38 Tahun yang Menggembirakan














HARI ini Ahad 8 Agustus 2021, dalam hitungan kalender masehi, usia saya tepat 38 tahun. Sebuah rentang waktu yang sudah lama. Ya, saya menyadari bahwa saya sudah mulai tua. Saya sendiri lahir di Cereng pada 8 Agustus 1983 silam. Cereng merupakan salah satu kampung terpencil di Indonesia. Ia berlokasi di Desa Golo Sengang, Kecamatan Sano Nggoang, Kabupaten Manggarai Barat-NTT. 

Saya merupakan anak ke-4 dari 9 bersaudara dari Bapak Abdul Tahami (almarhum) dan Ibu Siti Jemami (almarhumah), yaitu Ahmad Kahir, Siti Marwia, Siti Mardia dengan akun facebook Mardyah Dyah, saya sendiri Syamsudin Kadir, Siti Murti, Siti Nurfi Isya, Siti Nurfa Jamila, Rafik Jumalik dengan akun Facebook Kae Rafik dan Siti Harmiyati. Kakek dan Nenek dari jalur Bapak namanya adalah Jatong dan Seria, sedangkan Kakek dan Nenek dari jalur Ibu namanya adalah Ngempo dan Timur. Semuanya sudah meninggal dunia. 

Orangtua dan keluarga saya adalah petani. Semuanya mengandalkan sawah tadah hujan. Disebut demikian karena hujannya datang tak beraturan alias tak menentu, kadang datang normal dan kadang tidak. Benar-benar bersawah dengan menanti tabungan air hujan. Selain itu, untuk menanggulangi berbagai kebutuhan keluarga, Bapak dan Ibu juga menggarap ladang yang ditanami jagung, padi, ubi, pepaya, pisang, nanas, dan masih banyak lagi. Termasuk kebun yang ditanami fanili, merica, cengkeh, kelapa, jati dan sebagainya. 

Selain itu, kedua orangtua saya itu juga memelihara kerbau, kambing, kuda, ayam dan ikan. Dengan mata pencarihan sebagai petani dan memelihara hewan peliharaan itulah orangtua saya menafkahi saya dan keluarga. Walau pun sumber pendapatan tergolong sederhana dan kadang dirasa belum mencukupi, namun orangtua saya selalu mengingatkan agar tetap bersyukur dan selalu memastikan kebutuhan keluarga tetap terpenuhi. 

Pada 1990 saya menempuh Sekolah Dasar atau SD, tepatnya Sekolah Dasar Katolik (SDK) di Cereng, di kampung saya sendiri. Sekolah ini tergolong sekolah yang paling terpencil di NTT bahkan Indonesia. Sejak dulu hingga kini kampung tempat sekolah ini berada belum tersentuh air PDAM, belum tersentuh listrik PLN dan belum tersentuh jalan raya beraspal. Sehingga suasananya sunyi dan jauh dari hiruk pikuk sebagaimana yang terjadi di kota atau tempat lain yang tersentuh pembangunan. 

Salah satu hal yang unik, pada saat saya SD semua guru saya beragama Katolik. Seperti Pak Martinus Tjama, Pa Pius Sarto, Ibu Vinsensia Gadis, dan Bu Neldis. Kemudian beberapa tahun berikutnya, ada guru baru yaitu Pak Jhon Samuel Ngantak. Lalu ditambah lagi guru baru Pak Abdul Hamid (beragama Islam) mengajar olahraga atau penjaskes (pendidikan jasmani dan kesehatan). Sehingga bisa dikatakan pada setiap pelajaran agama, yang saya pelajari adalah agama Katolik termasuk lagu-lagu Gereja. Suasana semacam ini semakin terasa ketika menjelang atau momentum Paskah dan Natal. 

Setalah lulus SD pada 1996, orangtua dan keluarga mendelegasi saya untuk melanjutkan pendidikan MTs dan Madrasah Aliyah (MA) di Pondok Pesantren Nurul Hakim. Walau tempat ini tergolong asing dan baru, di Pondok NH, demikian saya dan teman-teman menyebutnya, saya mendapatkan berbagai ilmu dan pengalaman dalam berbagai jenisnya. Bahkan bisa dikatakan saya mengenal dan memahami Islam sejak bergulat di Pondok Salaf sekaligus Modern ini. Saya belajar berbicara di depan orang banyak dan berorganisasi pun malah berawal di Pondok NH yang berlokasi di Kediri, Lombok Barat-NTB ini. 

Di Pondok yang didirikan oleh Bapak TGH. Abdul Karim yang juga Bapak kandung dari Bapak TGH. Sofwan Hakim (almarhum) ini saya dibimbing dan diasuh oleh Bapak TGH. Sofwan Hakim (almarhum), Bapak TGH. Muharrar Mahfudz, Bapak TGH. Muzakar Idris, Lc., M.Pd., Bapak TGH. Ahmad Mulhlis, Bapak TGH. Abdurahman, Bapak TGH. Satriawan, Lc., Bapak Ustadz Drs. Abdul Qodir Jaelani, Bapak Ustadz. H. Zulkarnaen, Bapak Ustadz Ahmad Tahuhid, Lc., Bapak Ustadz H. Fahrizal (almarhum), Bapak Ustadz Drs. H. M. Subai (almarhum), Bapak Ustadz Akmaludin, Lc. (almarhum), dan masih banyak lagi. 

Setelah lulus pada tahun 2002, saya mendapatkan amanah dari Bapak TGH. Muharrar Mahfudz dan TGH. Satriawan, Lc., MA. untuk melanjutka study atau kuliah di Ma'had Umar Bin Khothob Surabaya-Jawa Timur. Kala itu, Ma'had Umar bekerjasama dengan Universitas Muhammadiyah Sidoarjo-Kawa Timur. Setahu saya hingga kini keduanya masih bekerjasama. Kala itu saya memohon restu orangtua dan keluarga, termasuk dari kakak sepupu saya Pak Mohamad Syahakar, Pak Ahmad Jerudin dan Pak Abdul Sudin. 

Kala itu saya kuliah di Ma'had Umar ditemani oleh sahabat saya dari kampung sejak SD hingga di Pondok NH, namanya Mohamad Yasin. Ustadz Yasin, demikian akrab saya menyapanya, lalu pindah di STAI Lukmanul Hakim, Suarabaya. Pasca lulus, Ustadz Yasin mengajar di MTs Iqra, Werang (Ibukota Kecamatan Sano Nggoang) lalu pindah ke MAN 1 Labuan Bajo sekaligus menjadi Dai di Manggarai Barat-NTT. Ia pun menjadi sosok yang membanggakan dan menjadi rujukan umat Islam di kampung bahkan di Manggarai Barat.  

Bila kala itu Ustadz Yasin ke STAI Lukmanul Hakim, maka saya karena benar-benar ingin suasana baru, berpindah ke Kota Bandung-Jawa Barat. Kebetulan paman atau adik kandung Bapak saya Pak Ir. Abdullah Malik berdomisili di Kota Kembang sejak 1987 hingga kini. Selain melanjutkan Kuliah di UIN Sunan Gunung Djati Bandung sejak 2002 hingga 2010 (prodi dan kosentrasi syariah dan hukum), saya juga belajar di Pondok Pesantren Tahzibul Washiyah di Gumuruh, dekat Bandung Super Mall (BSM), dengan pengasuh dan pembimbing Ulama dan Asatidz Persatuan Islam (Persis) seperti KH. Utsman Solehudin (almarhum), KH. Uus Ruhiyat, KH. Wawan Solehudin, Ustadz H. Amin Mukhtar, Ustadz H. Ucu Najmudin, M.Pd. dan sebagainya.  

Selain itu, saya juga belajar dan mengaji di Pondok Pesantren Manhaju Thulab di Cibiru, Kota Bandung. Termasuk di Masjid Mujahidin, markas Muhammadiyah Jawa Barat. Di sini saya dibimbing dan diasuh oleh Ulama dan Asatidz Muhammadiyah seperti Prof. Dr. H. Dadang Kahmad, MA., Dr. H. Ayat Dimiyati, M.Ag., Prof. Dr. KH. Syarifudin, M.Ag. Di samping beberapa profesor yang kala itu memang rerata berlatar belakang Muhammadiyah. Baik yang menjadi Dosen di UIN Sunan Gunung Djati maupun di perguruan tinggi lainnya di Kota Bandung. 

Pada saat yang sama saya juga pernah ikut belajar di Pondok Pesantren Al-Ihsan, yang tak jauh dari kampus UIN Sunang Djati Bandung. Di sini saya dibimbing dan diasuh oleh Ulama dan Asatidz Nahdhatul Ulama (NU) seperti Prof. KH. Rahmat Syafi'' dan sebagainya. Kemudian, saya juga belajar di Ma'had Al-Imarot, salah satu Ma'had yang berkerjasama dengan perguruan tinggi di Saudi Arabia juga Persatuan Islam atau Persis. Di sini saya bisa mengenal aktivis dan pemahaman lintas pergerakan.

Pada saat bergulat di kampus, saya ikut Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Walau tak terlalu aktif, saya kerap berdiskusi dengan para senior kala itu. Termasuk para dosen yang rerata pernah aktif di HMI. Kala itu, saya pun tertarik juga hingga aktif di Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) dari tingkat kampus hingga pusat atau nasional. Termasuk mengikuti berbagai kegiatan Himpunan Mahasiswa Persatuan Islam (Persis), Persatuan Ummat Islam (PUI), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah dan sebagainya.  

Seingat saya, tradisi baca saya terbangun pada saat saya aktif di KAMMI dan HIMA PUI, tradisi menulis saya terbangun dari dari IMM dan HIMA Persis, serta tradisi diskusi saya terbangun dari HMI dan BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa). Kang Ibe atau Kang H. Iman Budiman, M.Ag. yang kini menjadi Ketua Umum Persatuan Ummat Islam (PUI) sangat tahu  tentang saya mengenai hal ini. Selain itu, saya juga kerap mengikuti kajian Ormas Islam seperti Muhammadiyah, PUI dan Persis di beberapa tempat di Kota Bandung. Narasumbernya pun beragam latar belakang dan mumpuni. Termasuk setahun sebelum menikah saya juga nyantri di Pondok Pesantren Darut Tauhid dibawah bimbingan dan asuhan KH. Abdullah Gymnatsiar atau Aa Gym. 

Di sela-sela itu semua saya mengajar dan membangun usaha kecil-kecilan. Pernah di kampus, SMA dan SMP juga Pondok. Termasuk berdagang pakian dan buku juga berbagai majalah serta surat kabar. Di samping menjadi Editor di dua penerbitan buku yang berbeda. Lalu pada 4 Oktober 2010 saya melangsungkan akad nikah dengan gadis Sunda keturunan Jawa, namanya Uum Heroyati. Kebetulan Mertua asal Jawa Tengah dan sudah lama tinggal atau menjadi penduduk Subang-Jawa Barat. Istri saya ini dulu kuliah di IAIN Syeikh Nurjati Cirebon pada tahun 2004-2010 dan mengajar di SDIT Sabilul Huda, Kota Cirebon sejak 2008 hingga meninggal dunia. 

Dari pernikahan dengan alumni Pondok Pesantren Al-Ishlah, Jatireja, Subang-Jawa Barat ini saya dikarunia 3 orang anak yaitu Azka Syakira, Bukhari Muhtadin dan Tsamarah Walidah (almarhumah). Sejak meninggal pada Kamis 25 Oktober 2018 lalu istri saya ini secara otomatis tidak mengajar lagi. Anak ketiga saya pun meninggal pada hari Jumat 26 Oktober 2018, sehari setelah istri saya meninggal karena sakit di Rumah Sakit Gunung Djati, Kota Cirebon. Mengalami kondisi semacam ini saya dan dua anak saya yang kala itu masih 7 tahun dan 4 tahun benar-benar sedih dan kehilangan besar, namun Allah lebih mencintai keduanya dengan cara-Nya yang paling baik. 

Selain mengajar, istri saya selama hidupnya aktif di berbagai organisasi dan kegiatan. Ia juga kerap menjadi panitia beberapa kegiatan level kota dan nasional. Ia juga punya usaha kecil-kecilan, di samping aktif di dunia literasi, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Ia pun kerap menulis artikel untuk beberapa surat kabar di Cirebon seperti Radar Cirebon, Kabar Cirebon, Fajar Cirebon, Rakyat Cirebon dan sebagainya. Termasuk menulis buku bersama saya berjudul "Membangun Pendidikan dan Bangsa yang Beradab" (2006). Sedangkan buku "Literasi, Jurus Hebat Penghilang Penat" (2017) dan "Antologi Puisi Pendidikan Karakter" (2018)  merupakan bunga rampai tulisannya dengan tema-teman Guru di Kota Cirebon. 

Sementara buku yang saya tulis dengan teman-teman penulis lain yaitu "Menulis, Tradisi Intelektual Muslim" (2010), "Indahnya Persahabatan" (2010), "Optimisme Membangun Bangsa" (2015), "Atas Nama Cinta" (2017). Lalu buku yang saya tulis sendiri pada saat istri masih hidup diantaranya "The Power of Motivation" (2013), "NGOPI, Ngobrol Politik dan  Demokrasi Indonesia" (2014), "Pendidikan Mencerahkan dan Mencerdaskan" (2018), dan "Merawat Mimpi Meraih Sukses" (2018). 

Pada Kamis 25 April 2019, sekitar 6 bulan setelah istri meninggal, saya pun berikhtiar untuk menikah lagi. Kali ini saya menikah dengan gadis Cirebon asal Gebang Udik, Gebang. Namanya Eni Suhaeni. Ia merupakan alumni Pondok Pesantren al-Hikmah 2 Serampog, Bumiayu, Brebes-Jawa Tengah. Setelah itu ia melanjutkan pendidikan tinggi dan  lulus dari Institut Agama Islam Bunga Bangsa Cirebon atau IAI BBC. Selain mengajar, ia juga membangun usaha kecil-kecilan. Kebetulan saya pernah bergulat di kampus yang sama untuk melanjutkan dan mendalami ilmu pendidikan pada 2014-2019.  

Dari pernikahan saya dengannya saya dikarunia seorang anak yang akrab disapa Si Bungsu, namanya Aisyah Humaira. Ia lahir pada masa pandemi Covid-19, tepatnya pada Kamis 9 April 2020 di sebuah Rumah Bersalin di Kota Cirebon. Bersama istri yang baru ini saya menulis buku secara kolaboratif seperti "Melahirkan Generasi Unggul" (2020) dan "Pendidikan Ramadan" (2021). Termasuk menggarap beberapa naskah buku baru, di samping membangun usaha keluarga bersama anak-anak. Tentu di sela-sela mengajar di lembaga pendidikan, juga mendidik ketiga anak di rumah. 

Kemudian buku yang saya tulis secara kolaboratif yang lain seperti "Selamat Datang Di Manggarai Barat" (2019), saya tulis bersama sahabat saya yang berprofesi sebagai pengacara Bung Achyar Abdurrahman. Kemudian buku "Membaca Politik Dari Titik Nol" (2020) saya tulis bersama sahabat saya yang aktif menulis artikel di berbagai surat kabar dan buku serta pembawa acara Selamat Pagi Cirebon (SPC) di Radar Cirebon Televisi (RCTV) Mas Afif Rivai. Masih bernyawa politik, saya juga menulis buku "Politik Cinta" (2020) dengan adik sepupu saya Ahmad Hamja. 

Lalu buku bertema pendidikan yang berjudul  "Pendidikan Untuk Bangsa" (2020) saya tulis bersama istri saya Eni Suhaeni, adik ipar saya Pak Paga Santosa dan adik sepupu saya Pak Bainih Latif dengan akun facebook Baen Askari Latif. Sedangkan buku "Menjadi Pendidik Hebat" (2020) merupakan bunga rampai tulisan saya, istri saya Eni Suhaeni dan senior saya Bu Dr. Maemunah dengan akun facebook Maemunah Mahmud yang pernah dimuat di berbagai surat kabar. 

Ada pun buku "Plan Your Success" (2020), Salesman Toyota Jadi Walikota" (2020), "Lubang Politik" (2021), "Selamat Datang Di Bumi Komodo" (2021), "Beginilah Cara Menulis Buku Orang Go Blog" (2021), dan "Kalo Cinta, Nikah Aja!" (2021) saya tulis sendiri di tengah situasi negara kita Indonesia dan berbagai negara di dunia dilanda bencana non alam: Covid-19. Dan yang baru saja terbit adalah buku "Indahnya Islam Di Indonesia" (2021) saya tulis dengan Bapak TGH. Muharrar Mahfudz, Pimpinan sekaligus Lengasuh Pondok Pesantren Nurul Hakim di Kediri, Lombok Barat-NTB, juga Ketua Umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) NTB. 

Seingat saya, sudah ribuan artikel dan esaay yang sudah saya karyakan selama ini, sejak 2008 hingga kini. Beberapa makalah dan berbagai surat kabar dan media online menjadi penjaga terbaik tulisan saya dalam beragam tema selama ini. Termasuk beberapa webiste dan blog teman-teman saya di beberapa kota serta blog pribadi saya juga turut mempublikasinya. Untuk buku, seingat saya sudah ada 41 buku yang pernah saya tulis. Buku yang benar-benar ditulis sendiri ada sekitar 31 buku, sisanya merupakan karya kolaboratif. Sementara buku penulis lain dan tokoh yang saya bantu edit sudah mencapai 500-an lebih judul buku. 

Saya menekuni dunia kepenulisan, di samping mengajar dan usaha, sejak 2008 silam hingga kini. Saya sangat menyadari betapa susahnya hidup sebagai anak seorang petani yang jauh dari kondisi ekonomi yang layak. Bayangkan saja, hingga kini kampung saya belum tersentuh air PDAM, belum tersentuh listrik PLN dan belum tersentuh jalan raya beraspal. Saya pun mesti memaksa diri untuk merubah diri, sehingga kelak berdampak atau bermanfaat baik, minimal bagi diri, keluarga dan bagi kampung halaman. Baik dengan pendidikan yang saya tempuh maupun dengan karya juga pengalaman yang saya miliki. 

Hari ini Ahad 8 Agustus 2021 dalam hitungan kalender Masehi usia saya genap 38 tahun. Pada momentum ini, selain bersyukur kepada Allah atas berbagai nikmat-Nya selama ini. Selain itu, saya juga perlu membangun kesadaran diri untuk berkontribusi lebih besar bagi perubahan dan kemajuan khususnya kampung halaman saya Cereng juga Manggarai Barat, serta Indonesia tercinta. Kali ini saya mesti menyemangati diri saya dan keluarga juga siapapun di luar sana untuk terus berkarya dan berbenah diri, sehingga bisa melakukan dan berkontribusi lebih baik.   

Terima kasih banyak saya sampaikan kepada orangtua, mertua, istri, anak, saudara dan keluarga serta sahabat di seluruh Indonesia yang telah dan selalu mendoakan, mendukung dan memotivasi saya selama ini. Begitu juga kepada para guru, dosen, senior dan tetangga dan siapapun yang melakoni hal serupa yang tak mampu saya membalasnya. Termasuk kepada kakak ipar saya Bang Ahmad Ahmad Harson, kakak sepupu saya Bang Muharsa, adik-adik sepupu saya Din Salahudin,  Ahmad Safri, Walimin Cereng, Syafjc, Husni Yasin Cereng, Junaidi Yusup, Dahlia Ishaka Dinpole, dan sebagainya, keponakan saya Andri Ilham, Oktafia Safitrah, Muhammad Fadly, Mat Rahmat, dan sebagainya. Saya tidak mampu membalasnya, karena itu saya berupaya dan berdoa semoga Allah membalas seluruh jasa baiknya dengan balasan terbaik.  

Terima kasih banyak juga kepada Radar Cirebon Group (RCTV, Radar Cirebon dan Rakyat Cirebon), terutama pada Pak Yanto S. Utomo dengan akun facebook Mas Yanto (CEO Radar Cirebon Group), Bang Rsd Aja (Rusdi), Bang Khairul Anwar, Bang Dedi Budi Dermawan, Bang Imam Bukhori, Mas Yuda Sanjaya, Mas Afif Rivai, kemudian keluarga besar Kabar Cirebon, Fajar Cirebon terutama Mba Dea Angkasa (Direktur HU Fajar Cirebon), fajarsatu.com (Bang Irwan Gunawan), Gelemaca Radar (Bang Deny Rochman) keluarga besar RRI serta para pembaca di Cirebon dan di seluruh Indonesia yang telah membantu dan mempublikasi tulisan juga ide serta suara hati saya selama ini, termasuk membaca dan menelisiknya secara seksama. Semoga Allah membalas dengan balasan terbaik! 

Terima kasih banyak juga kepada beberapa kolega di beberapa negara seperti Malaysia, Singapura, Brunei Darusalam, Turki, Saudi Arabia, Mesir, Qatar, Sudan, Rusia, Jepang, Hongkong, Inggris, Amerika Serikat dan negara lainnya yang telah menikmati buku dan tulisan saya lainnya selama ini. Baik secara terbuka maupun secara diam-diam, bagi saya, semuanya adalah orang-orang yang berjasa besar dan saya upayakan untuk tak dilupakan. Insyaa Allah Allah pasti membalas dengan balasan terbaik.

Mudah-mudahan di sisa umur ini saya semakin membenah diri sehingga semakin bisa berkontribusi lebih baik lagi bagi kemajuan diri, keluarga, umat, bangsa dan kemanusiaan. Tentu saja harapannya, karya tulis seperti artikel, essay dan buku-buku berikutnya ke depan jauh lebih baik dan berkualitas dari apa yang saya hadirkan selama ini. Semoga setiap kata dan karya yang dihadirkan bermanfaat bagi diri, keluarga, agama, bangsa dan kemanusiaan. Lalu kelak menjadi amal jariyah yang mengabadi di dunia hingga di akhirat kelak, sehingga usia 38 tahun ini benar-benar momentum titik maju yang menggembirakan bagi diri, keluarga dan banyak orang! (*)


* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku "Kalo Cinta, Nikah Aja!" dan "Indahnya Islam Di Indonesia" 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok