Kesadaran Kolektif Di Tengah Bencana
BEBERAPA waktu lalu kita dikagetkan oleh bencana gempa di Lombok
Utara dan sekitarnya di Nusa Tenggara Barat (NTB). Ya, mesti diakui bahwa diantara
masalah kerap menjadi langganan negeri ini adalah bencana alam dalam berbagai
bentuknya; dari tsunami, longsor, banjir, gunung berapi, macet, tabrakan,
kebakaran dan sebagainya, termasuk gempa bumi yang baru saja terjadi. Korban
pun nyaris tak terhitung, dari nyawa manusia, rumah warga, infrastruktur, dan
sebagainya.
Sebagai orang biasa kita pun selalu terhantui
pertanyaan-pertanyaan menggelitik : apakah Tuhan sudah mulai bosan dengan
kita?, apakah amal buruk (dosa) kita sudah melebihi amal baik (pahala) kita?,
dan apakah kita memang layak mendapatkan bencana agar kita semakin mau dan
mampu menyadarkan diri?, lalu, mengapa bencana terjadi berulang-ulang? Semua ini
salah siapa?
Dalam pandangan transedensional, berbagai kejadian atau
bencana yang menimpa pada dasarnya berawal dari ulah manusia sendiri. Dari ulah
penguasa yang tidak adil alias zolim, ulah rakyat yang acuh terhadap urusan
negara, ulah pengembang yang kerap merambah hutan tanpa memperhatikan standar
pengembangan, ulah pejabat publik yang gagal menata kota juga lingkungan,
hingga dosa atau kemaksiatan manusia terhadap Tuhan serta keserakahan manusia
terhadap sesamanya.
Bayangkan saja, akhir-akhir ini sangat mudah kita
mendapatkan berita bagaimana seseorang menghina Tuhan juga para utusan-Nya,
seorang cucu memperkosa neneknya sendiri, seorang remaja memperkosa pacarnya,
seorang gadis membuang bayinya, dan anak membunuh orangtuanya sendiri. Selain
itu, begitu mudahnya seseorang menghilangkan nyawa orang lain dengan
alasan-alasan yang tak pantas, misalnya, karena korban tak bersedia disetubuhi,
karena korban selingkuh, karena korban tidak meminjamkan uang dan seterusnya.
Tapi sebagai warga dari sebuah negara yang memiliki
penguasa (baca: pemimpin) kita tentu tidak berhenti sampai pada pandangan
transendesional yang cenderung “pasrah”. Secara manusiawi, kita masih patut
bertanya : kapan kita berhenti membuang sampah di sembarang tempat padahal
sampah kerap menghadirkan berbagai penyakit yang berbahaya?, kapan kita
berhenti sombong dan angkuh karena kerap melakukan kezaliman dengan menyebar fitnah
dan sumpah serapah yang hanya merugikan banyak orang?
Lebih jauh, apa yang sudah dilakukan oleh para pemimpin
kita? Apa yang dilakukan oleh pejabat publik di berbagai institusi negara dan
serupanya yang telah mendapat mandat mengelola negara atau mengurus urusan publik?
Apa yang sudah dilakukan oleh Presiden, Menteri terkait, Gubernur, Wali Kota/Bupati
dan sebutan lainnya di berbagai institusi publik-negara?
Lagi-lagi, inilah masalahnya, berbagai masalah yang
muncul—termasuk bencana yang kerap menghantui negeri kita—selalu berhadapan
dengan pemegang kebijakan yang sibuk menebar citra. Bahkan mereka kerap berbagi
dan berbalas pantun yang hanya menguatkan pembelaan terhadap kegagalan diri
dalam mengurus masalah publik.
Seorang Menteri kadang berbeda memberikan penjelasan
dengan Presiden untuk satu masalah tertentu. Begitu juga Gubernur dengan Wali
Kota/Bupati. Kepala Dinas kadang berbeda penjelasan dengan Kepala Daerah untuk
satu masalah tertentu. Dan begitu seterusnya untuk pejabat serupanya. Apa
sebab? Hanya karena beda pandangan dan pilihan politik. Ini hanyalah sebagian
kecil indikasi nyata betapa negeri ini sedang ditimpa bencana besar : acuh
terhadap urusan penting, tapi sibuk dengan urusan tak penting.
Sembari memberi bantuan materi, kita juga perlu memohon
kepada Tuhan agar para korban mendapat tempat terbaik di sisi-Nya dan keluarga
yang ditinggal diberi saldo kesabaran yang melimpah, serta segala urusannya
mendapat kemudahan sekaligus jalan keluar. Dalam konteks perbaikan dan masa
depan yang lebih baik, kita mesti membangun kesadaran kolektif bahwa apapun
bencana yang menimpa tidak boleh membuat kita tercerai-berai terutama dalam
menemukan dan menjalankan solusi terbaik dari berbagai masalah (baca: bencana)
yang menimpa kita. Kita perlu memohon ampun kepada Tuhan dan membenah diri dalam
berbagai sisi, agar semua bencana berlalu dan tak datang kembali. [Oleh:
Syamsudin Kadir—Penggiat di Majelis Pustaka dan Informasi PDM Kab. Cirebon. Tulisan ini dimuat pada halaman 2 Koran Rakyat Cirebon edisi Senin 3 September 2018]
Tulisan ini dapat juga dibaca di:
https://akarsejarah.wordpress.com/2018/09/09/kesadaran-kolektif-di-tengah-bencana/
Komentar
Posting Komentar