Publish or Perish!
Penulis pada umumnya terbiasa untuk mengendapkan sumber tulisannya beberapa waktu. Ia selalu berkomitmen untuk memperkaya gagasannya dari berbagai sumber, sehingga ia pun berupaya untuk membaca dan membaca, di samping terus menulis sebagai proses belajar. Bila ia menulis, ia berusaha untuk membaca lalu menulis. Bila menulis, ia berupaya untuk membacanya. Setiap tulisan selesai ia berupaya untuk meninjau kembali tulisannya (revisioning), sehingga tulisannya layak dipublikasi atau terbit menjadi karya tulis yang terbaca oleh pembaca.
Penulis juga biasanya mampu menentukan fokus dan prioritasnya, fiksi atau non fiksi. Ia tahu apa saja target atau sasaran dari tulisannya, apa manfaat yang pembaca peroleh dari tulisannya. Apapun itu, intinya penulis selalu belajar untuk berani memulai dan terus melanjutkan apa yang sudah dimulai. Dengan menulis ia berupaya memberanikan diri untuk membagi pengalaman kepada siapa saja, di mana dan kapan saja melalui karya tulis.
Seorang penulis juga mesti memiliki modal, diantaranya, (1) Memiliki impian, kemauan, tekad, niat baik, keberanian memulai, disiplin, (2) Memahami kemampuan diri, minat, bakat dan cita-cita luhur, (3) Kuasai hati, pikiran, kebiasaan dan lingkungan dengan banyak belajar, (4) Biasa membaca, menulis dan berdiskusi, (5) Memiliki website, blog, twitter, facebook, e-mail, dan instagram, (6) Siap menghargai dan membaca karya sendiri dan karya orang lain, (7) Aktif di komunitas kepenulisan, dan (8) Pandai berdoa, tawakal dan bersyukur atas upaya atau ikhtiarnya dalam menghasilkan karya tulis.
Penulis akan berupaya agar tulisannya terpublikasi (publish), sehingga tulisannya tidak perish atau kehilangan jejak. Secara tegas ia memilih untuk publish bukan perish. Intinya sederhana tapi tegas: terbitkan gagasan kita, atau kita lenyap begitu saja. Maka, menulis (buku, novel, artikel, essay, puisi, cerpen dan serupanya), misalnya, memiliki nilai eksestensial tersendiri, yang membuat penulisnya merasa lebih hidup bermakna atau bermakna dalam hidupnya.
Karena menulis dapat memberi efek semacam itu, maka menulis menjadi sebuah agenda prioritas. Itulah yang kita perlu tanamkan dalam hati dan pikiran kita ketika menyebut dan menempatkan aktivitas menulis sebagai passion kita. Gairah atau semangat kita dalam menulis akan menuntun kita pada situasi yang berdarah-darah, yaitu bahwa kita harus berusaha ekstra keras demi menulis hingga menerbitkan karya tulis kita apapun bentuk atau jenisnya : buku, novel, artikel, essay, puisi, cerpen dan serupanya.
Zadie Smith, seorang novelis Inggris, pernah ditanya tentang seberapa jauh passion menulis itu telah mengubah hidupnya secara masif dan berpengaruh besar untuk waktu jangka panjang. Ia mengatakan, “Menulis mengajak ia untuk undur diri ke dalam kesedihan mendalam yang lahir dari keadaan tak terpuaskan.” Ia menambahkan, “99 persen bakat, 99 persen kedisiplinan, dan 99 persen kerja keras! Ia tidak boleh berpuas diri terhadap apa yang ia capai.” Sebuah ikhtiar yang seimbang. Terutama bila kita sadar, bahwa taruhannya besar: menulis, atau lenyap tak terkenang!
Passion akan mengajak kita berjalan jauh, sangat jauh. Tapi biar bagaimana pun, kita akan sangat puas. Teruslah menulis, dan jangan menanti tulisan kita seideal yang kita mau, atau seideal yang pembaca mau. Sebab, kelamaan menanti yang ideal justru membuat kita tidak segera menulis alias mengurungkan niat kita untuk menulis. Jangan pernah takut karena tulisan kita tidak dibaca pembaca, sebab setiap kata memiliki takdir sejarah dan pembacanya masing-masing.
Seorang novelis dan penulis skenario terkenal AS, Stepen King pernah mengatakan, “Seorang penulis yang menunggu kondisi ideal untuk mengerjakan tulisannya, akan mati tanpa menuangkan satu huruf pun.” Menurut penulis puluhan novel, puluhan buku kumpulan cerpen dan komik ini, “Kalau ada yang disebut bakat, itu adalah sebuah ketekunan yang membuat orang mau duduk berlama-lama di depan mesin tik dan menuangkan ceritanya, tak peduli itu bagus atau tidak.”
King memang tidak secara otomatis menghasilkan karya yang spektakuler. Sebelum novel pertamanya berhasil terbit (Carrie, novel pertamanya, terbit 5 April 1974), ia mengalami penolakan puluhan kali dari bermacam-macam agen dan penerbit. Namun ia tak patah semangat. Semua surat penolakan itu ia simpan baik-baik. Bahkan setiap surat yang ia dapatkan itu, ia tempelkan di tembok dalam rumahnya, sehingga ia dengan mudah melihat kembali, dan berusaha untuk memperbaiki sekuat tenaga.
Lagi-lagi itulah passion. Passion-nya untuk menulis telah menghasilkan sebuah kedisiplinan yang tiada tara. Ia mengalokasikan waktu yang sangat banyak setiap harinya untuk menulis. Dan, ketika King menulis, ia akan masuk kamar, mengunci dirinya, dan mengusahakan kamarnya steril dari aneka gangguan. Di dalam, ia tidak akan bersantai atau menunggu inspirasi menulis. Yang ia lakukan adalah menulis apa yang terlintas di pikirannya, apapun itu. Ada sebuah ungkapan King yang layak kita baca dan renungi secara mendalam, kata King, “Jika selama sepekan tidak ada satu buku pun yang kamu baca, dan tak ada satu pun tulisan yang kamu buat, maka lupakan cita-cita kamu untuk menulis!”
Richard St. Cross, dalam bukunya 8 To Be Great, mengatakan, “Orang yang didorong oleh passion akan mau melakukan hal yang ia sukai itu, bahkan mesti ia tidak menerima bayaran sepeser pun.” Jika menulis adalah passion kita, sungguh dia akan mengubah habis-habisan gaya hidup kita. Dari orang yang kerap melewati waktu tanpa aktivitas, menjadi orang yang selalu mengisi waktu dengan hal-hal yang bermanfaat, termasuk dengan menulis. Ingat, menulis memang bukan bakat bawaan sejak lahir, namun kita semua memiliki peluang untuk menulis bahkan menjadi penulis. Sebab menulis adalah aktivitas yang dapat ditekuni.
Kunci sekaligus modalnya, diantaranya, (1) berani dan banyak membaca, (2) berani dan banyak menulis, dan (3) berani dan banyak mempublikasi. Lakukan itu semua meskipun kita tak dibayar, lakukan itu walaupun kita dihina atau dicela oleh banyak orang. Hinaan dan celaan tidak akan membuat kita berhenti menulis atau menghasilkan karya.
Akhirnya, pilihan ada pada diri kita masing-masing, “Publish” or “Perish”. Pilihannya tegas: kita memilih “Publish”. Entah apakah kelak dikenang sebagai penulis atau tidak, itu tidak penting. Sekali lagi, itu tidak penting. Sebab yang penting kita telah melakukan apa yang kita mau dan suka: menulis dan menulis. Mudah-mudahan ada pembaca yang terprovokasi! (*)
* Oleh: Syamsudin Kadir, Owner Cereng Menulis dan Penulis Buku “Aku, Dia & Cinta”
Komentar
Posting Komentar