Pendidikan Adab untuk Bangsa Berkemajuan
PENDIDIKAN
mempunyai tugas menyiapkan sumber daya manusia (SDM) untuk pembangunan. Karena itu, jika dunia pendidikan menghadapi
masalah, maka pembangunan akan terhambat. Kemajuan bangsa dan negarapun jalan
di tempat, bahkan mundur ke belakang.
Mengenai
pendidikan, pendidikan kita masih menghadapi berbagai masalah yang begitu
rumit. Diantaranya berbagai kasus yang menimpa berbagai siswa seperti penyalahgunaan
narkoba, minuman keras, balapan liar, tawuran, seks bebas hingga pembunuhan. Angka
statistiknya tak perlu saya sebutkan dalam tulisan pendek ini. Sebab data resmi
berbagai lembaga resmi negara baik di pusat maupun daerah, juga berbagai buku
dan jurnal penelitian ilmiyah para ahli, dapat kita baca secara gamblang.
Pertanyaannya,
apa yang menjadi biang dan bagaimana jalan keluar dari fenomena semacam ini? Adalah
pakar pendidikan Islam dan penulis buku “Risalah
untuk Kaum Muslimin” (2001) asal Malaysia Syed Muhammad Naquib al-Attas,
dalam berbagai buku dan karya ilmiah lainnya berkali-kali menegaskan bahwa
masalah terbesar umat saat ini ialah hilangnya adab, loss of adab. Hilang
adab bermula dari kekeliruan berilmu. Kekeliruan berilmu meniscayakan
kehilangan adab. Menurut Al-Attas, contoh kekeliruan berilmu antara lain
menganggap prestasi akademik lebih penting dari pada adab, padahal dalam
tradisi Islam, adab adalah prioritas pertama dan utama sebelum ilmu,
walaupun adab itu sendiri adalah ilmu.
Mengenai
hal yang sama, Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir (2018) berpendapat
bahwa diantara krisis dunia pendidikan akhir-akhir ini adalah merosotnya akhlak
mulia sebagai pijakan, sehingga berdampak pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara yang lebih luas.
Oleh
karena itu, menurut Haedar, dunia pendidikan baik sekolah, keluarga dan
institusi yang dikelola oleh masyarakat secara luas mesti menyadari secara
sungguh-sungguh untuk memperkuat kembali pendidikan akhlak mulia sebagaimana
yang diisyaratkan dalam UU Sisdiknas. Rilnya, bisa dielaborasi secara kreatif
oleh masing-masing lembaga pendidikan.
Ketua
Program Magister dan Doktor Pendidikan Islam Universitas Ibnu Khaldun Bogor
Adian Husaini (2018) berpandangan bahwa biang dari berbagai masalah yang
menimpa pendidikan di Indonesia, terutama yang menimpa para siswa, adalah
karena masih minimnya pendalaman dan pengamalan akhlak mulia atau dalam pengkajian
Islam disebut juga sebagai pendidikan adab. Padahal menurut penulis buku “Wajah Peradaban Barat” (2015) “Pendidikan Islam” (2018) ini, UUD 1945
dan UU Sisdiknas sudah jelas dan tegas mengamanhkan bahwa tujuan pendidikan
nasional adalah mmbentuk manusia yang beriman, bertakwa dan berakhlak mulia.
Ketiga
tokoh yang berbeda latar bekakang tersebut sangat jelas dan bersepakat bahwa pendidikan
yang berbasis pendidikan adab merupakan kunci pendidikan yang menghasilkan
manusia yang dikehendaki oleh pendidikan itu sendiri, baik menurut Islam maupun
peraturan perundang-undangan negara, yaitu manusia beriman, bertakwa dan
berakhlak mulia.
Ya,
apa yang dikemukakan oleh ketiga tokoh tersebut sebetulnya mengafirmasi secara
tegas terhadap UU Sisdiknas yang mengamanatkan penyelenggaraan pendidikan yang
dapat mencetak insan terdidik yang beradab. Dalam bahasa UU, adab disebut akhlak mulia. UU Sisdiknas mendefinisikan pendidikan sebagai “Usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”
Kalau
ditelisik, jauh sebelum UU Sisdiknas dirumuskan, melalui Pancasila para founding father negara kita telah
mengamanatkan untuk membentuk manusia yang adil dan beradab sebagaimana yang
tertulis jelas dalam sila kedua Pancasila: “Kemanusiaan
yang adil dan beradab”. Sayangnya, dunia pendidikan kita belum begitu
serius menempatkan penanaman adab sebagai prioritas pertama dan utama.
Lebih
tegas lagi, dalam pandangan Islam, guru Imam Syafi'i, yakni Imam Malik, pernah
berkata, “Pelajarilah adab sebelum
mempelajari suatu ilmu.” Ibunda Imam Syafi'i juga berkata kepada anaknya, Imam
Syafi’i, “Pergilah kepada Rabi'ah!
Pelajarilah adabnya sebelum engkau pelajari ilmunya!" ('Audatul Hijaab
2/207).
Dalam
Islam, porsi pelajaran adab bahkan lebih besar dari materi ilmu yang dipelajari
itu sendiri. Ibnu Mubarok berkata, “Kami
mempelajari masalah adab selama 30 tahun, sedangkan kami mempelajari ilmu
selama 20 tahun.” Beliau juga berkata, "Hampir
saja adab menjadi dua pertiga ilmu." (Sifatush Shafwah 4/145).
Abdurrahman
bin al-Qasim (132-191 H), murid Imam Malik, berkata, “Aku mengabdi kepada Imam Malik selama 20 tahun. Dua tahun aku
mempelajari ilmu dan delapan belas tahun mempelajari adab. Seandainya saja aku
bisa jadikan seluruh waktu tersebut mempelajari adab”.
Pentingnya
adab sebelum ilmu membuat Imam az-Zarnuji menulis kitab khusus adab penuntut
ilmu yaitu Kitab Ta’lim Muta’allim.
Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari juga menulis kitab serupa yaitu kitab Adabul ‘alim wal Muta’allim. Kedua kitab
ini secara eksplisit menerangkan adab-adab yang perlu diamalkan oleh para
penuntut ilmu agar ilmunya berberkah.
Di
atas segalanya, akhlak mulia yang berbasis pada pendidikan adab dapat diterapkan
di sekolah atau madrasah, bahkan di perguruan tinggi. Teknis pelaksanaannya diserahkan
kepada inovasi dan kreatifitas masing-masing lembaga pendidikan. Itulah sedikit
upaya agar tujuan pendidikan sebagaimana yang ditegaskan dalam UUD 1945 dan UU
No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas dapat tercapai. Dengan harapan, berbagai
masalah yang menimpa siswa bisa dikurangi, bahkan diakhiri secara berkelanjutan.
Ya, ini adalah wujud nyata betapa konsep pendidikan adab punya korelasi dan kontribusi
besar untuk kemajuan pendidikan dan bangsa. [Oleh:
Syamsudin Kadir—Penggiat di Majelis Pustaka dan Informasi PDM Kab. Cirebon,
Penulis buku “PENDIDIKAN Mencerahkan dan Mencerdaskan BANGSA”]
Komentar
Posting Komentar