masalah dan kendala yang berkaitan dengan
kondisi guru antara lain (a)
Aspek
Kualitas. Dari
aspek kualitas, sebagian besar guru-guru dewasa ini masih belum memiliki
pendidikan minimal yang dituntut. Data menunjukkan bahwa dari 2.783.321 orang
guru yang terdiri atas 1.528.472 orang guru PNS dan sisanya (1.254.849 orang)
non-PNS. Dari sisi kualifikasi pendidikan, hingga saat ini dari 2,92 juta guru
baru sekitar 51% yang berpendidikan S-1 atau lebih sedangkan sisanya belum
berpendidikan S-1. Begitu juga dari persyaratan sertifikasi, hanya 2,06 juta
guru atau sekitar 70,5% guru yang memenuhi syarat sertifikasi sedangkan 861.670
guru lainnya belum memenuhi syarat sertifikasi.
Masih
banyak guru yang belum sarjana, namun mengajar di SMU/SMK, serta banyak guru
yang mengajar tidak sesuai dengan disiplin ilmu yang mereka miliki. Keadaan
seperti ini menimpa lebih dari separoh guru di Indonesia, baik di SD, SLTP dan
SMU/SMK. Artinya lebih dari 50 persen guru SD, SLTP dan SMU/SMK di Indonesia
sebenarnya tidak memenuhi kelayakan mengajar. Dengan kondisi dan situasi
seperti itu, diharapkan pendidikan yang berlangsung di sekolah harus secara
seimbang dapat mencerdaskan kehidupan anak dan harus menanamkan budi pekerti
kepada anak didik. “Sangat kurang tepat bila sekolah hanya mengembangkan
kecerdasan anak didik, namun mengabaikan penanaman budi pekerti kepada para
siswanya”.
Walaupun
guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan, tetapi
pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi. Sebagai cermin
kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas
pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya.
(b) Kuantitas. Dari aspek kuantitas, jumlah guru yang
ada masih dirasakan belum cukup untuk menghadapi pertambahan siswa serta
tuntutan pembangunan sekarang. Kekurangan guru di berbagai jenis dan jenjang
khususnya di sekolah dasar, merupakan masalah besar terutama di daerah pedesaan
dan daerah terpencil.
(c) Aspek
Distribusi. Dari
aspek penyebarannya/distribusi, masih terdapat ketidak seimbangan penyebaran
guru antarsekolah dan antardaerah. Kekurangan guru untuk sekolah di perkotaan,
desa, dan daerah terpencil masing-masing adalah 21%, 37%, dan 66%. Sedangkan secara
keseluruhan, Indonesia kekurangan guru sebanyak 34%, sementara di banyak daerah
terjadi kelebihan guru. Belum lagi pada tahun 2010-2015 ada sekitar 300.000
guru di semua jenjang pendidikan yang akan pensiun sehingga harus segera dicari
pengganti untuk menjamin kelancaran proses belajar.
Keempat, Relevansi Pendidikan. Relevansi pendidikan merupakan
kesesuaian antara pendidikan dengan perkembangan di masyarakat. Banyak jurusan
atau program keahlian yang tidak relevan dengan dunia kerja yang membutuhkan,
dan yang lebih memprihatinkan adalah tidak relevannya kualitas pendidikan
dengan persyaratan lapangan kerja.
Indikasi
untuk melihat ketidakrelevansian antara pendidikan dan dunia kerja ini
sebenarnya dapat diketahui dengan mudah oleh orang awam. Yaitu, dengan melihat
banyaknya angka pengangguran intelektual saat ini. Apakah kita bisa sepenuhnya
mengkambinghitamkan dunia kerja yang jumlahnya tidak sebanding dengan angkatan
kerja yang terus naik tiap tahun? Dalam kenyataannya, banyak pula lowongan atau
posisi dalam perusahaan yang tidak terisi karena tidak ada lulusan / out put
pendidikan yang bisa mengisinya. Kriteria dan persyaratan yang diminta tidak
ada yang bisa dipenuhi. Akibatnya untuk memperoleh tenaga kerja yang dibutuhkan
itu, perusahaan tidak jarang harus sampai melakukan ‘pembajakan’ tenaga kerja (hijacking of man power).
Kelima, Elitisme. Elitisme adalah kecenderungan
penyelenggaraan pendidikan oleh pemerintah yang menguntungkan kelompok
minoritas yang justru mampu ditinjau secara ekonomi (kaum elite). Misalnya:
kepincangan pemberian subsidi, mahalnya pendidikan yang mengakibatkan
hanya bisa dienyam oleh orang yang kaya, pemerataan
pendidikan, pemerataan pendidikan telah mendapat
perhatian sejak lama terutama di negara-negara berkembang. Hal ini tidak
terlepas dari makin tumbuhnya kesadaran bahwa pendidikan merupakan peran
penting dalam pembangunan bangsa.
Pemerataan
pendidikan mencakup dua aspek penting yaitu persamaan kesempatan untuk
memperoleh pendidikan dan keadilan dalam memperoleh pendidikan yang sama dalam
masyarakat. Akses terhadap pendidikan yang merata berarti semua penduduk usia
sekolah telah memperoleh kesempatan pendidikan, sementara itu akses terhadap
pendidikan telah adil jika antar kelompok bisa menikmati pendidikan secara sama.
Biaya
pendidikan yang mahal membuat siswa putus sekolah atau tidak melanjutkan.
Kemiskinan menjadi sebuah tantangan di hampir semua negara tak terkecuali di
Indonesia. Kemiskinan terjadi biasanya akibat dari berbagai faktor yang sudah
tersistematis. Faktor faktor tersebut dapat dijabarkan dengan mudah melalui
lingkaran setan kemiskinan. Seharusnya orang orang miskin ini dapat mengakses
pendidikan agar mereka dapat meningkatkan kualitas hidup mereka. Namun sayang
ternyata sekolah yang ada belum dapat memberikan akses terhadap orang miskin
dengan berbagai alasan yang ada.
Kemiskinan
merupakan permasalahan yang kompleks dan membutuhkan solusi yang inovatif dan
berkelanjutan. Salah satu cara untuk menuntaskan kemiskinan ialah dengan cara
memutus salah satu rantai didalam lingkaran setan kemiskinan. Pendidikan tepat
guna yang menyenangkan untuk semua dapat menjadi salah satu alternatif solusi
yang dapat meningkatkan kualitas hidup adik adik kita yang kurang beruntung.
Menemukan
Jalan Keluar
Upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk menghadapi
tantangan pendidikan ialah dengan meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia
yaitu usaha peningkatan mutu dengan perubahan kurikulum dan proyek peningkatan
lain:
Proyek Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS),
Proyek Perpustakaan, Proyek Bantuan Meningkatkan Manajemen Mutu (BOMM), Proyek
Bantuan lmbal Swadaya (BIS), Proyek Pengadaan Buku Paket, Proyek Peningkatan
Mutu Guru, Dana Bantuan Langsung (DBL), Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan
Bantuan Khusus Murid. Selain itu juga memberikan penghargaan kepada insan
pendidikan, meningkatkan profesionlisme guru dan
pendidik, sebisa mungkin kurangi dan berantas korupsi karena sangat merugikan
negara.
Dalam
konteks pembangunan sektor pendidikan, pendidik merupakan pemegang peran yang
amat sentral. Guru adalah jantungnya pendidikan. Tanpa denyut dan peran aktif
guru, kebijakan pembaruan pendidikan secanggih apa pun tetap akan sia-sia.
Sebagus apa pun dan semodern apa pun sebuah kurikulum dan perencanaan strategis
pendidikan dirancang, jika tanpa guru yang berkualitas, tidak akan membuahkan
hasil optimal. Artinya, pendidikan yang baik dan unggul tetap akan tergantung
pada kondisi mutu guru.
Beberapa
upaya untuk meningkatkan mutu guru,
yaitu pertama, Sertifikasi Guru. Sertifikasi adalah proses pemberian
sertifikat pendidik untuk guru. Hingga saat ini sertifikasi bagi guru dalam
jabatan dilaksanakan oleh Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang
terakreditasi dan ditetapkan oleh pemerintah. Sedangkan pelaksanaan sertifikasi
dilakukan dalam bentuk portofolio sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Nomor 18 Tahun 2007.
Sertifikasi guru dalam jabatan
merupakan kebijakan pemerintah untuk memenuhi standar guru yang dipersyaratkan,
yaitu memiliki kualitas akademik minimal S-1/D-IV yang relevan dan memiliki
kompetensi sebagai agen pembelajaran (agent of learning) dan key
person in the classroom (Davies dan Ellison, 1992). Sertifikasi guru
merupakan upaya peningkatan mutu guru yang disertai peningkatan kesejahteraan,
sehingga diharapkan dapat meningkatkan mutu pembelajaran dan pendidikan di
tanah air secara berkesinambungan. Bentuk kesejahteraan guru adalah tunjangan
profesi yang besarnya satu kali gaji dan diberikan apabila seorang guru telah
memperoleh sertifikat pendidik.
Sertifikasi guru memiliki tujuan
yang sangat mulia, yaitu untuk memberikan kesejahteraan yang lebih baik kepada
guru, dan sekaligus untuk meningkatkan kualitas guru. Namun demikian, dalam
pelaksanaan sertifikasi guru perlu adanya pengawasan. Jika tidak dikhawatirkan
akan terjadi praktik-praktik yang tidak seharusnya dilakukan seperti KKN yang
dilakukan antara institusi yang diberi kewenangan untuk melakukan uji
sertifikasi dengan para guru yang berkeinginan sekali untuk lulus dan mendapat
sertifikat pendidik. Oleh karena itu, baik pemerintah, masyarakat, dan
organisasi profesi pendidik terutama PGRI serta organisasi sejenis harus saling
bersinergi dan bekerja keras untuk mengawasi dan memantau pelaksanaan
sertifikasi sehingga benar-benar dapat dilaksanakan sesuai dengan harapan. Jika
diperlukan, bisa dibentuk lembaga pemantau dan pengawas independen
pelaksanaan sertifikasi guru.
Hal tersebut sesuai dengan hasil
Kajian Implementasi Sertifikasi Melalui Penilaian Portofolio dan PLPG (2008),
yang menyatakan bahwa secara umum, kompetensi guru yang lulus sertifikasi
melalui penilaian portofolio tidak banyak mengalami peningkatan, dan bahkan ada
kecenderungan menurun. Sebagian guru yang telah lulus sertifikasi melalui
penilaian portofolio seringkali tidak masuk dan mengajar dengan semaunya saja
karena merasa sudah punya sertifikat dan telah mendapat tunjangan profesi.
Sebaliknya, kompetensi guru yang lulus melalui PLPG pada umumnya meningkat,
meskipun belum signifikan. Hal ini terjadi karena metode, pendekatan, dan
karakteristik sertifikasi melalui penilaian portofolio dan PLPG sangat berbeda.
Penilaian portofolio menekankan pada dokumen sedangkan PLPG menekankan pada
proses pembelajaran. Di samping itu, kurangnya pemahaman pihak-pihak yang terlibat
dalam penetapan kuota dan penetapan peserta sertifikasi guru pada tingkat
Kabupaten/Kota tentang aturan yang digunakan sebagai dasar penetapan kuota dan
peserta juga menjadikan permasalahan tersendiri dalam pelaksanaan sertifikasi.
Kedua, Continuous Professional Development (CPD). Upaya lain yang dilakukan dalam
rangka peningkatan mutu dan profesionalisme guru juga telah dilakukan
oleh pemerintah. Peningkatan profesionalisme dilakukan melalui pendidikan,
pelatihan-pelatihan singkat maupun berkesinambungan, dengan pembiayaan dari
pemerintah, yang dikenal dengan Continuous Professional Development
(CPD). Beberapa upaya yang dilakukan
dengan pendekatan CPD ini adalah
dengan memberdayakan unsur-unsur sebagai berikut. (a) KKG (Kelompok Kerja Guru)
dan MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran). KKG merupakan kelompok atau forum
musyawarah kerja guru di tingkat pendidikan dasar, sedangkan MGMP yaitu forum
musyawarah kerja guru di tingkat pendidikan menengah, yang tercatat dan diakui
keberadaannya oleh Pemerintah Daerah melalui Dinas Pendidikan.
Kaitannya dengan kualifikasi dan
sertifikasi guru maka KKG/MGMP dapat menjadi tempat para guru untuk saling
membantu dalam meningkatkan kemampuannya guna mencapai kualifikasi standar guru
yang disyaratkan (S1/D4) dan sertifikasi profesi sebagai guru. Dalam KKG/MGMP
para guru dapat saling belajar dan saling memberikan semangat untuk maju
bersama meningkatkan kualifikasi dan profesionalitasnya secara terus menerus.
(b) KKKS (Kelompok Kerja Kepala Sekolah) dan MKKS
(Musyawarah Kerja Kepala Sekolah). Kepala sekolah dapat beperan positif
terhadap perkembangan para guru, yaitu para kepala sekolah mampu
meningkatkan potensi guru-guru sekaligus memberikan ruang gerak dan kebebasan
untuk maju bagi para guru guna meningkatkan komitmen tanggung jawab tugasnya.
Para guru perlu mendapatkan
dorongan kuat dari para kepala sekolah untuk berani keluar dari dunia rutinitas
hariannya masuk kedalam dunia dinamis yang merupakan syarat dari sutau
perkembangan profesionalisme para guru itu sendiri dalam rangka meningkatkan
kompetensi untuk mendukung tugas luhurnya sebagai guru yang profesional.
Sebaliknya kepala sekolah dapat
menjadi penghambat perkembangan para guru, jika para guru tidak mendapat
dukungan untuk secara dinamis mengembangkan potensinya dengan berinteraksi
dengan jaringan guru-guru dari satuan pendidikan lainnya dan lembaga-lembaga
lainnya. Dengan interaksi keluar yang terarah maka para guru akan mendapatkan
berbagai best practices dari jaringannya sehingga individualnya akan
terbangkitkan untuk maju bersama rekan guru lainnya.
(c) LPMP dan P4TK. Dalam upaya menumbuhkembangkan KKG dan
MGMP, perlu mendapatkan pasokan informasi, material dan juga finansial secara
sistematis sampai mereka menjadi grup-grup dinamis yang dapat mengembangkan dan
membiayai kelompoknya sendiri. Lembaga yang dapat memberikan masukan
diantaranya Lembaga Penjaminan Mutu Pendidik (LPMP) dan Pusat Pengembangan dan
Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (P4TK). Fungsi LPMP dan P4TK
terkait dengan pengembangan profesionalisme guru berkelanjutan adalah antara
lain: (a) LPMP dan P4TK dapat berperan dalam mengembangkan profesionalisme guru
melalui berbagai kegaiatan dengan bekerjasama dengan KKG/MGMP. (b) LPMP dan
P4TK dapat membuat jaringan kerja dinamis dengan seluruh KKG/MGMP di daerahnya
masing-masing. (c) Pembuatan jaringan dapat dimulai dengan pendataan profil dan
pemetaan KKG/MGMP, membuat perencanaan pengembangan jaringan kerja yang
menghubungakan antara KKG/MGMP dan LPMP dan P4TK. (d) Selanjutnya LPMP/P4TK
dapat mendorong para vocal point (wakil aktif) tiap-tiap KKG/MGMP untuk
selalu saling berinteraksi melalui berbagai media baik Email, SMS, telepon,
pertemuan langsung dan lain-lain. Semakin intensif interaksi antar mereka
semakin cepat perkembangan KKG/MGMP dan juga perkembangan LPTK dan P4TK.
(d) Perguruan Tinggi (PT/LPTK). Lembaga Perguruan Tinggi
baik LPTK maupun Perguruan Tinggi umum lainnya mempunyai peranan signifikan
dalam peningkatan profesionalisme guru: (a) Perguruan Tinggi dapat menyumbangkan
andilnya dalam menjalin kerjasama dan akses networking
dengan para guru atau KKG/MGMP. (b) Perguruan Tinggi dapat menjadi acuan
kemajuan dalam bidang Ilmu pengetahuan dan teknologi yang diperlukan para guru
dalam mengaktualisasikan pengetahuannya. (c) Perguruan Tinggi dapat melakukan
kegiatan-kegiatan di satuan-satuan pendidikan guna ikut mengaktifkan guru-guru
dan menjalin hubungan kerjasama pengembangan pedidikan. Dengan semakin banyak
persinggungan antara para guru dalam KKG/MGMP maka semangat peningkatan
kualifikasi guru akan semakin meningkat. (d) Kuliah Kerja Nyata (KKN) dari
Perguruan Tinggi dapat diarahkan guna ikut membina satuan-satuan pendidikan
beserta tenaga gurunya, sehingga secara reguler mendapatkan suntikan motivasi,
tenaga dan informasi dari mahasiswa dan dosen-dosen perguruan tinggi. (e) Perguruan
tinggi dapat melakukan networking ke
satuan-satuan pendidikan dan KKG/MGMP atau sebaliknya guna saling memahami
permasalahan yang ada dan selanjutnya mejalin kerjasama.
(e) Assosiasi profesi. Dalam
rangka meningkatkan profesionalisme guru berkelanjutan, peranan assosiasi
profesi guru yang ada sangat signifikan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan
berbagai cara sebagai berikut: (1) LPMP/P4TK dan KKG/MGMP dapat menjalin
kerjasama dengan assosiasi guna lebih mengembangkan sayap kerjanya untuk
meningkatkan mutu guru. (2) Assosiasi dapat bekerjasama dalam menggerakkan
dinamika guru dengan berbagai macam kegaiatan yang mengarah pada pemberdayaan
individu dan kelompok guru. Bagi assosiasi hal ini sangat penting karena
asosiasi akan semakin mendapat legitimasi luas sebagai organisisi yang
benar-benar memperjuangkan kemajuan guru. (3) Asosiasi dapat mengembangkan hubungan kerja LPMP/P4TK, KKG/MGMP dan guru
secara networking, dimana ”saling tergantung” diubah menjadi
”saling mendukung”, dari ”saling berebut” menjadi ”saling berbagi” dan
dari ”saling berusaha merugikan” menjadi ”saling berusaha menguntungkan”, dari
“saling menyembunyikan informasi” menjadi “saling sharing informasi”, dan
sebagainya. []
Catatan: Dielaborasi dari berbagai sumber.
Oleh: Syamsudin
Kadir—Pegiat PENA dan Pendidikan Islam di Institut Agama Islam Bunga Bangsa
Cirebon (IAI BBC), Penulis buku “MEMBANGUN PENDIDIKAN DAN BANGSA YANG BERADAB”
dan Direktur Eksekutif Penerbit Mitra Pemuda.
Komentar
Posting Komentar