Mengingat Kembali Pendidikan Utama Anak
HAMPIR
seluruh kaum muslimin, terutama kalangan pesantren hafal betul sebuah hadits
nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi
wasallam tentang tiga amalan manusia yang tidak terputus ketika seseorang
mati kelak. Hadits yang dimaksud adalah “Apabila manusia meninggal dunia
maka amalnya terputus darinya kecuali tiga perkara, shadaqah jariyah, ilmu yang
bermanfaat, dan anak shaleh yang mendo’akan orangtuanya” (HR. Muslim).
Ya,
menjadi orangtua adalah idaman semua orang. Itu berarti, paling tidak hampir
semua orang hendak dan rindu memiliki keuturunan, berupa anak-anak yang saleh
dan bermanfaat bagi banyak orang. Untuk tujuan dan orientasi mulia semacam itu,
ternyata dalam Islam sudah termaktub dengan jelas apa kewajiban atau yang mesti
dilakukan orangtua si anak, yaitu mendidik anak, mewujudkan pendidikan pada
anak.
Lebih
detail lagi, orangtua memiliki kewajiban untuk memberi—apa yang disebut oleh
Pakar Pendidikan Syed Mohammad Naquib Al-Attas (1999)—“pendidikan utama”, berupa
pendidikan tauhid, pendidikan akhlak dan pendidikan ibadah. Itulah pendidikan
utama sekaligus pilar pendidikan Islam bagi anak yang mesti diperoleh oleh si
anak, baik oleh orangtuanya sebagai penanggungjawab penuh urusan si anak ataupun para guru yang mendapat amanah untuk
itu.
Pertama,
pendidikan tauhid. Dalam hal ini orangtua mesti mengenalkan dan meyakinkan si
anak tentang Allah bahwa Ia adalah Pencipta seluruh makhluk, termasuk orangtua
dan si anak itu sendiri; tidak satu pun makhluk yang tercipta dan kejadian yang
terjadi di luar Kuasa-Nya. Bahwa Allah-lah satu-satunya Tuhan yang pantas
disembah, tidak selain-Nya. Ia memiliki nama dan sifat yang Ia namai dan sifati
sendiri sesuai kehendak-Nya tanpa intervensi manusia dan mahkluk lainnya.
Tidak
cukup di situ. Menurut Buya Hamka (1978), “Anak muslim juga dikenalkan dan
diyakinkan tentang rukun iman yang enam secara keseluruhan seperti iman kepada
Allah, malaikat, kitab, rasul, hari akhir dan qadha serta qadar. Dengan begitu,
keimanan anak muslim benar-benar tertanam dengan kuat dalam hati atau keyakinan
juga kehidupannya”.
Allah
berfirman, “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu
saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani
(yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami
jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging,
dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu
Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk)
lain. Maka Maha Suci lah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.” (QS.
Al-Mu’minun [23]: 12-14).
Dalam
Al-Quran pula Allah kisahkan nasehat Luqman kepada anaknya, “Hai anakku,
janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah)
adalah benar-benar kezhaliman yang besar.” (QS: Luqman [31]: 13).
Kedua, pendidikan akhlak. Kalau dikaji lebih
jauh, sebetulnya pendidikan akhlak adalah nama lain pendidikan adab. Dalam hal
ini orangtua (atau para guru) menamkan karakter-karakter baik kepada si anak,
termasuk memahamkan si anak tentang adab-adab dalam kehidupannya, baik adab
kepada diri sendiri, maupun adab terhadap orang lain (orangtua, keluarga,
sahabat, tetangga), serta adab beramal dalam kehidupan sosial masyarakat secara umum.
Pendidikan
akhlak begitu penting, sebab ia—pada jenjang usia selanjutnya pasca masa
anak-anak—adalah wujud paling nyata dari keberadaan bahkan kualitas iman bagi
seseorang. Bahkan misi kerasulan Muhammad Shallallahu
‘alaihi wasallam titik tumpunya ada pada akhlak. Tidak heran ketika beliau
dalam sebuah sabdanya mengungkapkan, “Tidak ada sesuatu yang lebih berat
dalam timbangan (pada hari kiamat) dari akhlak yang baik” (HR. Abu Dawud).
Pada hadits lain, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang
mulia” (HR. Al-Bazzar).
Dalam
Siyar A’lamin Nubala’ karya Adz Dzahabi disebutkan bahwa ‘Abdullah bin Wahab
pernah berkata; “Yang kami nukil dari (Imam) Malik lebih banyak dalam hal
adab dibanding ilmunya.” Imam Malik juga pernah berkata, “Dulu ibuku
menyuruhku untuk duduk bermajlis dengan Robi’ah Ibnu Abi ‘Abdirrahman—seorang
fakih di kota Madinah di masanya—ibuku berkata, “Pelajarilah adab darinya
sebelum mengambil ilmunya.”
Ketiga, pendidikan ibadah. Dalam konteks ini si
anak diajarkan dan dibimbing untuk beribadah dengan baik dan benar sesuai
dengan syari’at yang telah ditetapkan oleh Allah dan Nabi Muhammad Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena—sebagaimana
yang diungkapkan Ulama asal Bandung KH. Miftah Farid (2005)—“hakikat manusia
yang sesungguhnya adalah sebagai ‘Abdullah, yaitu hamba Allah yang senantiasa
beribadah kepada Allah Saw. dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi
segala larangan-Nya.”
Allah
berfirman, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka menyembah-Ku” (QS. Adz-Dzariyat [51]: 56). Beribadah tentu saja
sesuai dengan syariat dan contoh dari Rasulullah Saw., bukan dibuat sesuai
selera sendiri dan perkembangan zaman sebagaimana yang kerap terjadi
akhir-akhir ini. Jadi, mulai dari tata
cara bersuci, shalat, shoum, zakat serta beragam ibadah lainnya mesti jelas
sesuai syariat dan contoh sang nabi tercinta, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Itulah yang disebut syariat agama,
syariat Allah.
Sekadar
contoh, mengenai hal ini (baca: shalat) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Shalatlah kalian
sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (HR. Al-Bukhari), “Ajarilah
anak-anak kalian untuk shalat ketika mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah
mereka ketika mereka berusia sepuluh tahun (bila tidak mau shalat-pen).” (al-Hadits)
Tiga
pendidikan utama sekaligus pilar pendidikan Islam di atas merupakan tiga mata
rantai pendidikan yang bersifat integratif dan menyeluruh pelaksanaanya dalam
kehidupan manusia. Ketiganya saling melengkapi sehingga menjadi rangkaian
pendidikan yang utuh dan sempurna. Jenjang kemampuan inilah yang menjadi
filosofis lahirnya sebuah lembaga pendidikan yang bernama sekolah yang bergerak
dalam bidang pendidikan dan dikelola secara tersruktur guna membantu kita para
orangtua dalam memberikan pendidikan kepada anak-anaknya, ya anak-anak kita.
Menurut
Subliyanto (2014), lahirnya lembaga pendidikan yang bernama sekolah, madrasah,
pesantren atau serupanya bukan berarti menggugurkan kewajiban ibu dan bapak si
anak sebagai orangtua dalam memberikan pendidikan secara langsung kepada si
anak. Akan tetapi pendidikan utama tetap bertumpu kepada ibu dan bapaknya
sebagai orangtua.
Akhirnya,
jika orangtua memberikan pendidikan yang baik kepada si anak, baik secara
langsung maupun melalui lembaga pendidikan yang bernama sekolah, madrasah,
pesantren atau serupanya maka insya Allah—apa yang diebut oleh Malik Bin Nabi
dengan—“kelahiran kembali”—manusia benar-benar terwujud dalam kehidupan ini.
Dengan begitu, bukan saja orangtua dan si anak yang bahagia, tapi juga mampu
melahirkan kehidupan publik (masyarakat, bangsa, negara dan dunia) yang
beradab, yang mendatangkan kebahagiaan di dunia juga di akhirat. Semoga saja
begitu! [Oleh: Uum Heroyati—Guru SDIT Sabilul Huda Cirebon, Redaksi Penerbit
Mitra Pemuda dan penulis buku “Membangun Pendidikan dan Bangsa yang Beradab”.
Tulisan ini dimuat pada halaman 2 Kolom Suara Rakyat Koran Rakyat Cirebon edisi
Kamis 23 Agustus 2018]
Komentar
Posting Komentar