Menelisik Keberagamaan Generasi Millenial
RABU
(25/7/2018) lalu Kota Cirebon kehadiran seorang dai muda Ustad Evie Effendi,
yang berapa tahun terakhir mendapat respon yang begitu luas dari berbagai
kalangan, terutama kalangan muda atau yang kerap dikenal sebagai generasi millenial.
Dai muda asal Kota Kembang (Bandung) ini hadir sebagai narasumber pada
pengajian bertema “Perjalanan Hati Menuju
Tanah Suci” yang diselenggarakan atas kerjasama Islamic Center Cirebon
(ICC)-DKM At-Taqwa, Biroh Umroh Cirebon, Global Wisata, WIKA, dan TDA Community
Cirebon.
Pada
sambutannya, Kang Ahmad Yani selaku Ketua ICC sekaligus Ketua DKM At-Taqwa
Cirebon menyampaikan bahwa acara yang diadakan di gedung ICC dan dihadiri
7.000-an lebih peserta beragam latar belakang ini merupakan program ICC-DKM
At-Taqwa, yang didukung oleh berbagai pihak serta respon lanjutan atas usulan
berbagai kalangan perihal pentingnya penguatan karakter dan moral keislaman,
terutama generasi millenial yang akhir-akhir ini menghadapi berbagai tantangan
yang semakin rumit dan kompleks.
Generasi
millenial (generasi kekinian) sendiri adalah istilah yang semakin “nge-tren” belakangan ini. Mereka adalah
generasi yang lahir dalam rentang tahun 1982 hingga 2004 yang kemudian diikuti
oleh generasi Z yang lahir pasca tahun 2004 hingga saat ini. Pada periode ini,
teknologi informasi mengalami perkembangan pesat dan ekspresi ke-Islaman
cenderung meningkat. PEW Research Center
mendeskripsikan generasi ini sebagai kelompok yang confident (percaya diri), conncted
(terhubung), dan open to change
(terbuka terhadap tantangan dan perubahan). Generasi ini juga disebutkan
sebagai generasi yang kreatif, sangat memperhatikan citra diri, haus perhatian,
toleran dan mudah beradaptasi. Walau tak sepenuhnya demikian, namun secara umum
generasi ini memiliki ciri semacam itu. (Suara
Muhammadiyah edisi 02/103/16-31 Januari 2018).
Dalam
perspektif PEW Research Center,
millenial adalah istilah untuk generasi yang kelahiran kisaran tahun
1980-2000-an. Karakter generasi millenial sebagai “The Me Me Me Generation” bersifat individualistik, bergantung pada
teknologi, dan familiar dengan media sosial.
Dalam
perspektif “millenialis” semacam itu, saya berpendapat, perkembangan dakwah
Islam di Indonesia akhir-akhir cukup menggembirakan dan layak diapresiasi.
Selain karena semangat untuk mempelajari atau menekuni ajaran agama yang
semakin ramai, efek positif lainnya, misalnya, semangat untuk menampilkan
berbagai ajaran Islam secara simbolik di ruang publik juga semakin ramai. Contoh
ril, kalau dulu kalangan remaja berjilbab kerap dianggap asing, kini berjilbab
sudah menjadi kebiasaan bahkan tren tersendiri bagi remaja (generasi millenial).
Kalau dulu belajar agama hanya menjadi aktivitas kalangan santri di berbagai
pondok pesantren atau madrasah, kini justru menjadi aktivitas yang punya daya
tarik tersendiri bagi generasi millenial, yang berdasarkan pemetaan komunitas banyak
berada di pusat-pusat kota.
Walau
begitu, kita juga layak berhati-hati, sebab berbagai tantangan di hadapan kita hadir
begitu terbuka dan cepat. Dengan majunya dunia teknologi dan informasi, generasi
millenial berhadapan langsung dengan berbagai informasi negatif, bohong atau
palsu (hoax) yang nyaris tak
terbendung. Segala hal pun bisa diakses dan disebarkan, bahkan bisa
“dikonsumsi” sebagai aktivitas harian yang tak terbendung juga.
Dari
fenomena semacam itu, karakter dan kekuatan moral menjadi penting dan mendesak
untuk dimiliki, agar tak terjerumus ke dalam pemikiran dan tindakan yang menyimpang,
baik dari sisi agama Islam maupun dari sisi peraturan yang berlaku di negara
tercinta ini; yang sedikit-banyak sangat merugikan generasi millenial itu sendiri
sebagai generasi baru umat dan bangsa di masa depan.
Untuk
itu, tanpa menafikan adanya keterbatasan dan kelemahan yang mereka miliki, kita
layak mengakui bahwa kehadiran generasi millenial dan para dai muda yang cerdas
dan cukup mampu menyesuaikan konten dakwah dengan kebutuhan generasi millenial
seperti Adi Hidayat, Abdu Somad, Hanan Attaki, Evie Effendi, dan sebagainya di
pentas dakwah Islam di Indonesia beberapa waktu belakangan layak diapresiasi
dan ditopang.
Hal
ini semakin penting dan mendesak, terutama karena seperti yang kerap
disampaikan Ustad Evie Effendi di berbagai momentum, bahwa dakwah itu mengajak,
bukan mengejek; dakwah itu membina, bukan menghina; dakwah itu nasehat, bukan menghujat;
dakwah itu menyatukan, bukan bermusuhan.
Maknanya,
bahwa generasi millenial adalah generasi yang butuh teladan nyata generasi tua
atau dari mereka yang lebih paham tentang ilmu agama. Kalaupun mereka memiliki
kekurangan dan kelemahan termasuk dalam mempelajari dan menjalankan ajaran
agama, mestinya diluruskan atau diperbaiki secara baik dengan mengedepankan
adab sebagai seorang muslim. Dengan begitu, semua elemen selalu terdorong untuk
berdakwah sesuai kemampuan dan medan aktivitasnya masing-masing, bahkan usia
generasinya, dengan tetap menjaga niat baik, prinsip toleransi dan ukhuwah
islamiyah.
Dalam
konteks itu, saya layak mengutip secara elaboratif pendapat Muhammad Azhar
(2018), bahwa, bagi umat Islam “zaman now”, yang hidup di era millenial, ada
tiga hal yang mesti dipegang teguh, pertama,
nilai-nilai dasar seperti tauhid, ibadah, maslahat, ukhuwah, keadilan,
persamaan, jujur, amanah, cerdas, bertanggungjawab, dan sebagainya. Kedua, nilai-nilai dasar tersebut
diderivasikan ke azas universal kehidupan umat, misalnya, ijtihad sebagai
sarana bagi perubahan, sehingga umat Islam tidak kaku dalam menghadapi realitas
zaman. Ketiga, azas-azas tersebut
perlu dielaborasi pada agenda praktis kehidupan umat Islam sesuai situasi dan
kondisi yang ada.
Apa
yang disampaikan oleh Azhar sejatinya merupakan elaborasi kontekstual atas
karakter Islam itu sendiri. Dalam konteks kekinian, kita tentu masih ingat
dengan ungkapan ini, “Setiap perkataan itu ada konteksnya, dan setiap tempat
memiliki perkataan atau pendekatannya”. Atau ungkapan semakna, “Setiap generasi
ada zamannya, dan setiap zaman ada generasinya”. Ya, dalam pandangan Ustad Evie
Effendi yang diamini Ustad Adi Hidayat di berbagai momentum, bahwa di era
millenial ini butuh dakwah Islam yang millenial juga, yaitu lebih dinamis
dengan tetap mempertahankan nilai dan prinsip-prinsip moral Islam; bukan “ngasal” sehingga menjadi biang antipati
generasi millenial.
Lebih
jauh, generasi millenial butuh narasi alternatif, bukan agama baru. Sebab Islam
dengan karakter sempurna dan luas cakupannya, sudah menjadi alternatif lintas
zaman dan peradaban. Hanya saja, dalam konteks aplikasi, Islam bersifat adaptif
dengan ruang (tempat) dan zaman (waktu) dimana manusia hidup dan menjalani
kehidupannya. Nah, kehadiran para dai muda adalah jawaban sekaligus narasi
alternatif dari kehausan dan kebutuhan generasi millenial yang memiliki bahasa
zaman yang khas. Maka ungkapan jenial Ali bin Abi Tholib, “Didiklah anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup bukan di
zamanmu”, semakin menemukan konteksnya, terutama dalam konteks kita
menelisik keberagamaan generasi millenial. [Oleh:
Syamsudin Kadir—Penggiat di Majelis Pustaka dan Informasi PDM Kab. Cirebon.
Tulisan ini dimuat pada halaman 4 Kolom Wacana Koran Radar Cirebon edisi Senin
6 Agustus 2018]
Komentar
Posting Komentar