Bahaya Virus Pujian


DUNIA literasi akhir-akhir ini semakin menggeliat. Literasi tentu bukan sekadar tentang baca-tulis. Sebab ada banyak varian literasi. Termasuk literasi media, literasi informasi, literasi pendidikan, literasi bisnis dan sebagainya. Namun literasi dalam dunia kepenulisan cukup mendapat respon yang lebih beragam dan positif dari berbagai kalangan. Bukan saja kalangan tua tapi juga kalangan muda atau millenial, termasuk anak-anak. 

Tak heran bila sebagian kalangan turut aktif pada dunia yang dulunya kerap ditepikan alias tak dianggap ini. Kini hampir semua orang terlibat dalam dunia literasi. Terutama kaum millenial dan anak-anak. Minimal berbagai jenis tulisan berkategori pendek dan sederhana melalui akun media sosial yang mereka punya, dengan dan dalam bentuk karya tulis. 

Misalnya, status akun Facebook, WhatsApp, Instagram, Twitter, Line, Tiktok dan sebagainya. Di samping itu, tak sedikit juga yang punya buku karya sendiri, dalam bentuk novel, antologi cerita pendek, kumpulan opini, gabungan kisah inspiratif dan sebagainya. 

Salah satu yang kerap menimpa mereka yang memiliki karya tulis adalah pujian. Pujian biasanya hadir karena karya tulis yang dihadirkan sesuai dengan selera pembaca. Atau sebuah karya berkaitan dengan perjalanan hidup pembaca. Bahkan bisa juga karena tulisan berisi pembelaan terhadap profesi pembaca. Dan masih banyak lagi. 

Pujian karena ketenaran dan popularitas sebagai dampak sebuah karya tulis memang menggiurkan dan bikin gede rasa. Tapi perlu diingat bahwa itu adalah ujian terberat bagi siapapun yang terjun di dunia literasi. Terutama apabila produknya berupa karya tulis, pujian bakal menjadi ujian yang sangat berat baginya. 

Memang ada saja perasaan senang dipuji dengan berbagai macam pujian. Secara sepintas, mungkin itu dianggap manusiawi. Tapi pada hakikatnya perasaan senang dipuji adalah virus berbahaya yang akan merusak niat, orientasi dan tujuan menulis itu sendiri. Dampak laten virus ini biasanya, sang penulis bakal lebih fokus pada pujian tapi lupa menghadirkan karya tulis yang bermutu. Bahkan, ini yang fatal enggan dan tidak menulis lagi. 

Atau bila pun menulis hingga punya karya tulis yang terbaca atau dibaca oleh banyak pembaca, yang ditunggu bukan manfaat sebuah tulisan, tapi pujian pembaca. Bila tak ada pujian dari pembaca, lalu merasa ada yang tak beres pada pembaca. Padahal dengan tidak memuji sang penulis, itu berarti pembaca sudah menjadi penolong yang luar biasa. 

Orang yang tak memuji karya tulis sejatinya sudah membantu penulis agar menjauh dari sifat riya', dan sombong. Mereka pada dasarnya orang yang paling mencintai penulis dengan caranya sendiri. Walaupun ada pujian yang membuat semangat menulis semakin menggeliat, namun itu lebih baik dihindari, agar kelak tak menyesal dan tak mengalami kegelisahan jangka panjang. 

Diriwayatkan dari sahabat Abu Bakr ra, beliau berkata, “Ada seseorang yang memuji orang lain di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Celaka kamu, kamu telah memenggal leher sahabatmu, kamu telah memenggal leher sahabatmu.” 

Kalimat ini diucapkan oleh beliau berulang kali, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Siapa saja di antara kalian yang tidak boleh tidak harus memuji saudaranya, hendaklah dia mengucapkan, “Aku mengira si fulan (itu demikian), dan Allah-lah yang lebih tahu secara pasti kenyataan sesungguhnya, dan aku tidak memberikan pujian ini secara pasti, aku mengira dia ini begini dan begitu keadaannya”, jika dia mengetahui dengan yakin tentang diri saudaranya itu (yang dipuji).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dengan kata lain, ketika kita memuji seseorang kita bisa menggunakan kalimat semacam, “Sebatas yang saya tahu … “; atau “Kalau berdasarkan lahiriyahnya, dan Allah-lah yang lebih tahu, bahwa si fulan itu orang yang baik … “; atau ungkapan-ungkapan semacam itu.

Diriwayatkan dari sahabat Abu Musa ra, beliau berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendengar seseorang memuji orang lain secara berlebihan. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Engkau membinasakan atau engkau memotong punggung kawanmu itu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Maka menulislah karena tujuan mulia, misalnya, untuk berbagi perspektif yang bermanfaat, mencerahkan dan mencerdaskan diri sendiri juga pembaca. Gantungkan semuanya karena Allah. Bukan untuk pamer, riya' dan takabur alias sombong, atau bukan untuk merendahkan atau menghinakan orang lain. 

Tak usah bingung dan bengong, teruslah menulis hingga menghasilkan karya tulis yang layak dibaca. Sebuah tulisan yang bukan saja menembus telinga pembaca tapi juga menembus hati pembaca. Fokuslah menulis, lalu tingkatkan kualitas karya. Cukup dan fokus di situ. Itulah yang jiwa pembaca tersentuh. 

Bila pun ujian itu tiba, atau bahkan sebelum ujian itu tiba, teruslah menjaga diri dengan banyak memohon kepada Allah agar mendapat bimbingan, ridho dan berkah dari-Nya. Bertaubat dan memohon ampunlah kepada-Nya serta selalu memohon agar karya tulis yang dihadirkan diberkahi sekaligus bermanfaat. 

Akhirnya, berdoalah dengan tulus, “Ya Allah, jauhi hamba dari pujian yang menyebabkan hamba jauh dari bimbingan, ridho dan cahaya-Mu. Dekatkan hamba pada bimbingan, ridho dan cahaya-Mu. Agar semua karya tulis yang hamba hadirkan benar-benar bermutu dan bermanfaat, terutama bagi diri hamba sendiri juga pembaca!” []


* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku “Ketika Allah Memilihmu” 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah