Nilai Ramadhan Kokohkan Pendidikan Keluarga
RAMADHAN telah berlalu, dan kini kita berada di bulan Syawal.
Berlalunya Ramadhan sebagai bulan yang dirindukan itu menyisahkan banyak pesan
penting yang layak kita jaga pada bulan-bulan berikutnya.
Kita sudah
memaklumi bahwa hikmah
dan tujuan utama diwajibkannya shaum adalah untuk mencapai takwa kepada
Allah, yang hakikatnya adalah kesucian jiwa dan kebersihan hati. Maka bulan
Ramadhan merupakan kesempatan berharga bagi seorang muslim untuk berbenah diri guna
meraih takwa kepada Allah. Allah
berfirman, “Hai orang-orang
yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa” (QS. al-Baqarah:183).
Mengenai ayat
tersebut, Imam Ibnu Katsir
berkata, “Dalam ayat ini Allah berfirman kepada orang-orang yang beriman dan
memerintahkan mereka untuk (melaksanakan ibadah) shaum, yang berarti menahan (diri) dari
makan, minum dan hubungan suami-istri dengan niat ikhlas karena Allah (semata),
karena shaum
(merupakan sebab untuk mencapai) kebersihan dan kesucian jiwa, serta
menghilangkan noda-noda buruk (yang mengotori hati) dan semua tingkah laku yang
tercela”.
Kalau kita
telisik, hikmah dan tujuam shaum yang
ditegaskan dalam QS. al-Baqarah ayat 183, maka sejatinya ia sangat sesuai dengan tujuan
pendidikan nasional sebagaimana yang tertera dalam Konstitusi (Pembukaan UUD
1945) dan Undang-undang (UU) No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
Dalam pembukaan Konstitusi negara kita, UUD 1945, sangat
tegas dan jelas disebutkan, “Kemudian
dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa....”. Kemudian
UUD 1945 Pasal 31 menjelaskan, (ayat 1) “Setiap
warga negara berhak mendapat pendidikan.”,
(ayat 2) “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan
pemerintah wajb membiayainya.”, (ayat 3) “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan
nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.”
Adalah
Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas sudah digambarkan dengan
jelas mengenai fungsi dan tujuan pendidikan nasional. Pada pasal 3
undang-undang tersebut disebutkan: “Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.”
Dari
sini sangat jelas bahwa proses pendidikan merupakan kunci perbaikan manusia:
menuju manusia yang mulia, hingga berkembangnya potensi manusia menjadi manusia
yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa (Allah) dan berakhlak
mulia atau yang kita kenal sebagai karakter baik. Secara spesifik, maknanya,
pendidikan adalah proses yang menghasilkan manusia berakhlak mulia yang
sama-sama kita dambakan.
Kalau
kita telisik dalam Islam, ternyata Islam sudah menyiapkan satu konsep utuh
mengenai pendidikan terutama dalam konstruksi akhlak baik. Dalam Islam,
pendidikan merupakan kunci utama pembentukan manusia mulia, sebagaimana yang
diafirmasi juga dalam Sisdiknas.
Lebih
rinci Islam menggariskan bahwa pendidikan anak adalah tanggungjawab orangtua.
Orangtua wajib menjaga diri dan anak-anaknya dari keterjerumusan ke dalam api
neraka. Dalam surat at-Tahrim [66] ayat 6, Allah berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah
dirimu dan keluargamu dari api neraka...”.
Selain
itu, Rasululllah Shollallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Muliakanlah anak-anakmu dan
perbaikilah adab mereka”. (HR. Ibnu Majah).
Dari
satu ayat dan hadits itu saja—tentu di samping masih banyak ayat dan hadits
lain—pendidikan keluarga atau orangtua
wajib mengusahakan pendidikan bagi anak-anaknya agar mereka menjadi anak-anak
yang terdidik: yang beradab baik atau berakhlak baik.
Berakhlak
baik tidak semata sikap terhadap sesama manusia, tapi juga sikap kepada makhluk
lain selain manusia seperti lingkungan sekitar: hewan dan tumbuh-tumbuhan,
udara, air dan tanah, dan sebagainya. Lebih utama lagi akhlak kepada Allah dan
para utusan-Nya.
Ya,
melalui keluarga (orangtua mereka) anak-anak mesti mendapatkan proses
pendidikan terutama agar mereka mengenal hingga meyakini Allah (Tuhannya),
sehingga tidak menserikatkan Allah dengan yang lain. Sebab dalam Islam, syirik
adalah satu bentuk kezaliman yang sangat besar.
Janganlah engkau mempersekutukan
Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”,
demikian firman Allah dalam Qur’an Surat Luqman [31] ayat 13.
Oleh
karena itu, sejak dini, anak-anak wajib dikenalkan siapa Tuhan mereka. Bahwa
Tuhan mereka Allah, bukan selainnya. Anak-anak juga wajib diajarkan untuk
mengenal dan mencintai nabi-Nya, yaitu Rasul Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
sebagai manusia yang paling mulia dan wajib dijadikan sebagai uswah hasanah (suri tauladan) dalam
kehidupan.
Sejak
dini anak-anak wajib dikenalkan misi utama nabi-Nya yaitu untuk menghamba
kepada-Nya sesuai dengan tuntunan yang dibawa oleh Nabi-Nya. Tidak ada cara
beribadah yang benar selain dengan tuntunan Nabi-Nya. Dengan begitu, sejak dini
anak-anak sudah dilatih untuk mempelajari dan mengamalkan syariat agama-Nya,
dan meyakininya sebagai syariat yang mulia dan terbaik.
Dalam pandangan Ketua Porgram Studi
Magister dan Doktor Pendidikan Islam Universitas Ibnu Khaldun (UIKA) Bogor, Dr Adian Husaini (2018), sekolah,
madrasah, pesantren dan sebutan lainnya, bahkan guru agama yang diundang ke
rumah untuk mengajari anak-anak hanyalah “institusi” pendidikan dan orang yang
sekadar membantu tugas dan fungsi utama orangtua mereka pada pendidikan keluarga.
Dalam
pendidikan keluarga, anak-anak
layak mendapatkan berbagai pendidik dasar yang sangat dibutuhkan dalam
kehidupan mereka, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Lebih dari itu,
menurut Pakar Pendidikan Islam Ahmad Tafsir, melakukan pendidikan agama dalam
keluarga, berarti ikut berusaha menyelamatkan generasi muda. Dengan demikian,
menurut penulis buku “Pendidikan Agama
Dalam Keluarga” (2017) ini, keluarga itu ikut berusaha menyelamatkan
bangsa.
Dengan
cara ini diharapkan anak-anak sebagai generasi baru (muda) kelak menjadi warga
negara yang beriman dan bertaqwa serta berakhlak mulia sebagaimana yang
digariskan UU yang disebutkan sebelumnya.
Syahdan,
nilai-nilai ramadhan sejatinya dapat kita jadikan sebagai
pengokoh pendidikan keluarga. Pada saat yang sama mari
membangun kesadaran mendasar bahwa pendidikan
keluarga atau orangtua adalah kunci penentu lahirnya generasi unggul sebagaimana yang digariskan oleh Konstitusi, UU
Sisdiknas dan nalar agama. Ya, pendidikan keluarga (orangtua) adalah pendidik utama dan pertama bagi
anak-anak mereka, yang kelak menjadi generasi baru Indonesia; bahkan ini yang sangat
penting: menjadi kebanggaan orangtua
mereka di hadapan Allah kelak di hari kiamat. [Oleh: Eni Suhaeni—Penulis lepas
tema-tema Pendidikan dan Sosial-Keagamaan. Tulisan ini dimuat pada halaman 11
Kolom Opini Koran Kabar Cirebon edisi Jumat 21 Juni 2019]
Komentar
Posting Komentar