Substansi dan Makna Transformasi Shaum
KEWAJIBAN shaum
atas orang-orang beriman memiliki substansi sekaligus tujuan luhur yaitu
melahirkan pribadi-pribadi yang takwa. Allah berfirman, “Hai orang-orang
yang beriman, diwajibkan atas kamu ber-shaum sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu
agar kamu bertakwa” (QS. Al-Baqarah [2]: 183).
Dalam
literatur-literatur klasik Islam, takwa didefinisikan sebagai, “Upaya sadar dalam menjalankan semua
perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya.” Dengan demikian—seperti
ungkapan Yusuf Qardhawi (2004)—shaum diorientasikan untuk membentuk pribadi-pribadi yang taat menjalankan semua
perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya dalam pengertian dan cakupannya
yang lebih luas dan menyeluruh.
Dalam
tataran praktisnya tak sedikit yang beranggapan bahwa perintah dan larangan-Nya
hanya terbatas pada ajaran-ajaran yang sifatnya ritualistik. Sebagai contoh,
dengan menahan lapar dan dahaga sejak terbit fajar hingga terbenam matahari kita
sudah merasa sudah ber-shaum. Sementara itu mata, telinga, mulut dan hati kita
tidak ikut ber-shaum dari melihat, mendengar, mengatakan dan meniatkan
keburukan. Padahal shaum, seperti yang disinggung oleh Imam al-Ghazali, shaum merupakan upaya ikhlas menahan
lapar, dahaga dan hal-hal lain yang membatalkannya, termasuk upaya menahan diri
dari yang menghilangkan nilai substansinya.
Mengafirmasi
al-Ghazali, maka mengumbar pandangan mata, menguping hal-hal yang buruk,
membebaskan mulut berkata-kata yang jelek dan membiarkan hati meniatkan sesuatu
yang tidak pantas adalah hal-hal yang dapat menghilangkan keberkahan dari shaum yang
lakukan.
Padahal Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
bersabda: “Barangsiapa
yang tidak meninggalkan kata-kata buruk (sewaktu ber-shaum) maka Allah tidak peduli dengan lapar dan dahaganya.” (al-Hadits)
Semarak ramadan
memang selalu kita lihat setiap tahun. Masjid-masjid mendadak dipenuhi jamaah
setiap malamnya. Ayat-ayat al-Qur`an—baik yang dibacakan langsung oleh manusia
maupun yang dikasetkan—mengumandang di masjid-masjid dan surau-surau.
Stasiun-stasiun
TV berlomba mengemas berbagai acara khas ramadhan, mulai
dari sinetron, tanya-jawab, kuis, ceramah, pengantar makan sahur hingga siaran
langsung shalat tarawih dari masjid Haram. Infotainment pun menyuguhkan
berita tentang bagaimana para selebritis memaknai ramadhan dan apa
saja yang mereka lakukan di bulan itu. Pada saat yang sama, tayangan-tayangan
seronok dikurangi. Namun, begitu ramadhan pergi,
semarak dan tayangan-tayangan “religius” itu lenyap seketika, lalu meninggalkan
kesan bahwa kita dituntut untuk menjadi orang saleh hanya pada bulan ramadhan saja,
setelahnya kembali kepada kubangan dosa, maksiat dan kekeliruan dalam segala
aspek juga dimensinya.
Dalam
konteks substansi dan makna transformatif, shaum sejatinya
mengajarkan banyak hal, pertama,
kepedulian sosial. Bahwa kepedulian sosial bukan hanya pada bulan shaum tapi
sepanjang hayat. Sahur dan buka shaum bersama kaum papa dan anak-anak jalanan, misalnya, belum-lah menyentuh
kepedulian sosial yang dipesankan shaum. Itu hanya semacam pelipur lara bagi “kaum kusam”
untuk sesaat melupakan himpitan hidup di tengah-tengah dunia yang permisif,
rakus dan hedonis.
Kepedulian
sosial yang diinginkan shaum lebih bermakna pemberdayaan kaum dhu’afa (alit). Memberdayakan kaum alit bukan dengan
memberi mereka ikan melainkan kail sembari membimbing mereka bagaimana
menggunakan kail agar mendapatkan ikan yang cukup. Dengan hanya memberi sisa
makanan atau pakaian bekas kepada tetangga yang fakir, miskin atau yang
berekonomi lemah belum dapat dikatakan sebagai memberi kemanfataan kepada
sesama. Itu hanya upaya kecil supaya tidak dicap bakhil (Didin Hafidudin,
2006).
Laparnya shaum di siang
hari selama sebulan mengajarkan bahwa di sekeliling masih terlalu banyak orang
yang lapar, bukan hanya di siang hari tapi siang dan malam, bukan hanya sebulan
namun sepanjang tahun. Shaum mengajarkan pengendalian diri; mata, telinga, mulut, hati dan seluruh
anggota badan, bukan hanya sepanjang bulan ramadhan tapi sepanjang
hayat di kandung badan.
Kedua, kejujuran. Tidak ada yang
mengetahui apakah kita ber-shaum atau tidak selain diri kita
sendiri, malaikat dan tentu saja Allah. Selama kita tidak makan, minum atau
merokok di depan orang, orang pun akan percaya kalau kita sedang ber-shaum. Di sinilah
kejujuran diuji. Shaum menginginkan kejujuran bukan hanya pada bulan ramadhan, namun
selama-lamanya, dalam hal apa pun, kapan dan di mana pun.
Ketiga, kesederhanaan. Selama berpuasa
kita makan hanya dua kali; makan sahur dan saat berbuka. Ini mengajarkan kita
untuk menempuh pola hidup hemat dan tidak berlebih-lebihan. Shaum bukan
memindahkan kebiasaan makan dari siang ke malam. Shaum mengajarkan keteraturan dan
ketepatan waktu.
Imsak (menghentikan
makan dan minum beberapa menit sebelum awal waktu ber-shaum dimulai)
mengajarkan kehati-hatian dan kewaspadaan. Ta’jil (bergegas berbuka shaum)
mengajarkan kita untuk bersegera memberikan hak. Setelah sehari penuh tubuh
menjalankan tugasnya, yaitu ber-shaum, maka sudah sepantasnya kita
bergegas untuk memenuhi haknya akan makan begitu waktu buka tiba. Dan segera
setelah haknya dipenuhi, kita dapat menuntutnya kembali untuk menjalankan
kewajiban-kewajiban lainnya. Keseimbangan antara hak dan kewajiban tercermin di
sini.
Keempat, evaluasi diri. Bagi umat Islam
Indonesia, ramadhan kali
ini—seperti halnya beberapa ramadhan
sebelumnya—hadir di tengah-tengah kondisi bangsa yang (sangat) tidak
menggembirakan dalam hampir semua aspek kehidupannya.
Menurut
Kuntowijoyo (2000), pemegang kendali kekuasaan atau pejabat negara (publik)
memiliki tanggungjawab memperhatikan dan memberdayakan rakyat. Dalam konteks ramadan, ini
bermakna shaum harus menjadi momen untuk benar-benar memerhatikan nasib rakyat yang masih harus berjuang keras untuk bisa
sekadar bertahan hidup.
Bagi
kalangan berpunya, ramadhan kali ini
harus menjadi awal untuk ber-shaum dalam makna, misalnya membuka hati,
meneguhkan rasa dan memantapkan pemahaman bahwa mereka mempunyai tanggung
sosial yang besar, yaitu mendistribusikan sebagian harta milik mereka dalam
rangka memberdayakan—bukan sekadar menyantuni—kaum lemah.
Selebihnya,
bagi siapapun kita, kewajiban zakat dan pengupayaan infak juga sedekah harus
dimaknai sebagai penguatan institusi atau lembaga yang melakukan pemberdayaan
secara mendasar dan menyeluruh, bukan cuma karitas atau labeling. Itulah yang membuat ajaran agama, dalam hal ini shaum dan
kewajiban lain yang melingkupinya bertransformasi secara praktis dalam segala
level sekaligus skala: individu, keluarga, masyarakat, institusi atau
kelembagaan sosial dan negara. [Oleh: Syamsudin
Kadir—Penulis buku “Pendidikan Mencerahkan dan Mencerdaskan Bangsa”. Pemesanan
buku tersebut ke nomor WA 085797644300 ]
Komentar
Posting Komentar