Jangan Remehkan Buku!


JUDUL tersebut mungkin belum menarik dan terkesan emosional. Tapi di situlah substansinya tulisan ini, pada judulnya. Apakah pembaca suka atau tidak, bagi saya itu urusan masing-masing orang. Bahkan bila memungkinkan, kalau tulisan ini dianggap perlu dikoreksi atau mungkin digugat, saya menyarankan agar dilakukan dengan cara menulis atau menghadirkan tulisan baru. Sehingga kita terbiasa untuk merespon sesuatu secara intelektual dan lebih berbeda. 

Siapapun mengakui bahwa menulis apapun pasti butuh banyak hal. Bahkan bila sekadar menulis di status media sosial atau catatan lainnya. Apalah lagi menulis artikel dan buku pasti butuh tenaga, waktu dan pikiran juga konsentrasi yang luar biasa. Lelah, letih dan sedih itu sudah pasti. Mengurangi waktu istirahat itu merupakan rutinitas yang engga bisa dimanipulasi lagi. Bahkan sehari hanya bisa tidur dua atau tiga jam saja. Ini pengalaman saya dan teman-teman atau para senior yang kerap saya tongkrongi saat mereka menulis. 

Apalah lagi bila nanti sudah menjadi naskah tulisan, itu butuh banyak hal yang tidak bisa dianggap remeh. Kalau mengedit artikel mungkin hanya puluhan menit hingga sejam lebih. Tapi kalau mengedit buku, itu butuh waktu banyak dan panjang. Satu naskah sekitar 150-200 halaman bisa menghabiskan waktu sekitar 3-10 hari, dan itu full. Istirahat hanya saat shalat, mandi dan tidur. Makan dan minum dilakukan sambil membaca naskah. Bagaimana kalau naskahnya setebal 300-450 halaman, tentu pengorbanannya lebih dari itu. 

Saya pun benar-benar merasakan betapa menulis itu bukan pekerjaan ringan. Tidak bisa dianggap remeh walau mungkin sebagian orang menganggapnya mudah. Bagi saya menulis itu sulit dan pekerjaan berat. Bukan fisik saja yang lelah tapi juga batin. Sebab pada saat menulis bukan otak saja yang terlibat berinteraksi tapi juga hati atau jiwa. Menulis itu pun punya koneksi dengan berbagai hal: pengetahuan, wawasan dan nalar serta nurani. Bila lemah pada sisi ini maka tulisan dan hasil editan bakal hambar dan tak memiliki getaran.  

Ya, apalagi bila nanti naskah sudah selesai disusun, selanjutnya dilakukan pengeditan. Ini aktivitas yang benar-benar perlu kesungguhan, kesabaran dan konsentrasi tingkat tinggi. Sebab yang diedit bukan saja diksi, typo, dan susunan kalimat, tapi juga konten dan substansi tulisan atau naskah. Termasuk konsistensi ide dan kesesuaian antar sub judul dengan judul yang lain, juga menjadi perhatian. Pada kondisi ini, tenaga dan waktu yang cukup merupakan modal yang wajib dijaga pemanfaatannya. 

Saya pun semakin merasakan betapa menulis naskah, mengedit  naskah, melayout naskah, mendesain cover dan mencetak buku itu ada dan butuh biaya. Sekadar contoh, makan dan minum yang berkualitas dan mesti cukup. Kalau sekadarnya saja, itu bakal membuat ngantuk dan konsentrasi menjadi buyar bahkan menghilang begitu saja. Termasuk sumber bacaan penunjang seperti buku dan sebagainya. Di sini butuh biaya alias uang yang tak sedikit. Saya mesti membeli bukunya, lalu dibaca hingga tuntas. 

Oleh sebab itu, dalam banyak kesempatan beberapa teman menasehati saya, "Jangan keseringan membagi buku secara gratis, nanti orang bakal meremehkan karya tulis. Apalah lagi mereka malas baca, haram hukumnya dihadiahi buku. Mendingan diberikan kepada mereka yang suka membaca. Dan biasanya orang yang suka membaca pasti suka membeli buku. Mereka malu mendapatkan buku gratis. Mereka berani membeli buku, walaupun sekadar untuk mengganti biaya cetak buku!" 

Sebagai pemula dalam dunia kepenulisan saya terus belajar, termasuk mendengar nasehat para senior dan pembaca bahkan penulis lain yang sudah ke mana-mana sekaligus memiliki pengalaman dan wawasan yang luas. Konsen saya memang bukan sekadar menulis artikel dan buku, atau sekadar tulisan lepas untuk dipublikasi di beberapa blog saya, namun bagi saya menulis adalah aktivitas yang menantang dan layak saya geluti secara serius. 

Sebagai penunjang dan penyemangat, biasanya saya selalu mencari buku baru atau buku lama yang pembahasannya menarik dan menantang untuk dibaca sebagai modal dalam menulis dan mengedit naskah buku. Dalam banyak kesempatan saya biasanya langsung berkomunikasi dengan penulisnya. Bukan untuk meminta buku secara gratis, tapi untuk membelinya dengan sejumlah uang. Saya tidak terbiasa meminta buku, apalah lagi meminta buku pada penulisnya, saya belum pernah melakukan itu. Saya selalu berupaya untuk membeli bukunya. Walau kadang mesti dengan tidak makan seharian. 

Selain membeli bukunya, saya juga berupaya untuk membaca bukunya. Dengan membeli bukunya saya jadi merasa terdorong untuk membacanya. Bukan saja membaca tapi juga saya tergerak untuk membacanya hingga tuntas. Sesederhana apapun buku itu adalah karya literasi. Sebab bisa jadi buku sederhana sekalipun dengan tema atau judul yang serupa belum mampu saya lakukan, padahal peluang dan potensi saya sangat memungkinkan untuk itu. Karena itu, saya sendiri kerap membeli buku tapi selalu berupaya untuk membacanya dengan tuntas. 

Bagi saya, membeli buku dan tidak meminta buku secara gratis adalah cara sederhana menghargai karya literasi atau produk tradisi menulis. Saya tidak ingin meremehkan buku atau penulisnya dengan mengemis karyanya tanpa sedikitpun rasa malu. Saya mesti mengurangi jatah makan biar bisa membeli buku. Apalah lagi buku itu ditulis oleh orang yang saya kenal, saya pasti membelinya. Saya juga tidak membiarkan buku dibeli lalu dibiarkan begitu saja. Sebab membiarkan begitu saja buku yang dibeli adalah salah satu bentuk tindakan meremehkan buku juga penulisnya. Ya, bila ada buku baru atau buku lama yang perlu saya baca, saya selalu membelinya dengan tetap terngiang dengan ungkapan ini: jangan remehkan buku! (*)


* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku "Kalo Cinta, Nikah Aja!" dan PB IKAPPNH Bidang Pendidikan dan Dakwah 

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah