Urgensi Pendidikan Keluarga
MENYAKSIKAN
berbagai peristiwa dan masalah yang menyelimuti generasi muda akhir-akhir ini
membuat kita nyaris tak pernah berhenti mengeluskan dada. Tak sedikit diantara
mereka yang terlibat dalam berbagai pelanggaran hukum, misalnya, penyalahgunaan
narkoba, minuman keras, balapan liar, tawuran, seks bebas hingga pembunuhan. Keadaannya
semakin menjadi-jadi ketika keluarga—yang menurut Ramayulis (2010)—sebagai
bagian dari pendidikan utama manusia, secara fungsional dan efektifitas tidak
hadir secara ril sebagai pusat pendidikan yang sesungguhnya.
Secara
teoritis, keluarga merupakan model terkecil sistem sosial masyarakat. Dalam
keluargalah proses pendidikan utama dilakukan. Menurut Mohammad Fauzil Adhim
(2008), pada umumnya jika pendidikan keluarga berjalan dengan baik, maka
keluarga pun akan memberi efek positif bagi keberlangsungan keluarga bahkan
memberi efek konstruktif kepada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
Bahkan
dalam pandangan Pakar Pendidikan Islam Ahmad Tafsir (2017), pendidikan keluarga merupakan kunci dari
semua proses pendidikan anak. Sebab di keluarga-lah sejatinya tempat yang
paling awal bagi anak untuk memulai kehidupannya, yang kelak menjadi generasi
baru bagi bangsa dan negaranya.
Dalam
konteks memantapkan keluarga sebagai bagian penting dari pusat pendidikan, maka
kita tentu mendapatkan angin segar ketika beberapa waktu lalu pemerintah telah
melahirkan sebuah direktorat
baru di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yaitu Direktorat
Pembinaan Pendidikan Keluarga. Secara yuridis, direktorat
hadir berdasarkan Permendikbud Nomor
11/2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, sebagai tindak lanjut Peraturan Presiden No 14/2015 yang mengatur
struktur organisasi Kemendikbud.
Kehadiran direktorat ini dimaksudkan untuk menguatkan
peran orangtua sebagai pendidik pertama dan utama dalam keluarga. Sebuah
gagasan yang sangat menjanjikan untuk perbaikan dan
pendukung utama sistem
penyelenggaraan pendidikan nasional ke depan. Bagaimanapun, kalau kita
membaca gagasan pendidikan Ki Hajar Dewantara, keluarga merupakan salah satu
dari Trisentra kelembagaan
pendidikan, di samping sekolah dan masyarakat. Maka
sangatlah tepat jika Supriyono (2015) mengatakan bahwa lembaga keluarga atau yang secara spesifik disebut
sebagai lembaga perkawinan merupakan lembaga sosial tertua usianya, terkecil
bentuknya, dan terlengkap fungsinya.
Dalam
konteks sistem sosial Indonesia, terbentuknya
keluarga pada masyarakat-bangsa setidaknya untuk memenuhi prinsip
dan nilai dari empat norma yang
berlaku yaitu agama, hukum,
moral, dan sosial. Dalam perspektif agama (dalam hal ini khususnya
Islam), berkeluarga harus
memenuhi syarat dan rukun sebagaimana ditetapkan ajaran agama yang
sudah dielaborasi dan diadaptasikan dalam ketentuan hukum positif berupa
UU Perkawinan.
Dari
sisi moral, menikah dan berkeluarga merupakan pola
halal dan legal untuk penyaluran
hasrat seksual, mendapatkan keturunan, dan mendapatkan
kasih sayang bahkan dalam menyebarnya. Sedangkan secara sosial, “berkeluarga” merupakan suatu kepatutan sosial
yang bisa menjaga tata keadaban sosial, di samping sebagai upaya memanusiakan
manusia dalam tata kehidupan kolektif sekaligus dalam percaturan global.
Dalam
pandangan Neno Warisman (2014), dari sisi psikologi, keluarga merupakan lembaga pendidikan yang
memiliki kekhasan, keunikan, urgensi dan fungsi penting dalam perjalanan hidup
seseorang, termasuk dalam mematangkan dirinya sebagai bagian dari manusia lain.
Baik dalam keluarga, masyarakat bahkan negara
Apa
yang disampaikan oleh Neno sangat relevan. Mengapa? Pertama, keluarga merupakan lembaga pendidikan paling alamiah; kedua, prosesnya tanpa didramatisasi atau didesain secara
rumit sebagaimana terjadi pada lembaga pendidikan profesional;
ketiga, materinya meliputi seluruh bidang kehidupan, metodenya
sebagaimana keadaan yang sesungguhnya, dan evaluasinya dilakukan secara
langsung oleh anggota keluarga; keempat, dalam keluarga
juga tak mungkin terdapat komersialisasi jasa pendidikan. Para orangtua
memberikan pendidikan dan fasilitas pendidikan tentulah tak mengharapkan
imbalan materi, selain didorong kewajiban moral.
Mesti
diakui bahwa selama ini umumnya proses pendidikan keluarga tidak berjalan
dengan baik. Misalnya, karena kesibukan, karir dan aktivitas harian para
orangtua yang begitu padat. Di samping faktor lingkungan sosial di luar
keluarga yang memungkinkan anggota keluarga (dalam hal ini anak-anak) turut
terjerumus ke dalam penyakit sosial. Akibatnya, upaya proses pendidikan dalam keluarga sedikit-banyak terabaikan.
Orang
tua adalah pendidik utama dan pertama dalam hal pendidikan keluarga, terutama
untuk menanamkan keimanan bagi anaknya. Sementara sekolah, pesantren dan guru
hanyalah “penunjang” proses pendidikan keluarga sebagai pendidikan utama dan
pertama bagi anak.
Karena
itu, kita sangat berharap agar kehadiran Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga mampu
menguatkan peran orangtua sebagai pendidik pertama dan
utama dalam keluarga. Selain untuk
mendukung dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, juga untuk menjaga
keberlanjutan kehidupan keluarga sebagai bagian dari elemen terpenting dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Semoga
Direktorat ini mampu menghadirkan langkah praktis, sehingga keluarga benar-benar
menjadi pusat pendidikan utama dan pertama yang sukses menjalankan peran
idealnya. Sungguh, bangsa yang besar dan maju adalah bangsa yang mau menjaga
keberlangsungan pendidikan dalam keluarganya. Semoga saja begitu. [Oleh:
Syamsudin Kadir—Penggiat Majelis Pustaka dan Informasi Cirebon, Direktur
Eksekutif Penerbit Mitra Pemuda dan penulis buku “Membangun Pendidikan dan
Bangsa yang Beradab”. Tulisan ini dimuat dan dapat dibaca pada halaman 10 Kolom
Opini Koran Fajar Cirebon edisi Selasa 24 Juli 2018]
Komentar
Posting Komentar