Menjadi Khotib dan Dai Profesional
PERKEMBANGAN dakwah Islam
akhir-akhir ini cukup mencengangkan. Islam bukan saja disajikan di berbagai
pesantren dan masjid-masjid, tapi juga melalui forum-forum formal seperti
perkantoran dan sebagainya. Bahkan juga tempat-tempat umum juga lapangan
terbuka. Efeknya, nilai-nilai Islam mulai diaplikasikan dalam kehidupan
masyarakat luas, bahkan di level kehidupan berbangsa dan bernegara. Kondisi ini
tentu saja membuat kita layak bersyukur kepada Allah. Di samping mengapresiasi
kepada mereka yang berjuang dan banyak berjasa.
Namun kondisi demikian, tidak boleh membuat kita
lalai dan tak jaga. Sebab tak sedikit masyarakat yang belum begitu menikmati
indahnya Islam. Penyebabnya bukan saja karena “enggan belajar” tapi karena
berbagai forum keagamaan seperti khutbah Jumat dan ceramah pengajian kerap
tidak menampilan Islam secara indah. Dalam konteks itulah kegiatan yang
menunjang penguatan kompetensi khotib dan da’i sehingga semakin profesional
menjadi penting untuk didukung dan mendesak untuk dilakukan.
Ya, pada Sabtu-Ahad, 15-16 Desember 2018 kemarin
saya menghadiri acara “Pelatihan Kader Khotib dan Da’i Profesional Abad 21”
yang diadakan oleh At Taqwa Center dan Baznas Kota Cirebon. Acara yang didukung
oleh Ikatan Da’i Indonesia (IKADI) Kota Cirebon ini dihadiri oleh sekitar
200-an lebih peserta dari berbagai latar usia dan latar belakang aktivitas,
seperti pengurus DKM, Aktivis Dakwah, Penceramah, Pengasuh Pesantren dan
lainnya yang berasal dari Kota Cirebon dan sekitarnya.
Pada sambutan pembukaan acara bertema “Mencetak
Kader Khatib dan Da’i Profesional, Menggugah, dan Mengubah” ini Ahmad
Yani, M.Ag (Kang Yani) selaku Ketua At Taqwa Center menyampaikan bahwa kegiatan
ini bertujuan untuk mematangkan potensi dan kemampuan para khatib dan da’i
sehingga semakin profesional dalam menjalankan tugasnya sebagai khatib dan
da’i.
Menurut Kang Yani, pada era modern yang penuh
kompetisi ini, kemampuan para khatib dan da’i untuk menyampaikan konten (isi)
khutbah dan dakwahnya mesti menarik dan punya dampak signifikan bagi pendengar
atau masyarakat luas. Karena itu, kemampuan komunikasi, penguasaan materi dan
keterampilan mengemas konten (isi) khutbah dan dakwahnya menjadi penting dan
mendesak untuk dimiliki.
Sebagai salah satu narasumber pada materi perdana
(Bagaimana Rasulullah Membangkitkan Umat) Prof. KH. Ahmad Satori
Ismail, MA (Ketua Umum IKADI Pusat) mengafirmasi apa yang disampaikan Kang
Yani. Menurut Dosen di beberapa perguruan tinggi di Jabodetabek ini, dakwah
merupakan amanah Allah kepada para nabi dan rasul. Dengan begitu, menjadi da’i termasuk
menjadi pencermah atau khatib merupakan pekerjaan mulia. Sebab aktivitas
tersebut merupakan upaya tindak lanjut dari apa yang sudah ditunaikan oleh para
nabi dan rasul. Dengan segala ganjaran pahala yang akan diperolehnya kelak.
Dakwah yang baik, menurut Prof Satori, adalah
dakwah yang disampaikan secara baik dan tepat. Kebenaran (Al-Haq),
dalam hal ini Islam, akan sampai kepada umat atau masyarakat Islam bahkan
masyarakat luas manakala disampaikan oleh mereka yang profesioal atau memiliki
keterampilan yang mumpuni. Termasuk disampaikan dengan lemah lembut, santun dan
dengan keteladanan atau sikap nyata, lebih dari sekadar teori belaka.
Pada sesi berikutnya, hadir sebagai narasumber
Drs. HM. ‘Utsmani Hs., MHI, dengan materi “Khutbah Sebagai Bekal Khotib”.
Pada sesi ini, Sekretaris At Taqwa Center Kota Cirebon ini menyampaikan bahwa
pengetahuan dan pemahaman mengenai rukun, syarat dan fiqih khutbah Jumat
merupakan hal utama yang tak pentingnya untuk dipahami oleh para khotib dan
da’i atau penceramah. Lebih khusus, Kang Utsman menegaskan bahwa fiqih yang
beragam persepektif mesti juga dikuasai, sebab masyarakat berasal dari latar
belakang yang berbeda juga.
Pada sesi akhir di hari yang sama, panitia juga
membekali para peserta dengan materi “Dakwah Bil Kitabah; Dakwah Melalui
Tulisan”. Pada sesi ini, penulis sekaligus akademisi IAIN Syeikh Nurjati
Cirebon Budi Manfaat, M.Si (Pak Budi) didaulat menjadi narasumber. Pada
momentum ini, Pak Budi memaparkan betapa pentingnya dakwah dalam bentuk
tulisan. Pak Budi memotivasi peserta dengan mengisahkan bagaimana peran dakwah
para tokoh sekaligus ulama mashur Indonesia seperti KH. Hasyim Asy’ari dan Buya
Hamka, bukan saja lewat lisan tapi juga tulisan mereka. Karya mereka dapat
dibaca oleh berbagai kalangan sejak dulu hingga saat ini. Satu jejak sejarah
yang layak kita apresiasi dan lanjutkan pada zaman ini dan ke depan.
Pada hari kedua, Prof. Dr. H. Dedi Djubaedi, M.Ag
didaulat menyampaikan materi “Retorika Dakwah”. Pada bagian awal,
Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini menyampaikan sebuah ungkapan mashur, “Khoolif
Tu’rof, tampil berbedalah, maka Anda akan terkenal”. Menurutnya,
ungkapan ini merupakan substansi retorika: hadir dengan yang beda. Dalam
konteks khutbah dan dakwah, khotib dan da’i mesti hadir dan tampil dengan cara
yang berbeda, dalam pengertian kualitasnya mesti berbeda dari sudah
biasa-biasa. Termasuk dengan modal percaya diri yang memadai, juga diksi yang
bisa dipahami dengan jelas oleh audiens atau masyarakat luas.
Menurut akademisi yang kerap menjadi narasumber
di berbagai seminar nasional ini, para khotib dan da’i yang profesional mesti
memiliki keterampilan, kemampuan dan seni untuk meyakinkan audiens (masyarakat)
yang memang sudah memiliki latar belakang selera, usia dan pemahaman yang
beragam. Sudah menjadi pemahaman publik luas bahwa bahwa Islam itu mengandung
nilai kebenaran, kebaikan dan keindahan. Karena itu, Islam juga mesti
disampaikan dengan cara yang benar, pola yang baik dan menjaga keindahan.
Lebih praktis, para khotib dan da’i mesti memiliki
pengetahuan tentang Islam dari berbagai sisinya, dari ilmu al-qur’an, ilmu
tafsir, ilmu hadits, ilmu sosial hingga ilmu retorika. Hal ini akan diperoleh
dengan proses belajar yang serius dan berkelanjutan. Hal ini menjadi penting,
sebab para khotib dan da’i merupakan pelanjut peran para nabi dan rasul, yang
mesti mengajak manusia kepada jalan Allah dengan cara yang ma’ruf.
Semoga kegiatan kemarin dan serupanya ke depan
mampu meningkatkan kualitas para khotib dan da’i, bahkan semakin profesional
dalam menjalankan perannya termasuk dalam menghadapi tantangan dakwah Islam
abad 21, sehingga ke depan Islam yang indah semakin mendapatkan tempat di ruang
hati, pikiran dan tindakan umat Islam, bahkan umat manusia. [Oleh:
Syamsudin Kadir—Penggiat di Majelis Pustaka dan Informasi PDM Kab. Cirebon-Jawa
Barat. Tulisan ini dimuat pada halaman 10 Kolom Opini Koran Fajar Cirebon edisi
Jumat 21 Desember 2018]
Sember:
https://akarsejarah.wordpress.com/2018/12/30/menjadi-khotib-dan-dai-profesional/
Komentar
Posting Komentar