Mampukah Aku Mencintai Tanpa Syarat?


SEPERTI biasa tiap akhir pekan saya dan keluarga selalu berupaya untuk berkunjung ke tempat keramaian. Ya, hari ini Ahad 26 Juni 2022, saya dan istri saya Eni Suhaeni serta ketiga anak kami: Azka Syakira, Bukhari Muhtadin dan Aisyah Humaira berkunjung ke sekitaran Kompleks Bima, di Kota Cirebon-Jawa Barat. Tempat ini merupakan salah satu tempat favorit warga Kota Cirebon dan sekitarnya. Di sini terdapat lapangan sepak bola yang di sekitarannya menjadi salah satu tempat olahraga masal bagi warga, bahkan menjadi tempat berjualan bagi ratusan pedagang dan tempat berpapasan ribuan warga. 

Di sela-sela jalan santai di kompleks ini, sembari makan bakso, saya memilih untuk mengikuti sebuah acara yang rutin saya ikuti sejak beberapa bulan lalu. Yaitu Webinar atau Sesi Rangkul Online "Ini Keluarga Kita" yang mengangkat tema "Cintaku Tanpa Syarat". Pada bagian awal acara ini para peserta dimanjakan dengan video singkat seputar tips menjadi orangtua yang mampu menjadi teman bagi anak. Pada saat yang sama para peserta juga diminta untuk berbagi pengalaman bagaimana menjadi orangtua yang bukan saja pandai mengkritik atau mengevaluasi anak tapi juga mampu mengapresiasi anak atas kelebihan dan kekurangannya.

Menjadi orangtua yang membanggakan dan menyenangkan bagi anak memang butuh proses yang panjang. Untuk menggapai hasil yang optimal, maka paling tidak ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, Pertama, memiliki impian dan rencana terbaik. Keluarga yang baik adalah keluarga yang memiliki visi-misi, kegiatan atau program positif dan lingkungan yang mendukung terbentuknya keluarga yang diidamkan. Penanggungjawabnya adalah kedua orangtua atau seorang Ayah dan Bunda. Supaya terwujud dan terlaksana dengan baik maka impian dan rencana baik mesti tertulis dan bisa dievaluasi dengan tertib. 

Kedua, tidak takut salah. Mendidik anak adalah membentuk jiwa sekaligus mental manusia. Pada saat yang sama juga membentuk cara pandang dan mengisi pengetahuan anak dengan hal-hal yang positif atau baik bagi diri juga masa depannya. Pada saat menjalankan peran semacam ini biasanya orangtua kerap melakukan kesalahan yang disengaja, sehingga anak bukan mendapatkan pendidikan malah mendapatkan pelajaran yang tak perlu. Walau begitu, orangtua mesti terus belajar. Orangtua tak boleh takut salah, tentu dengan catatan tetap mengikuti aturan dan memastikan anak senang untuk mendapatkan pendidikan dari orangtuanya. 

Ketiga, berani meminta maaf. Hampir semua orangtua pernah mengalami ini: selalu merasa benar dalam mendidik dan memberi contoh pada anak. Padahal apa yang dilakukan belum tentu benar. Bila pun isinya benar, namun caranya belum tepat. Sehingga kadang penerimaan anak malah jauh dari yang diharapkan. Pada kondisi demikian mestinya orangtua berani mengaku bersalah dan minta maaf. Orangtua jangan mudah "menyogok" anak dengan hadiah tertentu demi menutupi kesalahan dalam mendidik anak. Sebab satu sikap yang lebih bermartabat dan mendidik adalah meminta maaf pada anak. 

Keempat, berupaya untuk memperbaiki kesalahan. Mendidik anak adalah pekerjaan berat dan butuh proses yang tak sebentar. Orangtua biasanya egois untuk sekadar mengakui kesalahan dirinya, sehingga anak selalu menjadi objek aturan atau perintah orangtua. Naifnya, segala kesalahan diri malah menjadi kesalahan anak. Namun demikian tak ada kata terlambat untuk perbaikan diri. Menjadi orangtua yang mampu memberi cinta secara tulus atau tanpa syarat sangat mungkin digapai. Kuncinya adalah mau dan mampu memperbaiki berbagai kesalahan yang mungkin pernah dilakukan. 

Kelima, menerima kekalahan. Orangtua tentu sangat bangga bila anaknya berprestasi. Orangtua juga sangat ingin anaknya bisa belajar dan mengikuti berbagai kegiatan positif yang menunjang proses pembelajaran anak, baik pada saat di sekolah maupun ketika di rumah. Ekspetasi orangtua pada anak pun kerap melampaui kemampuan anak. Pada kondisi tertentu orangtua juga kerap menyamakan pengalaman dirinya dengan kondisi anaknya. Padahal setiap pengalaman memiliki latarnya masing-masing. Orangtua mesti dewasa atau berani menerima keterbatasan bahkan kekalahan anaknya dalam berprestasi.

Menjadi orangtua hebat memang butuh proses dan mesti terus belajar. Pertanyaan "Mampukah Aku Mencintai Tanpa Syarat?" akan terjawab dengan baik bila kita sebagai orangtua selalu berupaya untuk belajar. Beberapa hal yang saya sebutkan di atas sejatinya hanya sebagian langkah yang bisa ditempuh, bukan saja agar mampu menjalankan peran sebagai orangtua tapi juga bila kita hendak mewujudkan keluarga yang harmoni, menyenangkan dan berprestasi. Pada dasarnya semuanya bisa menggapai kondisi yang ideal, hanya saja butuh proses dan bersabar dalam menjalankannya. Semoga ke depan cinta kita pada keluarga terutama anak tak bersyarat lagi! (*)


* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku dan Blogger 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok