Sejarah Pengembangan Kurikulum di Indonesia



DI DALAM Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 Negara Kesatuan Republik Indonesia tertera dengan jelas tentang tujuan berbangsa dan bernegara, salah satunya mencerdaskan kehidupan bangsa, yang kemudian diperjelas dalam pasal 31 ayat 1-5 tentang pendidikan dan kebudayaan. Sebagai tindak lanjut, maka disusunlah berbagai peraturan perundang-undangan terkait dengan pendidikan sekaligus kurikulum yang relevan dan sesuai dengan kebutuhan zaman. 


Pada sejarah perkembangannya, kurikulum berubah beberapa kali. Perubahan bertujuan untuk menyesuaikan dan mengembangkan pendidikan Indonesia ke kualitas yang lebih baik dan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, di samping menyesuaikan perkembangan peserta didik.

Namun dalam setiap perubahan kurikulum, sistem kurikulum di Indonesia tidak selalu berdampak positif, namun juga ada yang bersifat negatif karena tidak relevan lagi, sehingga diperlukan adanya perbaikan kurikulum pada sistem pendidikan yang diterapkan pada masing-masing periode atau dari satu periode ke periode berikutnya, seperti yang pernah terjadi juga pada zaman klasik, yaitu zaman Yunani dan Romawi.

1. Sejarah Perkembangan Kurikulum Zaman Klasik

Secara sederhana, sejarah kurikulum terbagi ke dalam beberapa zaman. Misalnya, menurut Ahmad (1998: 79), yaitu :
1.      Kurikulum Zaman Zaman Yunani Kuno
2.      Kurikulum Zama Romawi
3.      Kurikulum Abad Tengah Modern

Pertama, kurikulum Yunani Kuno. Pada zaman Yunani Kuno kurikulum masih sangat primitif dan belum ada sekolah formal, sehingga kurikulumnya pun tidak tertulis. Pada masa nenek moyang bangsa kita, proses pendidikan berjalan secara informal, yaitu para orangtua memberikan pengalaman pada anak-anaknya, seperti cara-cara memburu binatang, menangkap ikan, bertani, dan sebagainya.[1]

Pada zaman kuno, kurikulum saat itu sangat sederhana dan masih berbentuk jadwal pelajaran seperti:
1.      Literatur secara tertulis tidak ada, hanya berupa dongeng dan pesan secara lisan.
2.      Ilmu pengetahuan hanya terbatas pada kenyataan-kenyataan alam langsung, tanpa ukuran buku.
3.      Matamatika (ilmu hitung) hanya mengenal angka dan hanya terbatas pada penjumlahan saja yang diperlukan.
4.      Mengenal dan mengutamanakan pendidikan jasmani atau latihan-latihan fisik.
5.      Mengenal dan mengutamakan pendidikan religius atau ritual (berupa kepercayaan)[2]

Kedua, Kurikulum zaman Romawi. Kurikulum saat ini hanya berisi pelajaran membaca, menulis dan berhitung. Pendidikan saat itu sifatnya informal karena hanya dilakukan di rumah-rumah dan pendidikan di sekolah-sekolah hampir tidak ada. Pendidikan tidak menjadi tugas negara, tetapi diselenggarakan di rumah-rumah.

Tujuan pendidikan zaman Romawi lama, yaitu: membentuk warga negara yang berani berkorban membela tanah airnya, dan diutamakan pembentukan warga negara yang cakap sebagai tentara.[3]

Ketiga, kurikulum abad tengah dan pendidikan modern. Pada zaman pertengahan asimilasi kebudayaan berjalan terus. Sejalan dengan itu, pendidikan saat itu hampir sebagian besar berada di tangan kaum baru, agama Kristen yang tidak membeda-bedakan derajat manusia atau warna kulit. Segenap manusia adalah makhluk Tuhan dan sama derajatnya. Bahan kebudayaan pada saat itu diambil dari Romawi dan Yunani.[4]

2. Sejarah Perkembangan Kurikulum Indonesia

Sejarah kurikulum pendidikan di Indonesia kerap berubah setiap ada pergantian Menteri Pendidikan, sehingga mutu pendidikan di Indonesia hingga kini masih dinilai belum memenuhi standar mutu yang jelas dan mantap. Dalam perjalanan sejarah sejak tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004 dan 2006[5], hingga kini yang masih berlaku Kurikulum 2013. 

Perubahan tersebut merupakan konsekuensi logis dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan IPTEK dalam masyarakat berbangsa dan bernegara. Sebab, kurikulum sebagai seperangkat rencana pendidikan perlu dikembangkan secara dinamis sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di masyarakat secara luas.

Menurut M. Ahmad (1998), perubahan kurikulum itu dapat terjadi karena dipengaruhi juga oleh beberapa faktor antara lain:
1.      Faktor sistem warisan pendidikan yang sudah tidak cocok dengan kondisi lapangan.
2.      Faktor ilmu pengetahuan dan teknologi yang sudah maju cepat.
3.      Faktor ledakan penduduk dimana generasi bertambah, hal ini membutuhkan pendidikan.[6]

Mengutip pendapat S. Naution (2003), Moh. Yamin (2012) mengakui bahwa kurikulum tidak pernah lepas dari cengkeraman kepentingan politik.[7] Bahkan setiap peraturan dan pasal-pasal kebijakan pendidikan, termasuk arahan dan perubahan kurikulum merupakan produk dinamika politik dalam perjalanan bangsa dan negara.

Menurut Nasution (2003), apapun yang akan dicapai di sekolah harus ditentukan oleh kurikulum. Jadi, barangsiapa yang menguasai kurikulum maka ia memegang peranan penting dalam mengatur nasib bangsa dan negara ke depannya.[8]

Walau begitu, semua kurikulum nasional dirancang berdasarkan landasan yang sama, yaitu Pancasila dan Undang-Undang 1945. Perbedaannya adalah pada penekanan pokok dari tujuan pendidikan serta pendekatan dalam merealisasikannya.

3. Perkembangan Kurikulum Pada Masa Berlakunya Kurikulum 

Secara historikal, perubahan kurikulum di dunia pendidikan Indonesia beserta tujuan yang ingin dicapai dapat diuraikan sebagai berikut:

Pertama, Kurikulum 1947

Kurikulum pertama di masa kemerdekaan namanya Rencana Pelajaran 1947. Ketika itu penyebutan lebih populer menggunakan Leer Plan (Rencana Pelajaran) ketimbang istilah Curriculum dalam bahasa Inggris. Rencana pelajaran 1947 bersifat politis, yang tidak mau lagi melihat dunia pendidikan masih menerapkan kurikulum Belanda, yang orientasi pendidikan dan pengajarannya ditujukan untuk kepentingan kolonialis Belanda.[9]

Rencana Pelajaran 1947 ini lebih mengutamakan pendidikan watak, kesadaran bernegara, dan masyarakat daripada  pendidikan pikiran. Materi pelajaran dihubungkan dengan kejadian sehari-hari,  perhatiaan terhadap kesenian, dan pendidikan jasmani. Pada masa itu juga dibentuk kelas masyarakat yaitu sekolah khusus bagi lulusan SR 6 tahun yang tidak melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP).  Kelas masyarakat mengajarkan keterampilan, seperti pertanian, pertukangan, dan perikanan. Tujuannya, agar anak yang tak mampu sekolah ke jenjang SMP, bisa langsung bekerja.[10]


Kedua, Kurikulum 1952

Pada tahun 1952 ini diberi nama Rentjana Pelajaran terurai 1952. Kurikulum ini sudah mengarah  pada suatu sistem pendidikan nasional. Yang paling menonjol dan sekaligus ciri dari kurukulum 1952 ini bahwa setiap rencana pelajaran harus memperhatikan isi pelajaran yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari. Fokusnya pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya dan moral (pancawardhana).

Mata pelajaran diklasifikasikan dalam lima kelompok bidang studi : moral, kecerdasan, emosional, keprigelan (keterampilan), dan jasmaniah. Pendidikan dasar lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis.

Ketiga, Kurikulum 1964

Kali ini beri nama Rentjana Pendidikan 1964. Pokok-pokok pikiran kurikulum 1964 yang menjadi ciri dari kurikulum ini adalah bahwa pemerintah mempunyai keinginan agar rakyat mendapat pengetahuan akademik untuk pembekalan pada jenjang Sekolah Dasar (SD), sehingga pembelajaran dipusatkan pada program Pancawardhana yang meliputi pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral.[11]

Mata pelajaran diklasifikasikan dalam lima kelompok bidang studi : moral, kecerdasan, emosional, keprigelan (keterampilan), dan jasmaniah. Pendidikan dasar lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis.[12]

Keempat, Kurikulum 1968

Kurikulum 1968 merupakan pembaharuan dari kurikulum 1964, yaitu dilakukannya perubahan struktur kurikulum pendidikan dari pancawardhana menjadi pembinaan jiwa Pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Kurikulum 1968 merupakan perwujudan dari perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.

Dari segi tujuan pendidikan, kurikulum 1968 bertujuan bahwa pendidikan ditekankan pada upaya untuk membentuk manusia Pancasila sejati, kuat, dan sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama. Isi pendidikan diarahkan pada kegiatan mempertinggi kecerdasan dan keterampilan, serta mengembangkan fisik yang sehat dan kuat.

Kelima, Kurikulum 1975

Kurikulum 1975 menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efisien dan efektif. Yang melatarbelakangi adalah pengaruh konsep di bidang manajemen, yaitu MBO (management by objective) yang terkenal saat itu. Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Intruksional (PPSI). Zaman ini dikenal istilah “satuan pelajaran”, yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan.

Setiap satuan pelajaran dirinci lagi: petunjuk umum, tujuan instruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar mengajar, dan evaluasi. Pada kurikulum ini juga menekankan pada pentingnya pelajaran matematika sebagai pedoman untuk melakukan kegiatan sehari-hari.

Walau demikian, perubahan kurikulum selalu berpijak pada prinsip-prinsip tertentu. Sekadar contoh, prinsip kurikulum Sekolah Dasar (SD) 1975, diantaranya: (1) prinsip fleksibilitas program, (2) prinsip efesiensi dan efektivitas; (3) prinsip berorientasi pada tujuan; (4) prinsip pendidikan seumur hidup.[13]

Keenam, Kurikulum 1984

Dari evaluasi Kurikulum 1975 dan masukan-masukan lain yang relevan, ditemukan masalah-masalah yang melatarbelakangi perbaikan Kurikulum 1975 dan ditetapkannya Kurikulum 1984, yaitu sebagai berikut:
(1)   Adanya beberapa unsur baru dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1983 yang perlu ditampung dalam Kurikulum Dikdasmen (Pendidikan Dasar dan Menengah).
(2)   Masih terdapatnya kesenjangan baik antara program kurikulum dengan pelaksanaannya di sekolah maupun antara program kurikulum dengan kebutuhan lapangan kerja dan kebutuhan pendidikan tinggi.
(3)   Masih belum sesuainya materi kurikulum berbagai mata pelajaran dengan taraf kemampuan anak didik.
(4)   Adanya kelemahan-kelemahan isi kurikulum dalam berbagai mata pelajaran pada jenis dan jenjang pendidikan, antara lain terlalu syaratnya materi kurikulum yang harus dijalankan, termasuk pelajaran matematika.
(5)   Adanya perbedaan kemajuan pendidikan antara suatu daerah dengan daerah lainnya, yang disebabkan oleh ketidakseimbangan perkembangan dari pertumbuhan masyarakat, lingkungan kehidupan masing-masing daerah, serta ilmu dan teknologi.
(6)   Adanya kesenjangan antara jumlah lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) dengan daya tampung Perguruan Tinggi (PT).[14]

Sehingga dapat dipahami bahwa Kurikulum 1984 memiliki kekhususan yaitu mengusung process skill approach. Meski mengutamakan pendekatan proses, tapi faktor tujuan tetap penting. Kurikulum ini juga sering disebut “Kurikulum 1975 yang Disempurnakan”. Posisi siswa ditempatkan sebagai subjek belajar. Dari mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Aktive Learning (SAL).

Kurikulum 1984 ini berorientasi kepada tujtuan interaksional. Didasari oleh pandangan bahwa pemberian pengalaman belajar kepada siswa dalam waktu belajar yang sangat terbatas di sekolah harus benar-benar fungsional dan efektif. Oleh karena itu, sebelum memilih atau menentukan bahan ajar, yang petama harus dirumuskan adalah tujuan apa yang harus dicapai siswa.

Dalam kajian Karso dijelaskan bahwa, materi Kuirkulum 1984 pada dasarnya tidak banyak berbeda dengan materi Kurikulum 1875, yang berbeda adalah organisasi pelaksanaan, sehingga dengan demikian Kurikulum 1984 dapat dilaksanakan dengan menggunakan bahan-bahan dan buku-buku serta sarana yang sudah ada sebelumnya.[15]

Ketujuh, Kurikulum 1994

Kurikulum 1994 dibuat sebagai penyempurnaan kurikulum 1984 dan dilaksanakan sesuai UU No. 2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Hal ini berdampak pada sistem pembagian waktu pelajaran, yaitu dengan mengubah dari sistem semester ke sistem caturwulan. Tujuan pengajaran lebih menekankan pada pemahaman konsep dan keterampilan menyelesaikan soal dan pemecahan masalah.

Kedelapan, Kurikulum 2004

Kurikulum ini lebih dikenal dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Pendidikan berbasis kopetensi menitikberatkan pada pengembangan kemampuan untuk melakukan (kompetensi) tugas-tugas tertentu sesuai dengan standar performance yang telah ditetapkan.

Hal ini dapat diartikan bahwa pendidikan mengacu pada upaya penyiapan individu yang mampu melakukan perangkat kompetensi yang telah ditentukan. Implikasinya adalah perlu dikembangkan suatu kurikulum berbasis kompetensi sebagai pedoman pembelajaran. Kurikulum ini berorientasi pada hasil dan dampak dari proses pendidikan serta keberagaman individu dalam menguasai semua kompetensi.[16]

Kesembilan, Kurikulum 2006

Kurikulum 2006 ini dikenal dengan sebutan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Awal 2006 uji coba KBK dihentikan, muncullah KTSP. Tinjauan dari segi isi dan proses pencapaian target kompetensi pelajaran oleh siswa hingga teknis evaluasi tidaklah banyak perbedaan dengan kurikulum 2004. Perbedaan yang paling menonjol adalah guru lebih diberikan kebebasan untuk merencanakan pembelajaran sesuai dengan lingkungan dan kondisi sekolah berada.

Hal ini dapat disebabkan kerangka dasar (KD), standar kompetensi lulusan (SKL), standar kompetensi dan kompetensi dasar (SKKD) setiap mata pelajaran untuk setiap satuan pendidikan telah ditetapkan oleh Depertemen Pendidikan Nasional—yang kini bernama Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.

Jadi pengembangan perangkat pembelajaran, seperti silabus dan sistem penilaian merupakan kewenangan satuan pendidikan (sekolah) di bawah koordinasi dan sepervisi pemerintah Kabupatena/Kota.[17]


Kesepuluh, Kurikulum 2013

Kurikulum 2013 diluncurkan secara resmi pada tanggal 15 Juli 2013.[18] Kurikulum 2013 merupakan kurikulum berbasis kompetensi yang pernah digagas dalam rintisan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004, tapi belum terselesaikan karena desakan untuk segera mengimplementasikan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006. Sederhananya, pengembangan Kurikulum 2013 merupakan penyempurnaan atas beberapa kurikulum yang berlaku sebelumnya.

Selain itu, penataan kurikulum pada Kurikulum 2013 dilakukan sebagai amanah dari UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dan Peraturan Presiden (Perpres) No. 5 Tahun 2010 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).

Kurikulum 2013 dikembangkan untuk meningkatkan capaian pendidikan dengan dua strategi utama, yaitu peningkatan efektifitas pembelajaran pada satuan pendidikan dan penambahan waktu pembelajaran di sekolah.

Sedangkan efektifitas pembelajaran dicapai melalui tiga tahap, yaitu:
1)      Efektifitas interaksi, akan tercipta dengan adanya harmonisasi iklim akademi dan budaya sekolah. Efektifitas interaksi dapat terjaga apabila kesinambungan manajemen dan kepemimpinan pada satuan pendidikan.
2)      Efektifitas pemahaman, menjadi bagian penting dalam pencapaian efektifitas pembelajaran. Efektifitas tersebut dapat dicapai apabila pembelajaran yang mengedepankan pengalaman personal siswa melalui observasi, asosiasi, bertanya, menyimpulkan dan mengkomunikasikan.
3)      Efektivitas penyerapan, dapat tercipta manakala adanya kesinambungan pembelajaran horizontal dan vertikal.

Penerapan Kurikulum 2013 diimplementasikan dengan adanya penambahan jam pelajaran. Hal tersebut sebagai akibat dari adanya perubahan proses pembelajaran yang semula dari siswa diberi tahu menjadi siswa yang mencari tahu. Selain itu, akan merubah pula proses penilaian yang semula berbasis output menjadi berbasis proses dan output.

Menurut Sulaiman (2014), Kurikulum 2013 menekankan kompetensi sikap, pengetahuan dan keterampilan secara terpadu.[19] Singkatnya, kurikulum 2013 berorientasi pada kondisi terjadinya peningkatan dan keseimbangan antara ketiga kompetensi tersebut.  

Hal itu sejalan dengan amanat UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdknas) sebagaimana tersurat dalam penjelasan pasal 35, yaitu: kompetensi lulusan merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan sesuai dengan standar yang telah disepakati.

Hal ini sejalan pula dengan pengembangan kurikulum berbasis kompetensi yang telah dirintis pada tahun 2004 dengan mencangkup kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara terpadu.

4. Kesimpulan dan Saran

Perjalanan pendidikan di Indonesia memiliki keunikan dan sejarahnya sendiri. Perkembangannya begitu dinamis seiring pergantian pengendali kekuasaan. Pada level berikutnya, hal ini pun berpengaruh besar terhadap sistem dan proses pendidikan secara nasional, termasuk perubahan kurikulum sebagai salah satu instrumen penentu.

Secara historikal, perubahan kurikulum di dunia pendidikan Indonesia dapat diuraikan sebagai berikut: Pertama Kurikulum 1947, Kedua Kurikulum 1952, Ketiga Kurikulum 1964, Keempat Kurikulum 1968, Kelima Kurikulum 1975, Keenam Kurikulum 1984, Ketujuh Kurikulum 1994, Kedelapan Kurikulum 2004, Kesembilan Kurikulum 2006, dan Kesepuluh Kurikulum 2013. Setiap periode tersebut memiliki kurikulumnya masing-masing; yang tentu saja memiliki karakter dan kekhasannya sendiri. 

Pembahasan mengenai berbagai hal tentang pendidikan khususnya tentang sejarah perkembangan kurikulum pendidikan di Indonesia tentu tak cukup dibahas dalam makalah sederhana ini. Untuk itu, pemakalah menyarankan agar pembaca berkenan mencari dan mengkaji sumber lain yang membahas secara detail, sehingga pengetahuan tentang hal tersebut lebih luas dan memberi efek positif pada upaya pemakalah dan pembaca dalam memperdalam sejarah perkembangan kurikulum di Indonesia itu sendiri, sejak dulu hingga kini.

5. Daftar Pustaka

Buku:
Ahmad, M., Dkk., Pengembangan Kurikulum, Penerbit Pustaka Setia, Bandung, 1998. 
Karso, Pengantar Kurikulum SMA, Penerbit Setia Budi,
Bandung, Tanpa Tahun.
Nasution, S, Asas-asas Kurikulum, Bumi Aksara,Jakarta, 2003.
Sulaiman, Pengembangan Kurikulum; Pendidikan Agama Islam
dan Budi Pekerti, Penerbit STAI Bunga Bangsa Cirebon, Cirebon, 2014.
Yamin, Moh., Panduan Manajemen Mutu Kurikulum
Pendidikan, Diva Press,          Jogjakarta, 2012. 
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia dan
Amandemennya, Penerbit Giri Ilmu, Solo, 2014.

Website atau Blog:
1.      http://informasipendidikanindonesia.blogspot.co.id/2014/10/makalah-sejarah-perkembangan-kurikulum_4.html, diakses pada Rabu, 21 Desember 2016 pukul 13.30 WIB. 
2.      http://www.gurungapak.com/2016/03/perkembangan-kurikulum-1947-sampai.html , diakses pada Rabu, 21 Desember 2016 pukul 13.45 WIB.
3.      http://atcontent.com/publication/878784857071999mb..text/-/Menyongsong-kurikulum-2013, diakses pada Rabu, 21 Desember 2016 pukul 14.00 WIB.

Dokumen Undang-undang dan Peraturan Pemerintah:
  1. Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. 2003. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas.
  2. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. 2012. Dokumen Kurikulum 2013. Jakarta: Depdiknas. 
  3. Peraturan Presiden (Perpres) No. 5 Tahun 2010 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).

Syamsudin Kadir
Penulis buku “Membangun Pendidikan dan Bangsa yang Beradab
Direktur Eksekutif Penerbit Mitra Pemuda
Berdomisili di Kota Cirebon-Jawa Barat


[1] M. Ahmad Dkk., Pengembangan Kurikulum, (Bandung: Penerbit Pustaka Setia), hlm. 80.  
[2] Ibid. Hal. 83.
[3] Ibid. Hal. 86.
[4] Ibid. 
[6] M. Ahmad Dkk., Pengembangan Kurikulum (Bandung: Pustaka Setia, 1998), hlm. 92.
[7] Moh. Yamin, Panduan Manajemen Mutu Kurikulum Pendidikan (Jogjakarta: Diva Press, 2012), hlm. 15. 
[8] S. Nasution, Asas-asas Kurikulum (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), hlm. 1.
[9] http://www.gurungapak.com/2016/03/perkembangan-kurikulum-1947-sampai.html, diakses pada Rabu, 21 Desember 2016 pukul 13.45 WIB.
[10] Ibid.
[12] Ibid.
[13] M. Ahmad Dkk., Pengembangan Kurikulum (Bandung: Pustaka Setia, 1998), hlm. 184-185.
[14] Karso, Pengantar Kurikulum SMA 1984, (Bandung: Setai Budi, Tanpa Tahun), hlm. 2-3.
[15] Ibid, hlm. 1.
[17] Ibid.  
[18]http://www.gurungapak.com/2016/03/perkembangan-kurikulum-1947-sampai.html, diakses pada Rabu, 21 Desember 2016, pukul 13.45 WIB.
[19] Sulaiman, Pengembangan Kurikulum; Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti (Cirebon: STAI Bunga Bangsa Cirebon, 2014), hlm. 1.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah