KEMBALI KE PENDIDIKAN KELUARGA

SEJUMLAH perguruan tinggi mengeluarkan kebijakan pembelajaran tatap muka di kampus berpindah ke rumah. Dengan menggunakan berbagai media terkait, proses belajar dilakukan secara seksama sebagaimana biasanya. Hanya saja para mahasiswa berada di rumah. Selain itu, sejumlah kepala daerah juga mengeluarkan kebijakan melalui surat edaran agar kegiatan belajar-mengajar di berbagai lembaga pendidikan tingkat dasar dan menengah diselenggarakan di rumah.

Kalau kita telisik sejenak, kebijakan seperti ini pada dasarnya bukan sesuatu yang asing. Kebijakan seperti ini justru membangun kembai kesadaran kita bahwa keluarga dimana orangtua menjadi guru pertama dan utama anak memang memiliki peranan penting dalam proses pendidikan anak.

Secara teoritis, keluarga merupakan model terkecil sistem sosial masyarakat. Dalam keluargalah proses pendidikan utama dilakukan. Menurut Mohammad Fauzil Adhim (2008), pada umumnya jika pendidikan keluarga berjalan dengan baik, maka keluarga pun akan memberi efek positif bagi keberlangsungan keluarga bahkan memberi efek konstruktif kepada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Bahkan dalam pandangan Pakar Pendidikan Islam Ahmad Tafsir (2017),  pendidikan keluarga merupakan kunci dari semua proses pendidikan anak. Sebab di keluarga-lah sejatinya tempat yang paling awal bagi anak untuk memulai kehidupannya, yang kelak menjadi generasi baru bagi bangsa dan negaranya.

Dalam konteks memantapkan keluarga sebagai bagian penting dari pusat pendidikan, pada 2015 silam pemerintah telah melahirkan sebuah direktorat baru di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yaitu Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga. Secara yuridis, direktorat ini hadir berdasarkan Permendikbud Nomor 11/2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sebagai tindak lanjut Peraturan Presiden No 14/2015 yang mengatur struktur organisasi Kemendikbud.

Kehadiran direktorat ini dimaksudkan untuk menguatkan peran orangtua sebagai pendidik pertama dan utama dalam keluarga. Sebuah gagasan yang sangat menjanjikan untuk perbaikan dan pendukung utama sistem penyelenggaraan pendidikan nasional ke depan. Bagaimanapun, kalau kita membaca gagasan pendidikan Ki Hajar Dewantara, keluarga merupakan salah satu dari Trisentra kelembagaan pendidikan, di samping sekolah dan masyarakat. Maka sangatlah tepat jika Supriyono (2015) mengatakan bahwa lembaga keluarga atau yang secara spesifik disebut sebagai lembaga perkawinan merupakan lembaga sosial tertua usianya, terkecil bentuknya, dan terlengkap fungsinya.

Dalam konteks sistem sosial Indonesia, terbentuknya keluarga pada masyarakat-bangsa setidaknya untuk memenuhi prinsip dan nilai dari empat norma yang berlaku yaitu  agama, hukum, moral, dan sosial. Dalam perspektif agama (dalam hal ini khususnya Islam), berkeluarga harus memenuhi syarat dan rukun sebagaimana ditetapkan ajaran agama yang sudah dielaborasi dan diadaptasikan dalam ketentuan hukum positif berupa UU Perkawinan.

Dari sisi moral, menikah dan berkeluarga merupakan pola halal dan legal untuk penyaluran hasrat seksual, mendapatkan keturunan, dan mendapatkan kasih sayang bahkan dalam menyebarnya. Sedangkan secara sosial, “berkeluarga” merupakan suatu kepatutan sosial yang bisa menjaga tata keadaban sosial, di samping sebagai upaya memanusiakan manusia dalam tata kehidupan kolektif sekaligus dalam percaturan global.

Dari sisi psikologi, keluarga merupakan lembaga pendidikan yang memiliki kekhasan, keunikan, urgensi dan fungsi penting dalam perjalanan hidup seseorang, termasuk dalam mematangkan dirinya sebagai bagian dari manusia lain. Baik dalam keluarga, masyarakat bahkan negara.

Hal tersebut sangat tepat dan relevan. Alasannya paling tidak sebagai berikut, Pertama, keluarga merupakan lembaga pendidikan paling alamiah; kedua, prosesnya tanpa didramatisasi atau didesain secara rumit sebagaimana terjadi pada lembaga pendidikan profesional; ketiga, materinya meliputi seluruh bidang kehidupan, metodenya sebagaimana keadaan yang sesungguhnya, dan evaluasinya dilakukan secara langsung oleh anggota keluarga; keempat, dalam keluarga juga tak mungkin terdapat komersialisasi jasa pendidikan. Para orangtua memberikan pendidikan dan fasilitas pendidikan tentulah tak mengharapkan imbalan materi, selain didorong kewajiban moral.

Mesti diakui bahwa selama ini umumnya proses pendidikan keluarga tidak berjalan dengan baik. Misalnya, karena kesibukan, karir dan aktivitas harian para orangtua yang begitu padat. Di samping faktor lingkungan sosial di luar keluarga yang memungkinkan anggota keluarga (dalam hal ini anak-anak) turut terjerumus ke dalam penyakit sosial. Akibatnya, upaya proses pendidikan dalam keluarga sedikit-banyak terabaikan.  

Orang tua adalah pendidik utama dan pertama dalam hal pendidikan keluarga, terutama untuk menanamkan keimanan bagi anaknya. Sementara sekolah, pesantren dan guru hanyalah “penunjang” proses pendidikan keluarga sebagai pendidikan utama dan pertama bagi anak.

Karena itu, kita tentu sangat berharap agar kehadiran Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga mampu menguatkan peran orangtua sebagai pendidik pertama dan utama dalam keluarga. Selain untuk mendukung dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, juga untuk menjaga keberlanjutan kehidupan keluarga sebagai bagian dari elemen terpenting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Selebihnya, Direktorat ini diharapkan mampu menghadirkan langkah praktis, sehingga keluarga benar-benar menjadi pusat pendidikan utama dan pertama yang sukses menjalankan peran idealnya.

Jadi, adanya kebijakan pemusatan proses belajar-mengajar di rumah selama beberapa waktu di rumah, rerata sampai akhir Maret 2020, sebagaimana yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi dan pemerintah daerah di seluruh Indonesia, merupakan satu momentum bagi kita semua untuk menyadari betapa pendidikan keluarga itu penting. Di samping itu, memang kita perlu menyadari bahwa pendidik pertama dan utama bagi anak-anak adalah para orangtua mereka. Maka biarlah untuk beberapa waktu ini para orangtua menjalankan proses pendidikan (belajar-mengajar) bersama anak-anak mereka sebagaimana yang selama ini dilakukan oleh para guru di di berbagai lembaga pendidikan. Sungguh, bangsa yang besar dan maju adalah bangsa yang mau menjaga keberlangsungan pendidikan bagi para generasi penerusnya, termasuk pendidikan dalam keluarga. [*]


* Oleh: Syamsudin Kadir
* Penggiat Pendidikan di LPD Al-Bahjah Cirebon.
* Tulisan ini dimuat pada halaman 4 Kolom Wacana Koran Radar Cirebon edisi Rabu 1 April 2020.  



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok