MEA dan Peluang Pendidikan Islam
ISTILAH
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) merupakan salah satu istilah yang kerap
diperbincangkan akhir-akhir ini. MEA sendiri adalah pasar bebas Asia Tenggara
yang terbentuk di kawasan Asia Tenggara pada akhir 2015. Tujuan dibentuknya MEA
2015 diantaranya untuk meningkatkan stabilitas perekonomian di kawasan ASEAN,
yang berdampak terciptanya pasar bebas di bidang permodalan, barang dan jasa,
serta tenaga kerja.
Pendidikan
Islam jika dikaitkan dengan isu MEA, menggambarkan bahwa tantangan persaingan
ekonomi berpengaruh terhadap sistem pendidikan khususnya pendidikan Islam. Di
era MEA ini, Indonesia ditantang untuk mengembangkan sistem pendidikan yang
mampu melahirkan manusia-manusia unggul, yaitu manusia yang memiliki daya
saing unggul di tingkat regional, bahkan tingkat global.
Oleh
karena itu, sistem pendidikan Islam harus merespon perubahan zaman, dan siap
menghadapi MEA dengan langkah-langkah strategis untuk mengaktualisasikan
identitas Islam yang relevan dan aktual di segala zaman.
Forum
konfrensi Islam di Mekkah tahun 1977 menegaskan bahwa pendidikan Islam bersifat
holistik sistem, yang mencakup aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Hal
tersebut, menjadi barometer pendidikan Islam dalam menghadapi tantangan era
globalisasi.
Hal
tersebut sesuai dengan tujuan Sistem Pendidikan Nasional. UU No. 30 Tahun
2003 Tentang Sisdiknas, Pasal 3 menjelaskan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.”
Islam
adalah agama yang sempurna, karena telah mengatur berbagai sistem nilai bagi
kehidupan manusia, antara lain sistem pendidikan, budaya, ekonomi, sosial,
dan sebagainya. Dalam sistem pendidikan ekonomi misalnya, Islam mengajarkan
untuk memelihara harta dan memanfaatkannya dengan bijaksana, sebab harta
adalah bagian terpenting dari kehidupan manusia.
Oleh
karena itu, mempersiapkan muslim yang bermutu di segala bidang kehidupan
dengan dibentengi keimanan, akhlak, jiwa yang suci, jasmani yang sehat, dan
ekonomi yang baik, adalah keniscayaan.
Sarana
sekaligus dapurnya adalah pendidikan Islam, sebab pendidikan Islam bertujuan
mempersiapkan seorang muslim dari berbagai aspek kehidupannya, dari lahir
hingga dewasa untuk kehidupan dunia dan akhirat di berbagai aspek kehidupan.
Dengan
demikian, pendidikan Islam harus memperkuat identitas umat Islam, dengan
akhlak sebagai bingkainya. Identitas keislaman seorang muslim yang harus ditanamkan
yaitu kesadaran transendental, dzikir, fikir, akhlak, serta kepedulian
terhadap masyarakat dhuafa.
Dalam
hal ini, selain identitas yang kokoh, sistem pendidikan Islam tidak perlu
mendikotomi antara Islamic science dan pengetahuan umum. Dalam
pandangan Direktur Pasca Sarjana UIKA Bogor Didin Hafidhudin (2015), dengan
integrasi pengetahuan agama dan umum, tentu harus dapat memperkuat akidah,
sehingga dapat menyadarkan Tauhid dalam setiap individu. Sekaligus menyiapkan
mereka, dengan memberikan kapita selekta atau materi-materi yang aktual dengan
menghadirkan tantangan-tantangan agar tidak ketinggalan informasi untuk
menyiapkan SDM yang bermutu.
Pandangan
Didin diamini oleh Dosen di Islamic
Thought of Malaysia Rosnani. Menurutnya, kalau pendidikan Islam tak
menyiapkan apa-apa, MEA bisa berubah menjadi sebentuk penjajahan baru fase
ekonomi, yang berdampak pada dehumanisasi sehingga nilai manusia, karakter
dan agama tidak menjadi hal penting dalam fase tersebut, bahkan hanya untuk corporate interest atau kepentingan
perusahaan semata. Karena itu pendidikan Islam harus menyiapkan tenaga yang
mahir atau profesional, yang dilakukan sesuai dengan standar kelayakan. Sebab
pendidikan Islam itu adalah action, production knowledge, bukan reproduce
saja, yaitu menjadi ulil albab yang menghasilkan sesuatu atau social justice.
MEA
sendiri bukan sekadar kompetisi tapi juga kolaborasi. Dalam hal ini peranan
pendidikan Islam harus mengedepankan one
vision, one identity, and one
community, sehingga hasilnya akan memperkuat
kolaborasi dalam bidang pendidikan Islam bukan mempertajam kompetisi yang
kurang produktif. Dengan demikian,
peluang yang dapat dilakukan oleh negara anggota ASEAN adalah membangun
pendidikan Islam yang maju dan berdaya saing serta berperadaban maju.
Adapun,
aliansi strategi pendidikan Islam ASEAN adalah membangun identitas ASEAN,
menciptakan rasa memiliki, mengembangkan model pendidikan Islam yang bermutu,
membangun pusat unggulan studi Islam, kerangka kualifikasi dan kompetensi
ASEAN, dan mutual recognation.
Dalam
pandangan Bahrul Hayat (2015) model pendidikan Islam yang ideal harus membangun
paradigma integratif connected, membangun pusat unggulan
Islam, membangun pusat studi Islam, socio
culture, sehingga negara ASEAN
menjadi pasar, tenaga kerja, dan menjadi kualifikasi Islamic economic.
Misalnya dalam hal halal food dan
sertifikat wakaf, yang harus diakui sertifikatnya atau ijazahnya, mutual rocognize, dengan belajar dari pengalaman manajemen wakaf di sesama
negara ASEAN, kolaborasi dan networking.
Saya
berpendapat bahwa institusi atau lembaga pendidikan Islam seperti madrasah dan
perguruan tinggi Islam mesti melakukan transformasi secara mendasar dalam
beberapa hal sebagai berikut: Pertama,
kurikulum madrasah dan perguruan tinggi Islam harus dikembangkan dengan
kebutuhan jangka panjang, termasuk dalam konteks MEA saat ini dan ke depan.
Penguasaan teori dan perkembangan ekonomi syariah pun perlu dimasifkan,
termasuk dalam opini atau wacana publik.
Kedua,
para pendidik (guru dan dosen) dengan disiplin ilmunya masing-masing harus
memiliki pengetahuan tentang kondisi pasar ASEAN dan global. Dengan begitu, tak
ada yang gagal fokus dan gagal paham dengan kemajuan. Ketiga, sarana dan prasarana pendidikan seperti laboratorium,
perpustakaan dan kegiatan ekstrakulikuler lainnya mesti dielaborasi secara
profesional agar mampu menghadapi MEA.
Kita
berharap dengan optimistis agar seluruh institusi atau lembaga pendidikan Islam
mampu menjadikan tantangan MEA sebagai peluang dalam membangun SDM yang lebih berkualitas
dan unggul, sehingga lebih siap-sedia untuk berkolaborasi dan berkompetisi
secara positif pada level global, termasuk di level ASEAN. [Oleh: Syamsudin Kadir—Pegiat di Majelis Pustaka dan Informasi PDM Kab.
Cirebon. Tulisan ini dimuat pada halaman 11 Koran Kabar Cirebon edisi Rabu 20
Februari 2019]
Komentar
Posting Komentar