Jangan Salahkan Cinta!


BERAKHIR pekan kali ini agak berbeda. Saya bersama istri yang biasanya jalan-jalan ke tempat ramai, kali ini memilih berbincang santai di rumah sembari mengikuti acara webinar Rangkul Keluarga Kita Sesi Rangkul Online dengan tema "Jangan Salahkan Cinta!". Ya, hari ini Ahad 12 Juni 2022 saya memilih untuk mengikuti acara yang sangat inspiratif ini. Bagi saya, walau melalui Zoom Meeting namun acara ini sangat menarik dan layak saya ikuti. 

Saya termasuk peserta yang terlambat mengikuti acara yang diikuti oleh belasan peserta ini. Walau demikian, saya mendapat pelajaran berharga, terutama perihal bagaimana seharusnya seorang Ayah menjalankan perannya sebagai orangtua. Pada sesi ini selain mendengar cerita dan pengalaman fasilitator dan peserta yang lain, saya juga mendapat kesempatan untuk berbagi pengalaman tentang apa yang saya lakukan pada pendidikan keluarga kecil saya selama ini, terutama yang berkaitan dengan aturan dan kedisiplinan pada anak. 

Pada kehidupan sehari-hari dalam kehidupan keluarga biasanya ada kesepakatan tertentu dengan segala konsekwensinya. Walau demikian, yang kerap terjadi biasanya malah didominasi oleh hukuman. Padahal mestinya yang perlu dioptimalkan adalah konsekwensinya. Ya, saya termasuk yang kerap menjadikan hukuman sebagai jalan tuk menyadarkan anak dari kesepakatan tuk mentaati aturan. Misal, jam 4 mesti sudah bangun dan tak boleh tidur lagi. Sebab kesepakatannya begitu. 

Bahkan setelahnya harus baca buku dan mengaji juga berdoa. Setelah itu sarapan pagi dan persiapan berangkat sekolah. Konsekwensi yang disepakati, bila tidur lagi dan tidak menjalankan kesepakatan maka ke sekolahnya berangkat sendiri atau tidak diantar. Nah, kalau anak melanggar biasanya, saya malah menambah konsekwensi di luar kesepakatan, seperti cubit. Intinya, yang saya lakukan malah hukuman bukan menegakkan konsekwensi yang sudah disepakati bersama anak. Dan berbagai aturan lainnya. 

Pada dasarnya setiap anak memiliki martabat dan harga diri. Sehingga konsekwensi yang ditentukan mesti ditegakkan dengan cara yang patut, bukan malah memberi hukuman. Artinya, tidak boleh merendahkan martabat dan harga diri anak. Konsekwensi yang disepakati mesti sesuai dengan jenis kesalahannya, sesuai dengan usia dan akal anak, dan tentu saja dengan tetap menjaga martabat dan harga diri anak. Berikutnya, yang tak kalah pentingnya adalah memastikan konsekwensi yang disepakati berlaku untuk semua. Bukan berlaku hanya untuk anak. 

Sesuatu yang semakin saya tekuni beberapa waktu terakhir adalah menyadari bahwa aturan itu ditegakkan untuk semua. Bukan sekadar untuk anak tapi juga orangtua, terutama saya sebagai Ayah bagi anak-anak saya. Saya pun mulai memberi anak pemahaman tentang konsekwensinya, dengan misalnya ke sekolah tidak diantar tapi jalan sendiri. Secara pelan-pelan belakangan tidak pakai cubit lagi. Alhamdulillah anak-anak pun semakin tersadarkan betapa perlunya aturan dan konsekwen pada aturan tersebut. Ini sebuah pengalaman reflektif yang bergizi, sehingga tidak terus-terusan menyalahkan anak atau jangan salah cinta! 

Belakangan, saya semakin tersadarkan bahwa dalam konteks tertentu pola frame "konsekwensi" atau konsep "sebab-akibat" itu lebih menyentuh dan menyadarkan anak. Kalau hukuman, biasanya anak sudah "membrontak" atau "melawan" duluan. Memastikan anak bahwa konsekwensi yang disepakati dalam aturan itu berdampak baik dan positif adalah salah satu tugas penting orangtua pada anak-anaknya. Sehingga anak-anak mendapatkan pendidikan dan pendewasaan. Itu yang saya petik dari pengalaman sederhana saya selama ini.

Ya, kalau bingkainya "konsekwensi" ternyata anak semakin dewasa, baik sikap maupun pikirannya. Awalnya memang berat, namun ujungnya ringan dan menyenangkan. Bahkan kadang bikin emosi, sebab anak tak selalu paham apa yang saya mau dan maksudkan.  Sebab sikap egois sebagai seorang Ayah kadang masih saja muncul. Dan ternyata itu malah membuat anak kurang nyaman. Akhirnya, saya merubah haluan atau pola. Dan anak-anak pun merasa lebih nyaman. Sekarang mereka pun semakin dewasa. Saya pun malah menjadi "murid" bagi anak-anak saya. Pada kesungguhan mereka untuk belajar dan taat. Itulah yang membuat saya semakin tersadarkan dan selalu terngiang dengan ungkapan sederhana sesuai tema webinar kali ini: Jangan Salahkan Cinta! (*)


* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku "Melahirkan Generasi Unggul" 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok