Hikmah Pengadilan Pribadi
SETIAP
manusia pasti pernah berbuat salah. Tidak ada manusia yang suci bak malaikat
seperti halnya tidak ada manusia kotor bak setan. Namun, sedikit sekali orang
yang mampu menemukan kesalahan yang dilakukannya. Betul kata pepatah, semut di
seberang lautan kelihatan, tapi gajah di pelupuk mata tak tampak. Padahal,
kemampuan mengetahui kesalahan-kesalahan pribadi adalah gerbang awal untuk
melakukan perbaikan. Ibarat orang sakit, selama penyakitnya belum ditemukan,
maka jangan berharap untuk bisa disembuhkan.
Sayangnya,
ketimbang menemukan dan menyadari kesalahan sendiri, tidak sedikit orang yang
malah membanggakan diri dan sok suci. Padahal, akibatnya sangat fatal, yakni
melanggengkan diri dalam kesesatan dan kemaksiatan. Alih-alih bertaubat
mensucikan diri malah semakin tenggelam dalam kubangan dosa. Dalam al-Qur’an
surat al-Kahfi Allah berfirman, “Yaitu
orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini,
sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (104) “Mereka itu orang-orang yang telah kufur
terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia,
Maka hapuslah amalan- amalan mereka, dan Kami tidak Mengadakan suatu penilaian
bagi (amalan) mereka pada hari kiamat.” (105)
Karena
itu, ketika kelak Allah menyodorkan raport merah amalnya di dunia, kedua
matanya akan terbelalak. Penyesalannya luar biasa. Bahkan kalau bisa, dia
berharap bisa dihidupkan kembali ke duni meski sedetik saja. Namun nasi sudah
kepalang jadi bubur. Pintu taubat telah terkunci. Sebesar apapun penyesalan,
sama sekali tidak akan berarti. Sementara itu menghadap gugatan Illahi, semua
lidah kelu. Setiap mulut terkunci. Sedangkan seluruh anggota tubuh tampil
menjadi saksi. Akhirnya, semua dakwaan pun tak terbantahkan. Kemudian vonis
Allah atas nasib serta status hamba-hamba-Nya pun dijatuhkan.
Allah
berfirman, “Dan diletakkanlah Kitab, lalu
kamu akan melihat orang-orang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis)
di dalamnya, dan mereka berkata: “Aduhai celaka Kami, kitab Apakah ini yang
tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia
mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada
(tertulis). dan Tuhanmu tidak Menganiaya seorang juapun”.” (QS. al-Kahfi: 49)
Agar
tidak mengalami petaka tragis di depan pengadilan Allah, dalam al-Qur’an Allah mewanti-wanti
manusia untuk senantiasa mengadili dirinya sendiri. Pengadilan pribadi inilah
yang akan menyelamatkan manusia di depan pengadilan Illahi. Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah dan hendaklah Setiap diri memperhatikan apa yang telah
diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah,
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Hasyr:
18)
Berkenan
dengan perintah pengadilan pribadi, sesuai dengan perintah tersebut, Umar bin
Khatab pernah menegaskan, “Hendaklan
kalian menghisab diri sebelum dihisab. Timbanglah diri kalian sebelum
ditimbang. Sungguh, orang yang ringan hisabnya pada hari Kiamat adalah kalian
menghisab hari ini seolah-olah kalian menimbangnya pada hari yang agung.”
Berbeda
dengan Umar, Ibnu Qudama mengibaratkan muhasabah
tersebut dengan perilaku seorang pedagang yang senantiasa menghitung
untung-rugi. Karena menurutnya kehidupan dunia pada dasarnya adalah ajang
transaksi antara manusia dengan Robb-nya. Allah membeli segenap amal kebaikan,
jiwa dan raga manusia dengan surga. Agar neraca perdagangan itu tidak merugi,
maka kualitas kelayakan amal tersebut setiap saat mesti dievaluasi. Khawatir
terlalu banyak ucapan dan perbuatan yang tak sesuai dengan standar yang
ditetapkan oleh Allah.
Secara
umum ada beberapa manfaat bila dilakukan muhasabah
diri. Pertama, menyingkap aib dan
kelemahan sendiri. Orang yang tidak mampu menyingkap aib sendiri, maka dengan
sendirinya tidak akan mampu menghilangkannya. Sekiranya merasa tak mampu
melakukannya, bisa dilakukan dengan meminta bantuan orang lain untuk
menunjukkan.
Berkenan
dengan hal tersebut agaknya Umar bin Khatab adalah teladannya. Beliau sendiri
adalah sahabat yang dikenal tegas dan tanpa kompromi. Namun untuk hal nasehat
dan memperbaiki diri, beliau patut kita tiru. “Semoga memberikan rahmat kepada seseorang yang menunjukkan kepadaku
aib-aibku.” begitu ungkap Umar bin Khatab.
Kedua,
mengetahui hak-hak Allah. Pengetahuan ini akan menyadarkan seseorang bahwa
selama ini betapa banyak hak-hak Allah yang belum dipenuhi. Betapa banyak
nikmat Allah yang dia ingkari ketimbang disyukuri. Setelah itu, timbullah
penyesalan dan ketulusan untuk bertaubat. Dan terbukalah pintu ketaatan,
ketundukan, dan harapan yang besar atas rahmat dan ampunan Allah.
Ketiga,
terbukanya peluang untuk memperbaiki hubungan diantara sesama manusia (hablum minannaas). Perusak utama keharmonisan hubungan di antara sesama
manusia adalah sikap egois seperti merasa menang sendiri. Egoisme inilah yang
membatasi seseorang untuk melihat kesalahan dirinya. Melalui muhasabah seseorang dituntun melihat
kesalahan-kesalahan dirinya secara jujur dan lapang dada. Sikap seperti ini
adalah kunci pembuka hubungan antara manusia sehingga menjadi lebih mesra.
Tumbuhlah bibit-bibit persaudaraan dan menyingkirkan segala dendam kesumat dan
kedengkian.
Keempat,
melepaskan diri dari sifat-sifat nifak. Biasanya, untuk menutupi rasa gengsi,
orang bersalah selalu membela diri. Padahal nuraninya memberontak sakit. Itulah
sifat nifak yang sesungguhnya. Dengan menghisab diri sendiri, seseorang akan
terdorong untuk menyelaraskan ucapan dan perbuatannya. Sehingga ia tak menjadi
manusia bermuka dua.
Mengingat
hikmahnya begitu kaya, maka setiap kita mesti menyempatkan diri untuk menggelar
pengadilan pribadi, melakukan muhasabah
atau instropeksi diri. Upaya tersebut akan menjauhkan kita dari sikap sombong
dan rasa benar sendiri. Sehingga, setiap kesalahan secara ksatria akan langsung
diakui dan diperbaiki. Dengan demikian, terhindarlah kita dari watak setan yang
setiap melakukan kesalahan selalu mencari kambing hitan alias menyalahkan orang
lain. Akibatnya makin lama makin ada perbaikan; bukan tersesat atau makin jauh
menyimpang dari kebenaran. [Oleh:
Syamsudin Kadir—Pegiat di Majelis Pustaka dan Informasi PDM Kab. Cirebon dan
Penulis buku “Pendidikan Mencerahkan dan Mencerdaskan”]
Komentar
Posting Komentar