MENULIS UNTUK HATI, BUKAN UNTUK HARTA DAN JABATAN! 

SELAMA ini saya menulis artikel dan buku tak membayangkan untuk kekayaan uang atau harta dan jabatan apapun. Saya tidak membayangkan ada berapa mobil atau rumah mewah yang saya peroleh dari keuntungan duniawi dari karya tulis yang saya hasilkan.

Bukan karena sombong atau angkuh. Sama sekali bukan. Karena memang begitulah prinsip dan nilai yang saya jaga. Itulah prinsip dan nilai yang saya jaga selama ini agar saya menulis tanpa beban ini itu. Mungkin kalau saya tak punya pegangan semacam itu, saya bakal kehilangan jati diri dalam menulis. Dan, itu yang saya hindari selama ini.

Makanya saya menulis artikel, misalnya, saya tak menghiraukan ada atau tidaknya uang atau harta dan jabatan yang saya peroleh karena karya tulis saya. Saya menulis artikel karena terpanggil saja dengan berbagai isu yang menjadi perbincangan publik.

Bagi saya menulis itu aktivitas yang tak bisa diukur dengan uang atau harta bahkan jabatan. Kalau ada yang mengukur tradisi menulis dengan hal semacam itu, dalam bentuk uang atau harta dan jabatan, pasti mereka sedang menyamakan tradisi menulis dengan bisnis atau usaha tertentu.

Kalau menulis sudah mentarget hal-hal yang bersifat materil-duniawi, maka tulisan terasa hambar dan tak punya dampak apa-apa pada hati. Mungkin seketika terlihat wah, tapi biasanya berhenti berkarya karena target materil-duniawi sudah diraih.

Bahkan menurut cerita seorang teman, tak sedikit pejabat di beberapa institusi yang pernah dia bantu menulis, kini malah tidak menulis lagi. Karena dulu mereka menulis untuk kebutuhan politik, jabatan, kepangkatan dan serupanya.

Walaupun bukan penulis dalam pengertian tidak berprofesi sebagai penulis, bagi saya menulis bukan aktivitas atau tradisi hina dina. Menulis adalah tradisi mulia, walaupun tak sedikit orang yang menganggapnya hina dina. Bahkan tak sedikit orang yang melecehkan para penulis.

Bagi saya yang bukan siapa-siapa, hanya anak seorang petani biasa, menulis ya menulis saja. Sekali lagi, menulis ya menulis saja. Minimal menjadi media belajar sekaligus pembelajaran bagi diri saya sendiri. Saya menulis ya untuk saya baca sendiri.

Sederhananya, saya belajar menulis dan menulis untuk belajar. Untuk saya baca sendiri. Termasuk dibaca oleh keluarga saya sendiri. Kalau ada orang di luar sana yang membaca dan mendapat manfaat dari tulisan saya, ya itu bonus saja.

Berbagai media online pun memuat tulisan saya. Sampai detik ini tak satu pun yang saya ambil honornya. Karena memang tak ada honornya. Setahu saya sih tak ada honornya. Saya menulis ya menulis saja. Atau ada yang tahu nama media online yang menyediakan honor bagi penulis artikel yang dimuat di media bersangkutan? Mohon kasih kabar atau informasi ke saya.

Seingat saya, kalangan media online pun sepertinya berdamai dengan tulisan saya. Mereka kerap bertanya "mana tulisannya Pak?", dan masih banyak lagi. Saya mengirim tulisan ke mereka pun tanpa beban. Kirim ya kirim saja. Hubungan baik dengan kalangan media online dibangun di atas kesamaan tujuan: pencerahan dan pecerdasan publik.

Selain itu, di beberapa koran atau surat kabar tulisan saya kerap nongol. Walau belakangan agak jarang, karena saya lebih rajin menyimpan tulisan di blog pribadi saya. Di samping publikasi lewat media sosial seperti Facebook, WatsApp dan serupanya.

Ada beberapa kali saya mengambil honor tulisan saya. Terutama di Radar Cirebon, Fajar Cirebon, Kabar Cirebon dan surat kabar lainnya.  Selebihnya saya tak mengambil honornya. Honor tulisan saya pakai untuk bayar langganan surat kabar bulanan. Kalau ada kelebihan, saya pakai beli buku, dan sebagainya.

Di samping itu saya juga menulis buku di berbagai buku antologi yang ditulis secara keroyokan dengan berbagai penulis di beberapa kota dan kampus. Seingat saya, di situ saya tak mendapat uang. Karena mendapat contoh buku yang memang dikasih ke semua penulis, termasuk saya yang ikut nimbrung pun itu sudah cukup.

Selain itu, saya juga menulis buku sendiri. Yang benar-benar sendiri ada belasan buku. Temanya beragam sesuai selera saya saja. Karena saya menulis bukan karena keahlian atau keilmuan yang wah. Saya menulis karena terpanggil saja. Makanya semua tema digeluti.

Seingat saya, diantara hal yang menjadi ciri khas saya dalam menulis selama ini adalah menulis bebas. Saya tak terpaku pada ejaan yang disempurnakan (EYD), tak tergoda dengan kaedah penulisan, dan tak mau diintervensi oleh siapapun. Saya menulis dalam nafas kebebasan dan kemerdekaan!

Nah, kembali soal tradisi menulis. Saya menulis tak membayangkan dampak uang atau harta dan jabatan yang saya peroleh. Tak membayangkan rumah atau mobil sebagai dampak sampingan atau ikutannya.

Jadi kalau ada yang bertanya: "Banyak menulis tapi tak punya banyak uang atau harta dan jabatan ini itu?", saya tak perlu jawab. Karena nikmatnya menulis tak bisa diterangkan secara gamblang. Saya sendiri, dan mungkin juga mereka di luar sana yang suka menulis, merasakan dampak menulis itu di hati.

Menulis itu adalah panggilan jiwa atau hati, bukan mengejar uang atau harta dan jabatan. Menulis adalah kenyamanan hati, bukan kenyamanan para penghina. Semakin banyak menulis semakin banyak belajar. Sobjek sekaligus objek tulisan saya adalah saya sendiri. Kalau pembaca mendapat manfaat, bagi saya, itu adalah bonus saja.

Jadi, kalau menulis untuk tujuan uang atau harta dan jabatan, silahkan saja. Saya sendiri tidak pada posisi itu. Makanya saya banyak bantu membaca dan menulis banyak naskah untuk banyak tokoh. Ada pejabat, akademisi, politisi dan sebagainya. Bahkan nama saya di sebagian atau kadang  tak ada di tulisan. Bagi saya menulis itu media belajar yang sangat gratis. Dan itu untuk diri sendiri dan mereka yang saya cinta. Itu sangat cukup. (*)

Gebang Udik; Sabtu 18 April 2020


* Judul tulisan
MENULIS UNTUK HATI, BUKAN UNTUK HARTA DAN JABATAN!

Oleh: Syamsudin Kadir
Penulis buku "Agar Ramadhan Merindui Kita"


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok