Mengokohkan Peran Lembaga Pendidikan Islam
ARUS
globalisasi yang ditandai dengan pergaulan global yang semakin terbuka dan
nyaris tanpa batas serta perkembangan teknologi yang semakin canggih membuat
hubungan antar negara bahkan antar orang-perorang lintas negara menjadi tak
terbatas bahkan justru semakin terkoneksi begitu cepat.
Dalam
konteks itu, Indonesia perlu mengantisipasinya secara matang dan berkelanjutan.
Lembaga pendidikan Islam sebagai bagian dari instrumen penyelenggara pendidikan
nasional mesti mampu mengantisipasi sekaligus memberi jawaban.
Lembaga
pendidikan Islam ialah suatu wadah atau badan yang berusaha melakukan
internalisasi nilai-nilai luhur Islam secara terus menerus atau dalam proses
pembudayaan kepada peserta didik sehingga menjadi manusia yang utuh dan memberi
manfaat bagi kehidupan diri, keluarga, lingkungan, bangsa dan negaranya; baik
yang bersifat duniawi maupun yang bersifat ukhrawi.
Mengutip
pandangan Ki Hajar Dewantara, Anis Baswedan (2015) pernah mengatakan bahwa
keluarga, sekolah dan masyarakat merupakan Tri Pusat Pendidikan. Menurut Anis,
lembaga pendidikan Islam seperti madrasah, pesantren dan serupanya, merupakan
bagian dari pusat pendidikan. Apapun namanya, pada intinya tak jauh dari
pendidikan keluarga, sekolah dan masyarakat.
Pertama,
pendidikan keluarga. Pendidikan keluarga atau yang dikenal dalam dunia akademik
sebagai pendidikan informal merupakan lingkungan pendidikan yang pertama bagi
kehidupan anak di dalam mendapatkan didikan dan bimbingan. Keluarga merupakan
tempat meletakkan dasar-dasar kepribadian anak didik pada usia yang masih muda,
karena pada usia ini anak lebih peka terhadap pengaruh dari pendidiknya (Akmal
Hawi, 2005).
Tugas
utama orang tua bagi pendidikan anak ialah sebagai peletak dasar bagi
pendidikannya. Jika pendidikan keluarga berjalan dengan baik, maka keluarga pun
akan memberi efek positif bagi keberlangsungan keluarga (terutama anak) bahkan
memberi efek konstruktif kepada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
Kedua,
pendidikan sekolah. Pendidikan sekolah merupakan lanjutan dari pendidikan dalam
keluarga, yang menjadi jembatan bagi anak yang menghubungkan antar kehidupan
dalam keluarga dengan kehidupan dalam masyarakat yang lebih luas dan kompleks
kelak.
Menurut
Hasbullah (2008), pendidikan sekolah ialah pendidikan yang diperoleh seseorang
di sekolah secara teratur, sistematis, bertingkat, dan dengan mengikuti
syarat-syarat yang jelas dan ketat (mulai dari Taman Kanak-kanak sampai
Perguruan Tinggi). Sebagai lembaga pendidikan Islam formal, sekolah atau
madrasah juga perguruan tinggi Islam memiliki tanggung jawab untuk membimbing,
mengembangkan dan mengarahkan tingkah laku juga orientasi hidup peserta didik
sesuai dengan tuntunan pendidikan Islam.
Ketiga,
pendidikan masyarakat. Masyarakat adalah lingkungan ketiga setelah keluarga dan
sekolah. Pendidikan masyarakat telah mulai ketika anak-anak untuk beberapa
waktu setelah lepas dari asuhan keluarga dan berada di luar pendidikan sekolah.
Corak dan ragam pendidikan yang dialami seseorang dalam masyarakat banyak
bentuknya dan meliputi dari segala bidang, dari pembentukan
kebiasaan-kebiasaan, pembentukan pengetahuan, sikap dan minat, maupun
pembentukan kesusilaan dan adabnya.
Mesti
diakui bahwa perubahan kehidupan pada level masyarakat, bangsa dan negara dalam
berbagai bidangnya sangat berpengaruh terhadap sistem pendidikan yang sedang
berjalan. Sekadar contoh, pertama,
bidang politik. Lembaga pendidikan Islam harus menghadapi tantangan ini secara
objektif. Artinya, lembaga pendidikan Islam mesti mengikuti prosedur-prosedur
yang telah ditetapkan oleh pemerintah di dalam Undang-undang Sistem Pendidikan
Nasional (UU Sisdiknas) No. 20 Tahun 2003 demi mencapai tujuan perjuangan
nasional bangsa, yaitu dengan cara terlibat aktif dalam perumusan keputusan
yang berhubungan dengan kepentingan kependidikan, misalnya turut serta dalam
menghadirkan berbagai regulasi penunjang yang baik sebagai tindaklanjut dari UU
tersebut.
Kedua,
bidang kebudayaan. Akhir-akhir ini fenomena budaya yang menekankan pada materi
(materialistik) dan keakuan (hedonistik) berkembang begitu hebatnya. Trend
pergaulan atau hidup bebas yang mengundang perilaku kriminal dan amoral seperti
pembunuhan, pembegalan, penyalahgunaan narkoba, seks bebas, dan serupanya semakin
menjadi-jadi.
Lembaga
pendidikan Islam perlu mengambil bagian untuk menyelesaikan berbagai fenomena
tersebut, misalnya, dengan membangun kerjasama dengan lembaga atau institusi
lain seperti Kementrian, Kepala Daerah, TNI, Polri, BNN, Media Massa dan sebagainya.
Ketiga,
teknologi informasi. Teknologi modern telah memungkinkan terciptanya komunikasi
bebas lintas benua, lintas negara, menerobos berbagai pelosok perkampungan di
pedesaan dan menyelusup di gang-gang sempit di perkotaan, melalui media audio
(radio) dan audio visual (televisi, internet, dan lain-lain).
Dalam
konteks tersebut lembaga pendidikan Islam perlu melakukan upaya strategis,
misalnya, selain memberi bekal pengetahuan, keterampilan, keimanan, dan
ketakwaan pada peserta didik, lembaga pendidikan Islam juga perlu melahirkan
manusia yang kreatif, inovatif, mandiri dan produktif serta melek teknologi sehingga mampu
berkolaborasi juga berkompetisi. Termasuk membangun kemandirian dan kekokohan
ekonominya dengan mengembangkan jiwa enterpreneurship
secara terpadu bagi lembaga juga para peserta didiknya.
Akhirnya,
pengelola lembaga pendidikan Islam mesti mampu dikelola secara profesional
sehingga mampu melahirkan manusia terdidik: memiliki jiwa dan cita-cita mulia,
juga keahlian dan keterampilan; di samping memiliki kemampuan inovasi dan
kreatifitas, ber-jiwa enterpreneurship
serta kemampuan diplomasi dan jaringan, sehingga mampu berkolaborasi dan
berkompetisi di level lokal dan nasional bahkan internasional. [Oleh: Syamsudin Kadir—Pegiat di Majelis
Pustaka dan Informasi PDM Kab. Cirebon. Tulisan ini dimuat pada halaman 11
Koran Fajar Cirebon edisi Selasa 19 Februari 2019]
Komentar
Posting Komentar