Kuatkan Keluarga Sebagai Benteng Bangsa
MENYAKSIKAN
berbagai peristiwa dan masalah yang menimpa bangsa kita akhir-akhir ini,
terutama yang menyelimuti generasi muda membuat kita nyaris tak pernah berhenti
mengeluskan dada. Tak sedikit yang terlibat penyalahgunaan narkoba, minuman
keras, balapan liar, tawuran, seks bebas hingga pembunuhan.
Sekadar
contoh untuk kasus narkoba, Badan Narkotika Nasional (BNN) pada akhir 2017 menyebutkan
bahwa untuk tahun 2017 jumlah penyalahgunaan narkoba di Indonesia mencapai 5,5
juta orang. 1,5 juta orang merupakan pengguna biasa dan 1 juta orang
diantaranya bahkan telah menjadi pecandu. 40% diantaranya melibatkan pelajar
dan mahasiswa. Bahkan 12 ribu kematian terkait dengan penyalahgunaan narkoba.
Kalau
ditelisik, diantara celah terjadinya berbagai kasus semacam itu adalah karena keluarga
sebagai benteng bangsa semakin keropos atau roboh. Keadaannya semakin mencemaskan
ketika keluarga sebagai bagian dari pendidikan utama manusia, secara fungsional
dan efektifitas tidak hadir secara ril sebagai pusat pendidikan yang
sesungguhnya.
Secara
teoritis, keluarga merupakan model terkecil sistem sosial masyarakat. Dalam
keluargalah proses pendidikan utama dilakukan. Ia adalah benteng utama sebuah
bangsa, tak terkecuali di Indonesia. Padahal menurut Mohammad Fauzil Adhim
(2008), pada umumnya jika pendidikan keluarga berjalan dengan baik, maka
keluarga pun akan memberi efek positif bagi keberlangsungan keluarga bahkan
memberi efek konstruktif kepada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
Dalam
konteks memantapkan keluarga sebagai bagian penting dari pusat pendidikan, maka
kita tentu mendapatkan angin segar ketika 2015 lalu pemerintah telah melahirkan
sebuah direktorat baru di
lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yaitu Direktorat Pembinaan
Pendidikan Keluarga. Secara yuridis, direktorat hadir berdasarkan Permendikbud Nomor 11/2015 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sebagai tindak
lanjut Peraturan Presiden No 14/2015 yang mengatur struktur organisasi
Kemendikbud.
Jika
ditelisik, kehadiran
direktorat ini dimaksudkan untuk menguatkan peran orangtua sebagai pendidik
pertama dan utama dalam keluarga. Sebuah gagasan yang sangat menjanjikan untuk
perbaikan dan pendukung utama sistem penyelenggaraan pendidikan nasional
ke depan.
Bagaimanapun,
kalau kita membaca gagasan pendidikan Ki Hajar Dewantara, keluarga merupakan
salah satu dari Trisentra
kelembagaan pendidikan, di samping sekolah dan masyarakat. Lembaga keluarga atau yang secara spesifik disebut
sebagai lembaga perkawinan merupakan lembaga sosial tertua usianya, terkecil
bentuknya, dan terlengkap fungsinya.
Dalam
konteks sistem sosial Indonesia, terbentuknya
keluarga pada masyarakat-bangsa setidaknya untuk memenuhi prinsip
dan nilai dari empat norma yang
berlaku yaitu agama, hukum,
moral, dan sosial. Dalam perspektif agama (dalam hal
ini khususnya Islam), berkeluarga
harus memenuhi syarat dan rukun sebagaimana ditetapkan ajaran agama yang
sudah dielaborasi dan diadaptasikan dalam ketentuan hukum positif berupa
UU Perkawinan (UU No. 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan).
Dari
sisi moral, menikah dan berkeluarga merupakan pola
halal dan legal untuk penyaluran
hasrat seksual, mendapatkan keturunan, dan mendapatkan
kasih sayang bahkan dalam menyebarnya. Sedangkan secara sosial, “berkeluarga” merupakan suatu kepatutan sosial
yang bisa menjaga tata keadaban sosial, di samping sebagai upaya memanusiakan
manusia dalam tata kehidupan kolektif sekaligus dalam percaturan global.
Dari
sisi psikologi, para ahli hampir menyepakati bahwa keluarga merupakan
lembaga pendidikan yang memiliki kekhasan, keunikan,
urgensi dan fungsi penting dalam perjalanan hidup seseorang, termasuk dalam
mematangkan dirinya sebagai bagian dari manusia lain. Baik dalam keluarga,
masyarakat bahkan negara.
Pandangan
semacam itu sangat relevan diketengahkan pada kehidupan sosial akhir-akhir ini.
Mengapa? Pertama, keluarga merupakan
lembaga pendidikan paling
alamiah; kedua,
prosesnya tanpa didramatisasi atau didesain secara
rumit sebagaimana terjadi pada lembaga pendidikan profesional;
ketiga, materinya meliputi seluruh bidang kehidupan, metodenya
sebagaimana keadaan yang sesungguhnya, dan evaluasinya dilakukan secara
langsung oleh anggota keluarga; keempat, dalam keluarga juga tak mungkin terdapat komersialisasi
jasa pendidikan. Para orangtua memberikan pendidikan dan fasilitas pendidikan
tentulah tak mengharapkan imbalan materi, selain didorong kewajiban moral.
Mesti
diakui bahwa selama ini umumnya proses pendidikan keluarga tidak berjalan
dengan baik. Hal ini tentu saja disebabkan oleh banyak faktor penyebab dan
pendukung. Misalnya, kesibukan, karir dan aktivitas harian para orangtua yang begitu
padat. Di samping faktor lingkungan sosial di luar keluarga yang memungkinkan
anggota keluarga (dalam hal ini anak-anak) turut terjerumus ke dalam penyakit
sosial. Akibatnya, upaya
proses
pendidikan dalam keluarga sedikit-banyak terabaikan, bahkan tak memberi
banyak efek positif terhadap keberlangsungan keluarga, masyarakat, bangsa dan
negara.
Karena
itu, kita sangat berharap agar kehadiran Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga mampu
menguatkan peran orangtua sebagai pendidik pertama dan
utama dalam keluarga. Bukan saja sebagai upaya mendukung
dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, tapi juga sebagai upaya menjaga
keberlanjutan kehidupan keluarga sebagai bagian dari elemen terpenting dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Di
atas segalanya, mudah-mudahan Direktorat ini mampu menghadirkan kebijakan dan
langkah lebih praktis, sehingga keluarga sebagai benteng bangsa benar-benar terjaga
dan berkontribusi secara positif bagi keutuhan bangsa dan negara tercinta
Indonesia ke depan. Semoga! [Oleh: Syamsudin Kadir—Penggiat di Majelis Pustaka
dan Informasi PDM Kab. Cirebon. Tulisan ini dimuat pada halaman 7 Kolom Opini Koran Kabare Cirebon edisi Senin 10
September 2018]
Komentar
Posting Komentar