Dakwah Kekinian


ADA sebuah hadits yang sangat populer di tengah umat yang menjadi landasan dan memotivasi kita untuk selalu berdakwah. Rasulullah shallallahu 'alaihi wassalam bersabda, "Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat." (HR. Bukhari). Hadits ini selalu terngiang dalam benak saya dan seperti terus memotivasi untuk melakukan dakwah amar ma’ruf nahyi mungkar. 

Saya mengawali aktivitas dakwah ketika bergabung di Pondok Pesantren Nurul Hakim sekitar tahun 1974. Di pondok ini, kala itu, saya mendapat amanah untuk mengajar di Madrasah Tsanawiyah (MTs). Selain mengajar, saya sering mengiring Bapak TGH. Safwan Hakim (almarhum) selaku pimpinan dan pengasuh pondok dalam berbagai kegiatan dakwah yang beliau tunaikan. Saya juga sering mendapatkan amanah langsung dari beliau untuk berdakwah di beberapa tempat dan kesempatan.

Bagi saya, interaksi dengan Bapak TGH. Safwan Hakim (almarhum) selama di pondok dan berdakwah di beberapa kesempatan sangat berharga dan berkesan. Selain menambah semangat berdakwah, saya juga termotivasi untuk terus belajar sekaligus meningkatkan pengetahuan. Bukan saja terkait tema-tema dakwah, tapi juga tema-tema yang berkaitan dengan kehidupan sosial masyarakat yang tentu saja kompleks. 

Hal tersebut menyadarkan saya untuk terus meningkatkan kemampuan berdakwah termasuk meningkatkan ilmu pengetahuan yang dibutuhkan dalam berdakwah. Sebab masyarakat dengan kompleksitas masalah kehidupannya membutuhkan pengarahan dan bimbingan yang terarah. Di sini kuncinya adalah ilmu pengetahuan para dai yang mesti juga kompleks. 

Beberapa tahun terakhir kita mendapatkan fakta empiris seputar fenomena adanya sekelompok orang yang terjebak pada aksi lesbian, gay, biseks, transjender yang akrab disebut LGBT. Dari aspek fiqih, bagi para dai zaman sekarang tentu ini fenomena yang tergolong baru. Dan, uniknya para ulama terdahulu sudah mewanti-wanti fenomena semacam ini. Bahkan sebagian mereka memberi fatwa atau pandangan yang sangat antisipatif dan memasa depan. Begitulah kemampuan para ulama zaman dulu, mereka mampu memikirkan apa yang mungkin disiapkan ketika suatu saat terjadi hal-hal mungkar atau penyakit yang menjangkiti umat manusia. 

Hal ini menunjukan bahwa para dai mesti memiliki kemampuan untuk membaca jiwa dan bahasa zaman, baik atau buruknya. Para dai perlu meningkatkan pengetahuannya, dari metode dakwah hingga materi dakwah yang memang perlu dikuasainya. Proses belajar dan mengkaji pun perlu dijadikan prioritas yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Sehingga bila umat ditimpa berbagai masalah mampu ditemukan solusi atau jalan keluarnya. 

Menurut sebagian ulama, dakwah bermakna seruan ke arah perubahan yang lebih baik. Perubahan di sini bermakna luas. Bukan saja perbaikan ibadah ke arah yang lebih berkualitas, tapi juga sikap hidup yang juga semakin berkualitas. Termasuk perubahan di kalangan muda atau remaja yang membutuhkan perhatian khusus, sebab mereka adalah pelanjut perjalanan umat dan bangsa. Mereka adalah aset umat sekaligus bangsa yang sangat menentukan perjalanan sejarah selanjutnya. 

Dakwah sendiri memiliki kiat, cara dan metode tersendiri, sehingga proses dakwah memberi dampak yang positif dan jangka panjang bagi objek dakwah atau masyarakat luas. Hal ini mengingatkan kita pada sebuah firman Allah,  "Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk." (QS. an-Nahl: 125)

Dakwah membutuhkan kemampuan berkomunikasi yang tepat, sehingga mudah didengar dan dipahami oleh masyarakat. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi mestinya dimanfaatkan untuk memudahkan dakwah. Dengan catatan, jangan jadikan media semacam itu sebagai sesembahan yang melupakan kita pada penentu takdir dan kehidupan kita yang sesungguhnya yaitu Allah. Kepasrahan kepada Allah tidak boleh diganti dengan kepasrahan kepada media atau makhluk-Nya. Media hanyalah sarana yang diupayakan dapat memudahkan proses dakwah sekaligus dalam berikhtiar untuk mengejar kebutuhan duniawi secara halal dan baik. 

Media teknologi informasi dan komunikasi sendiri bermata dua. Satu sisi ia bisa digunakan untuk hal yang bermanfaat dan maslahat, namun pada sisi lain bisa juga bisa digunakan untuk hal-hal yang merugikan atau merusak. Sehingga di sini dibutuhkan kemampuan lebih dalam penggunaan media. Perlu ada upaya penguasaan dan pemanfaat secara produktif, sehingga bernilai ibadah di hadapan Allah. 

Pada kondisi kehidupan masyarakat yang masalahnya semakin kompleks, salah satu elemen penting yang mesti berperan untuk berdakwah adalah keluarga. Pendidikan keluarga merupakan benteng utama dalam menjaga kualitas generasi, terutama bagi kalangan remaja yang akhir-akhir ini begitu gandrung dengan media sosial. Sekadar menyebut salah satu fenomena, seperti tik tok. Anak-anak remaj sekarang begitu akrab dengan tik tok. Bila tak dilakukan penyadaran maka akan berdampak buruk bagi kehidupan mereka kelak. 

Karena itu, berdakwah juga perlu digiatkan bagi keluarga, dalam hal ini para orangtua, baik Bapak maupun Ibu mereka. Dengan demikian mereka memiliki kemampuan untuk membimbing dan mengarahkan anak-anak mereka kepada kebaikan, serta anak-anak tidak tergelincir pada hal-hal yang tidak diperkenankan oleh aturan agama juga aturan negara. Orangtua perlu mendapatkan pendidikan khusus sehingga mampu menjalankan amanahnya sebagai orangtua bagi anak-anak mereka yang kelak menjadi generasi pelanjut perjalanan umat dan bangsa. 

Kalau kita kaji lebih giat, ternyata Islam memberi perhatian serius pada pendidikan keluarga sebagai bagian yang tak terpisahkan dari proses dakwah. Rasulullah shallallahu 'alaihi wassalam bersabda, “Suruhlah anak-anak kalian untuk shalat ketika berumur tujuh tahun dan jika telah berumur sepuluh tahun namun tidak mau mengerjakan shalat maka pukullah!" (HR. Abu Dawud)

Dalam redaksi lain diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wassalam bersabda, "Suruhlah anak-anak kalian untuk shalat ketika mereka berumur tujuh tahun, pukullah mereka (jika tidak melaksanakan shalat)  ketika mereka telah berumut sepuluh tahun, dan pisahlah tempat tidur diantara mereka." (HR. Abu Dawud)

Di sini sangat jelas, bagaimana proses dakwah sekaligus pendidikan keluarga dijalankan. Mesti ada upaya mengajak atau menyuruh kepada kebaikan dan menghindar dari kemungkaran. Lalu memberi hukuman edukatif bila anak dinilai membutuhkan evaluasi lanjutan. Dan ini yang tak kalah pentingnya, mengajar sekaligus mendidik mereka untuk beradab sejak dini, terutama adab tidur, adab berkeluarga dan sebagainya. Bila cara tidur saja diatur oleh Islam, sudah barang tentu memanfaatkan media juga pasti diatur dan ada bingkainya. 

Selain itu, di keluarga juga perlu dididik tentang pentingnya membangun dan memajukan ekonomi. Anak-anak dididik sejak dini untuk menekuni keahlian tertentu, sehingga terbiasa untuk mendalami dan bekerja secara gigih untuk memenuhi kebutuhan hidupnya kelak, juga kebutuhan dakwah kepada masyarakat luas sesuai bidang atau profesinya. 

Proses dakwah dari waktu ke waktu tentu variatif sesuai dengan kondisi zamannya. Karena itu, para dai perlu mensiasati agar dakwah bisa diterima dan berdampak baik. Dakwah pun mesti  dijalankan secara aktif namun tetap mampu menghadirkan kenyamanan dan kedamaian. Masyarakat yang memiliki latar belakang yang beragam mesti diarahkan dengan cara yang beragam pula. Dakwah di kalangan kalangan muda atau remaja juga mesti disesuaikan dengan kondisi mereka. Sehingga dakwah nampak baik dan memang mesti mengarah kepada kebaikan. 

Secara khusus, dakwah di kalangan remaja perlu mendapat perhatian. Apalah lagi para remaja yang gandrung dengan olahraga tertentu, seperti sepak bola. Kadang mereka datang ke lapangan bola menjelang waktu azan ashar, sementara selesai olahraga menjelang azan magrib tiba. Akhirnya mereka menjalankan shalat ashar pada waktu yang terlalu dekat dengan waktu magrib. 

Secara fiqih, olahraga bukanlah uzur syari yang menyebabkan diperbolehkannya seorang mukallaf mengakhirkan shalat. Apalah lagi untuk men-jama' atau meng-qosor-nya, langkah semacam itu sama sekali tidak diperkenankan. Pemahaman semacam ini perlu disampaikan kepada generasi muda, terutama bagi mereka yang bisa jadi jauh dari pendidikan agama. 

Nah, di sinilah pentingnya para dai terutama dai muda untuk mengambil peran penting. Sebab kalangan muda atau remaja kadang lebih nyaman untuk mendengar ajakan orang seusianya, atau para dai yang usianya tidak terlalu jauh dengan usia mereka.  Ungkapan mashur para ulama mengingatkan, Berbicaralah dengan manusia dengan bahasa mereka. Atau dalam ungkapan lain, Ajaklah manusia sesuai dengan kemampuan akalnya. 

Intinya, keragaman latar dan kondisi masyarakat, terutama di negeri kita Indonesia yang memang beragam, mesti menjadi perhatian para dai. Proses dakwah tetap dilangsungkan dalam segala kondisi, tentu dengan tetap memperhatikan jiwa dan bahasa zamannya. Dakwah di kalangan muda atau remaja, misalnya, sampaikan tema-tema kekinian seputar kiat meraih kesuksesan, peluang lapangan kerja, perencanaan masa depan dan sebagainya. Begitu juga dakwah di kalangan profesional, pejabat publik, akademisi, pengusaha, pedagang, atlet dan sebagainya, tentu dengan ada penyesuaian, sehingga tidak terkesan kaku dan kuno tapi selalu kontekstaul dan kekinian yang pada ujungnya menghadirkan kenyamanan dan kedamaian. Itulah dakwah yang rahmatan lilalamiin, rahmat bagi semesta alam. (*)


* Oleh: TGH. Muharrar Mahfudz, Pimpinan sekaligus Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Hakim di Kediri, Lombok Barat-NTB.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok