Menelisik Kembali Tradisi Intelektual Islam
SEBAGAI manusia pertama, Nabi Adam memperoleh ilmu pengetahuan melalui
“pembelajaran langsung” dari Allah. Proses ini beda dengan apa
yang dialami anak cucu keturunan Nabi Adam.
Untuk memperoleh ilmu pengetahuan,
manusia perlu menelusurinya melalui proses yang sebaliknya, yakni dengan
mempelajari ayat-ayat Allah yang terkandung dalam seluruh ciptaan-Nya itu. Proses
ini terlukis dalam isyarat wahyu pertama: “Bacalah
dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia
telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang Maha
Pemurah, yang mengajarkan manusia dengan perantaraan kalam (tulis baca). Dia
mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.”
(QS. Al-‘Alaq :1-5).
Di rangkaian perintah wahyu ini pula
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
membangun tradisi keilmuan sebagai landasan bagi
perkembangan peradaban. Tradisi
keilmuan yang mampu melahirkan demikian banyak kaum intelektual Muslim dalam
berbagai disiplin ilmu. Maka bangunan
tradisi keilmuan pun menjadi tonggak penopang dalam membangun sebuah
peradaban maju.
Menurut Kholili Hasib (2010) ilmu merupakan motor penggerak
pemikiran dan aktifitas manusia. Tinggi rendahnya martabat manusia ditentukan
oleh faktor ilmu. Karena itu, ilmu memiliki perhatian penting dalam tradisi
Islam.
Hal
tersebut misalnya, lanjut Kholili
Hasib, dapat
dilihat, Nabi Muhammad Shallallahu ’Alaihi Wasallam
(Nabi) dan generasi gemilang setelahnya,
dalam setiap episode historisnya selalu memberi titik berat kepada pengembangan
tradisi keilmuan. Sebabnya, epistemologi—yang
menjadi kerangka ilmu—adalah
sentra aktifitas manusia.
Hasil
pemikiran manusia yang berasas epistemologi kokoh tentu tidaklah sama dengan
produk pemikiran manusia yang kerangka keilmuannya tidak jelas, atau bahkan
salah. Oleh karena itulah, sejak zaman Nabi, tradisi ilmiah tumbuh dan berkembang.
Salah satunya yang terkenal adalah, komunitas Ilmiah Ashabu al-Suffah. Tradisi
intelektual zaman Nabi tersebut dapat dibuktikan dengan wujudnya madrasah
Ashabu al-Suffah yang diikuti oleh sekitar 70 orang sahabat Nabi.
Sekolah
Rasulullah yang pertama tersebut didirikan sekitar kurang lebih 17 bulan
sesudah Hijrah telah melahirkan generasi sahabat yang memiliki tingkat
intelektualitas yang hebat, seperti Abu Hurairah, Abu Dzar al-Ghifari, Salman
al-Farisi, dan Abdullah bin Mas’ud. Peran madrasah ini begitu sentral, sebab,
dari komunitas kajian ilmu inilah pandangan hidup Islam (Islamic Worldview) tersistemasi yang berasas al-Qur’an dan
al-Sunnah.
Tradisi
keilmuan di madrasah Ashabu al-Suffah tersebut diteruskan dan dikembangkan,
sampai akhirnya peradaban Islam mampu menghegemoni dunia yang membentuk mental
keilmuan seorang muslim. Seorang Orientalis, Fitcha, menggambarkan tradisi ilmu
di Cordoba begitu hebat, hingga ia menyimpulkan, Islam itu gemar membaca dan
menulis dan Islam adalah agama yang mendorong pemeluknya untuk memperolah
pengetahuan. Kekagaman Fitcha cukup beralasan, sebab di Cordova itu terdapat
sebuah tempat untuk menyalin buku, yang menggunakan 200 lebih gerobak, yang
digunakan untuk memindahkan buku-buku, yang diperuntukkan kepada mereka yang
membutuhkan buku-buku langka untuk disalin.
Kegiatan
ilmu adalah aktifitas sangat tinggi nilainya di sisi Allah. Melalui ilmulah
manusia dapat mengenal Allah dan memahami cara beribadah kepada-Nya dengan
benar. Tradisi keilmuan ini perlu dibiasakan,
mengingat tantangan terbesar muslim kontemporer adalah
rusaknya Ilmu. (Mohammad Naquib
Al-Attas). Rusaknya
konsep ilmu akan berkonsekuensi pada kerusakan pemikiran dan metode memahami
Islam. Apalagi, sebagaimana difatwakan oleh Imam al-Ghazali dalam Ihya
Ulumuddin, kerusakan umat diakibatkan oleh kejahatan intelektual muslim
(ulama’). “Seburuk-buruk
manusia adalah ulama yang buruk”, kata Rasulullah.
Menurut Al-Attas manusia boleh mendapatkan
ilmu itu melalui: informasi yang benar (khabar
shadiq), intuition (hads dan ilham), intelek (’aqal), dan indera (hawas). Semua sumber ilmu itu tidak bertentangan satu sama
lainnya dan saling berhubungan. Namun demikian, masing-masing sumber ilmu itu
mempunyai otoritasnya dan posisi serta derajatnya. Yang tertinggi adalah
informasi yang benar, yang dalam kategori ini adalah wahyu. Sedangkan yang
terendah adalah indera. Diantara yang tertinggi dan terendah, di situlah letaknya akal dan intuisi.
Dengan
kesepaduan sumber ilmu dalam Islam, ulama terdahulu telah menghasilkan berbagai
macam keilmuan yang kaya raya, yang membuat decak kagum manusia seluruh dunia.
Maka tak heran kalau orang mengatakan, ”Ex Oriente Lux” (Dari Timur muncul
cahaya).
Sebaliknya,
dengan terpengaruh oleh arus cara hidup dan cara pikir modern yang memporak
porandakan sumber-sumber ilmu dalam Islam, umat Islam kini terbelakang dan oleh
karenanya miskin produktifitas ilmu. Tak ada cara lain selain menemukan solusi atau jalan keluar. Salah
satu jalan keluar terpenting adalah kembali lagi kepada sumber ilmu yang betul,
lengkap dan mapan sesuai dengan yang dicontohkan oleh para pendahulu umat
Islam.
Kalau kita mau, bertekad, serius dan sungguh-sungguh,
maka upaya untuk mengembalikan tradisi intelektual Islam yang khas di masa kini
sangat mungkin mewujud dan akan menjadi pewarna bagi dinamika keilmuan
akhir-akhir ini yang sedikit-banyak terlihat mengendor. [Oleh: Syamsudin Kadir—Penggiat di
Majelis Pustaka dan Informasi di PDM Kab. Cirebon. Tulisan ini dimuat pada
halaman 10 Kolom Opini Harian Umum Fajar Cirebon edisi Rabu 13 Februari
2019]
Komentar
Posting Komentar