Belajar Gila Dari Dua Anak yang Gila Baca Buku


BENCANA non alam: Covid-19 yang menghantam berbagai negara di dunia termasuk Indonesia sejak awal 2020 lalu hingga kini Juni 2021 telah berdampak kepada berbagai aspek kehidupan umat manusia. Aspek yang paling terdampak adalah kesehatan, ekonomi dan pendidikan. Tentu di samping aspek lainnya yang juga terkena dampak. 

Dari aspek kesehatan, jutaan orang terpapar. Dari yang terpapar lalu sembuah, terpapar lalu masih dirawat, hingga terpapar lalu meninggal dunia. Hal tersebut terjadi di hampir semua negara di dunia, termasuk Indonesia. Khusus Indonesia, berbagai daerah sudah melakukan upaya penanggulangan termasuk pencegahan dengan memasyakatkan protokol kesehatan seperti bermasker bila keluar dari rumah, mencuci tangan dengan air bersih, menjaga jarak, menghindari kerumunan dan aktivitas yang tak perlu di luar rumah. 


Dari aspek ekonomi, tak sedikit yang menjadi korban atau terkena dampak. Berbagai perusahaan pun telah mengkhiri masa kerja karyawannya. Mereka yang berprofesi sebagai pedagang dan usaha kecil-menengah pun sangat merasakan dampak buruk virus yang berawal dari Wuhan, China ini. Sebagian usaha memilih gulung tikar. Singkatnya, berbagai usaha pun benar-benar terkena dampak covid-19. 

Selanjutnya dari aspek pendidikan, virus ini telah benar-benar memberi dampak yang sangat besar. Proses pembelajaran berbagai lembaga pendidikan baik sekolah dan madrasah maupun perguruan tinggi dilakukan secara online. Padahal sebelumnya bahkan sudah berpuluhan tahun lalu proses pembelajaran dilakukan secara tatap muka. 


Sebagai orangtua bagi anak-anak terutama yang masih berusia Taman Kanak-kanak (TK) dan Sekolah Dasar (SD) perpindahan tempat proses pembelajaran dari sekolah ke atau di rumah adalah sebuah tantangan tersendiri. Butuh daya inovasi dan kreatif yang jenial untuk menemani anak-anak dalam proses pembelajaran. Bila tidak maka dampak buruknya bukan saja menimpa keluarga tapi juga masa depan bangsa. 

Saya sendiri merasakan betapa proses pembelajaran semacam ini sangat tak memadai dalam menuntaskan materi pembelajaran sesuai kurikulum yang sedang diberlakukan yaitu Kurikukum 2013 atau yang akrab disebut K13. Untuk itu sebagai orangtua yang juga memiliki latar aktivitas sebagai pendidik, saya perlu mensiasati kondisi semacam ini secara cerdas. 

Diantara langkah yang saya lakukan adalah memastikan anak-anak saya yaitu Azka Syakira yang masih duduk di kelas 3 SD dan Bukhari Muhtadin yang baru selesai TK untuk membaca buku. Beruntungnya keduanya tergolong anak yang aktif membaca buku. Bahkan pada masa pandemi ini keduanya adalah sosok aktif dan semakin gila membaca buku. Kalau gilanya sudah datang, langsung maksa untuk segera ke toko buku. 

Tradisi baca di keluarga memang sudah saya bangun sejak lama. Sehingga tidak perlu dikondisikan lagi. Cukup saling mengingatkan, insyaa Allah semuanya sudah langsung memahami bahwa membaca buku mesti menjadi prioritas dan tradisi keluarga. Hal ini semakin terasa lebih mudah karena di rumah juga tersedia ribuan buku dalam beragam tema dan judul. Termasuk puluhan judul buku saya yang juga dibaca secara rutin. 

Saya, istri saya Eni Suhaeni dan anak-anak juga sudah terbiasa untuk belanja buku. Walau kadang mesti mengurangi uang jatah makan, membeli buku sudah menjadi prioritas. Makanya, bila ada buku baru terbit, saya lebih memilih untuk membeli buku. Istri dan anak-anak juga begitu. Termasuk anak bungsu saya Aisyah Humaira juga begitu. Mereka tergolong yang suka buku, bukan menjadi pembeli pakian dan makanan mewah ini itu. Saya sangat bangga dan haru karena mereka terutama kedua anak saya yang SD dan baru selesai TK tergolong gila buku.  

Hal ini semakin menemukan keberuntungannya karena saya sendiri tidak merokok dan tidak minum kopi. Sehingga penggunaan uang bisa lebih hemat. Bila pun ada uang, sesedikit apapun uang yang dimiliki akan diprioritaskan untuk membeli buku. Terutama buku-buku bekas dengan harga yang sangat terjangkau. Saya seperti juga istri dan anak-anak saya tidak  malu membeli dan membaca buku bekas. Malah semuanya merasa bangga karena selalu ada kesempatan yang Allah berikan untuk mencintai dan membaca buku. 

Bahkan pada masa pandemi ini, semangat saya untuk menulis buku semakin menggebu-gebu. Padahal saya tidak berprofesi sebagai penulis. Bagi saya, menulis adalah panggilan jiwa. Apalah lagi saya adalah orang asli kampung yang jauh dari toko buku. Hal ini menjadi daya dorong yang membuat saya terus menekuni dunia kepenulisan. Istri dan anak-anak juga terus termotivasi untuk melakukan hal yang sama. Walau masih membutuhkan proses belajar yang lama namun kini dampaknya tergolong baik. 

Walau sebagai orangtua, saya dan istri tetap memaksa diri untuk belajar. Termasuk belajar kepada anak-anak yang bisa jadi ilmunya tak seberapa. Satu semangat belajar yang terutama saya pelajari selama ini pada anak-anak saya adalah pada semangat mereka untuk membaca buku. Saya merasa malu bila mereka semangat membaca bahkan tuntas membaca banyak begitu, sementara saya kadang terjebak pada alasan ini itu. Satu kenyataan yang tak pantas lagi terjadi ke depan! 


Ya, masa pandemi sejatinya adalah momentum untuk meningkatkan kualitas dan semangat tradisi baca di rumah atau tempat lainnya. Seluruh anggota keluarga, minimal keluarga kecil, diingatkan untuk menjaga tradisi baca buku. Virus yang memberi dampak negatif di luar sana tak boleh mematikan semangat tradisi baca di lingkungan keluarga. Sebab keluarga adalah benteng utama dan terakhir pendidikan yang menentukan kualitas generasi masa depan bangsa dan negara tercinta Indonesia. 

Sekali lagi, saya sendiri termotivasi oleh kedua anak saya yang gila membaca buku. Makanya saya semakin percaya bahwa virus berbahaya yang kini masih menjalar ke seluruh dunia tidak akan mampu menghilangkan semangat dan optimisme anak-anak Indonesia untuk belajar termasuk dengan banyak membaca buku. Malah kelak bila virus semangat membaca buku ini terus ditebar maka ia bakal menjalar ke seluruh penjuru dunia. Biar kelak kita menyaksikan berbagai berita media, misalnya, warga dunia terpapar virus gila baca buku. (*)


* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku "Kalo Cinta, Nikah Aja!"


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah