Pembelajaran Fiqih-Materi Gadai



1.1.Latar Belakang
Dalam syari’at bermuamalah, seseorang tidaklah selamanya mampu melaksanakan syari’at tersebut secara tunai dan lancar sesuai dengan syari’at yang ditentukan. Ada kalanya ketika sedang dalam perjalanan jauh seseorang kehabisan bekal, sedangkan orang tersebut tidaklah mungkin kembali ke tempat tinggalnya untuk mengambil perbekalan demi perjalanan selanjutnya.
Selain itu, keinginan manusia untuk memenuhi kebutuhannya, cenderung membuat mereka untuk saling bertransaksi walaupun dengan berbagai kendala, misalnya saja kekurangan modal, tenaga dan sebagainya. Maka dari itu, dalam Islam diberlakukan syari’at gadai.


1. 2.  Pengertian Gadai dan Hukum Gadai
1.2.1. Pengertian Gadai
Gadai (al rahn) secara bahasa dapat diartikan sebagai (al stubut, al habs) yaitu penetapan dan penahanan.
Secara istilah dapat diartikan menjadikan suatu benda berharga dalam pandangan syara’sebagai jaminan atas adanya 2 kemungkinan, untuk mengembalikan uang itu atau mengambil sebagian benda itu.[1]
Gadai adalah perjanjian (akad) pinjam meminjam dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan utang.[2]
Sehingga dapat disimpulkan gadai adalah menjadikan suatu benda itu berharga sebagai jaminan sebagai tanggungan utang berdasarkan perjanjian (akad) antara orang yang memiliki hutang dengan pihak yang memberi hutang.

1.2.2. Hukum Gadai
Perjanjian gadai dibenarkan oleh islam, berdasarkan:
a.        Al qur’an surat Al Baqoroh ayat:  283, yang artinya, “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh penggadai). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya.”[3]
b.       Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari, Nasai, dan Ibnu Majah, dari Anas r.a, yang artinya: “Rosulullah merungguhkan baju besi kepada seorang Yahudi di Madinah ketika beliau mengutangkan gandum dari seorang Yahudi”.[4]
c.        Ijma ulama atas hukum mubah (boleh) dalam perjanjian gadai. Hal ini menjadikan adanya khilafah pada beberapa ulama, diantaranya madzhab Dhahiri, Mujahid, Al Dhahak, hanya memperbolehkan gadai pada saat berpergian saja, berujuk pada surat Al Baqoroh ayat 283.
Sedangkan jumhur ulama memperbolehkan dalam bepergian atau dimana saja berdasar hadits nabi yang melakukan transaksi gadai di Madinah.
Sehingga dapat disimpulkan perjanjian gadai diperbolehkan di dalam islam berdasarkan Al qur’an surat Al Baqoroh ayat 283, hadits nabi Muhammad ShollallahuAlaihi Wassalam, dan ijma ulama.

1.3. Syarat dan Rukun Gadai
            Syarat syarat gadai:
1.      Sehat fikirannya
2.      Dewasa, baligh
3.      Barang yang digadaikan telah ada di waktu gadai
4.      Barang gadai bisa diserahkan/dipegang oleh penggadai.[5]
Adapun rukun gadai:
1.      Orang yang menggadai/orang yang menyerahkan barang jaminan(rahin)
2.      Orang yang menerima barang gadai (murtahin)
3.      Barang yang dijadikan jaminan(borg/marhun).[6]
4.      Akad (ijab dan qobul)
5.       Adanya hutang yang dimiliki oleh penggadai.[7]
Dapat disimpulkan bahwa syarat barang gadai adalah sehat fikirannya, baligh, dewasa, adanya barang gadai, dan barang gadai tersebut bisa diserahkan/dipegang  murtahin.
Rukun dari gadai adalah adanya rahin, murtahin, borg, akad dan hutang yang dimiliki.

1.4. Pemanfaatan Barang Gadai
Dalam pemanfaatan barang gadai, terdapat perbedaan pendapat dalam kalangan ulama’, diantaranya:
1.      Jumhur Fuqoha’berpendapat bahwa murtahin tidak diperbolehkan memakai barang gadai dikarenakan hal itu sama saja dengan hutang yang mengambil kemanfaatan, sehingga bila dimanfaatkan maka termasuk riba. Berdasar hadits nabi yang artinya: “setiap utang yang menarik manfaat adalah termasuk riba”(HR. Harits Bin Abi Usamah)
2.      Menurut Ulama Hanafi, boleh mempergunakan barang gadai oleh murtahin atas ijin rahin, dan itu bukan merupakan riba, karena kemanfaatannya diperoleh berdasarkan izin dari rahin.
3.      Menurut Mahmud Shaltut, menyetujui pendapat dari Imam Hanafi dengan catatan: ijin pemilik itu bukan hanya sekedar formalitas saja, melainkan benar benar tulus ikhlas dari hati saling pengertian dan saling tolong menolong.
4.      Menurut Imam Ahmad, Ishak, Al Laits Dan Al Hasan, jika barang gadaian berupa barang gadaian yang dapat dipergunakan atau binatang ternak yang dapat diambil susunya, maka murtahin dapat mengambil manfaat dari kedua benda gadai tersebut disesuaikan dengan biaya pemeliharaan yang dikeluarkan selama kendaraan atau binatang ternak itu ada padanya. Sesuai dengan hadits nabi yang artinya:”binatang tunggangan boleh ditunggangi karena pembiayaannya apabila digadaikan, binatang boleh diambil susunya untuk diminum karena pembiayaannya bila digadaikan dagi orang yang memegang yang memegang dan meminumnya  wajib memberikan biaya”(HR.  Bukhari)[8]
1.5. Resiko Kerusakan Barang Gadai
1)      Menurut Ulama Hanafiyah, murtahin yang memegang marhun menanggung resiko kerusakan marhun atau kehilangan marhun bila marhun itu rusak atau hilang karena disia siakan maupun dengan sendirinya.
2)      Menurut Ulama Syafi’iyah, murtahin menanggung resiko kehilangan, attau kerusakan marhun bila marhun itu rusak atau hilang karena disia- siakan murtahin.[9]
Jadi dapat disimpulkan, dalam pemanfaatan barang gadai terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama yaitu diantara jumhur Fuqoha’, Ulama’ Hanafiyah,, dan Imam Ahmad, Ibnu Ishak, Al Laits, Ala Hasan dan Mahmud Syaltut, yaitu di antara yang memperbolehkan pemanfaatan barang gadai dengan seizin orang yang menggadaikan  dan tidak memperbolehkannya dikarenakan hal itu termasuk riba dalam hutang.

1.6. Pendekatan, Model dan Metode Pembelajaran Materi Gadai
Oman Fathuroham (2013: 38), berpandangan bahwa dalam proses pembelajaan, metode yang digunakan adalah dengan mentransfer pemikiran, yaitu kemampuan untuk menyerap fakta dengan menggunakan alat indra yang dimiliki ke dalam otak, yang kemudian oleh otak diinterpretasikan sesuai dengan informasi yang terkait, dan akhirnya bisa ditetapkan status atau fakta tersebut.[10]  
Dalam pembelajaran membutuhkan metode yang tepat, termasuk dalam pembelajaran fiqih. Kalau dikaji, dari kecocokan metode yang disampaikan, maka akan melahirkan dampak positif atau ada pengaruh langsung yang berupa[11]: informasi, pengarahan, menyalahkan atau membenarkan adalah cukup komunikatif, nampak ada partisipasi dari siswa yang berupa : mendengarkan, mengamati, menjawab, bertanya, dan mencoba. Atau dalam pembelajaran kerap disebut dengan pendekatan scientific.
Beberapa diantara metode pembelajaran berikut dapat digunakan dalam proses pembelajaran, yaitu:
1.      Metode ceramah
Sebuah metode mengajar dengan menyampaikan informasi dan pengetahuan secara lisan kepada sejumlah siswa yang pada umumnya mengikuti secara pasif.
2.      Metode Diskusi
Metode mengajar yang sangat erat hubungannya dengan memecahkan masalah (problem solving). Metode ini lazim juga disebut sebagai diskusi dan resitasi bersama.
3.      Metode Demonstrasi
Metode mengajar dengan cara memperagakan barang, kejadian, aturan, dan urutan melakukan suatu kegiatan, baik secara langsung maupun melalui penggunaan media yang relevan dengan bahasa atau materi yang sedang disajikan.
4.      Metode Resitasi
Suatu metode mengajar dimana siswa diharuskan membuat resume dengan kalimat sendiri.
5.      Metode Percobaan
Metode pemberian kesempatan kepada anak didik perorangan atau kelompok, untuk dilatih melakukan suatu proses percobaan. Metode percobaan adalah suatu metode mengajar yang menggunakan alat tertentu dan dilakukan lebih dari satu kali.
6.      Metode Karya Wisata
Suatu metode mengajar yang dirancang terlebih dahulu oleh pendidik dan diharapkan siswa membuat laporan dan diskusi bersama dengan peserta pendidik yang lain serta didampingi oleh pendidik yang kemudian dibukukan.
7.      Metode Latihan Keterampilan
Suatu metode mengajar dimana siswa diajak ketempat latihan keterampilan untuk melihat bagaimana cara membuat sesuatu, bagaimana cara menggunakannya, untuk apa dibuat, apa manfaatnya dan sebagainya.
8.      Metode Sumbang Saran
Metode yang dilakukan oleh guru untuk mengeluarkan pendapat dan saran siswa harus dapat memberikan saran tentang pelajaran tersebut.
9.      Metode Tanya Jawab
Dalam proses belajar mengajar tanya jawab dijadikan salah satu metode untuk menyampaikan  materi pembelajaran dengan cara guru bertanya kepada siswa atau siswa kepada guru.
10.  Metode Proyek
Suatu cara mengajar yang memberikan kesempatan kepada anak didik untuk menggunakan unit-unit kehidupan sehari-hari sebagai bahan pelajarannya. Bertujuan agar anak didik tertarik untuk belajar.[12]
Dalam pandangan Ahmad Fauzi (2013: 367), salah satu model desain pembelajaran yang sifatnya lebih energik yaitu model ADDIE (Analysis-Desaign-Development-Evaluate). ADDIE muncul pada tahun 1990-an yang dikembangkan oleh Reiser dan Mollenda. Salah satu fungsi ADDIE yaitu menjadi pedoman dalam membangun perangkat dan infrastruktur program pembelajaran yang efektif, dinamis dan mendukung proses pembelajaran itu sendiri.
Model ini menggunakan 5 tahap pengembangan, yaitu: analysis (analisas), desaign (disain/perancangan), development (pengembangan), implementation (implementasi/eksekusi), dan evaluate (evaluasi/umpan balik).[13]
Kalau disimpulkan, maka pendekatan, model dan metode pembelajaran di atas dapat digunakan dalam proses pembelajaran fiqih, termasuk dalam pembelajaran tentang atau materi gadai.

1.7. Kesimpulan
1.      Gadai adalah menjadikah suatu benda itu berharga sebagai jaminan sebagai tanggungan utang berdasarkan perjanjian (akad) antara orang yang memiliki hutang dengan pihak yang memberi hutang
2.      Dapat disimpulkan bawa syarat barang gadai adalah sehat fikirannya, baligh, dewasa, adanya barang gadai, dan barang gadai tersebut bisa diserahkan atau dipegang  murtahin.
3.      Rukun dari gadai adalah adanya rahin, murtahin, borg, akad dan hutang yang dimiliki.
4.      Dalam pemanfaatan barang gadai terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama yaitu diantara jumhur Fuqoha’, Ulama’ Hanafiyah, Mahmud Syaltut dan Imam Ahmad,Ibnu Ishak, Al Laits, dan Al Hasan, yaitu antara memperbolehkan pemanfaatan barang gadai dengan seizin orang yang menggadaikan  dan tidak memperbolehkannya dikarenakan hal itu termasuk riba dalam hutang.
5.      Dalam pembelajaran fiqih materi gadai memiliki pendekatan, model dan metodenya sendiri, yang semuanya ditujukan agar proses pembelajaran berjalan dengan baik, efektif dan efesien, serta tujuan pmbelajaran tercapai.
  
 1.8. Daftar Pustaka

Anwar, Moh. 1998. Fiqh Islam. Bandung. PT. Al Maarif Offset.
A.  Zainuddin S, Jamhuri. 1998. Al Islam 2, Muamalah dan Akhlak. Bandung.
CV. Pustaka Setia.
Departemen Agama RI. 2007. Al Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: CV Penerbit
Diponegoro.
Fathurohman, Oman. 2013. Micro Teaching. Cirebon: STAI Bunga Bangsa Cirebon.
Fauzi, Ahmad. 2013. Manajemen Pengembangan. Yogyakarta: Penerbit Deepublish.
Suhendi, Hendi. 2000. Fiqh Muamalah. Jakarta. PT. Grafindo Persada.
Zuhdi, Masyfuk. 1997. Masail Fiqhiyyah. Jakarta. CV. Hajimasagung.



[1]Hendi Suhendi. Fiqh Muamalah. (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2000). Hal. 105-106.
[2] Masyfuk Zuhdi. Masail Fiqhiyah. (Jakarta: CV. Haji Masagung, 1997). Hal. 122.
[3] Ibid.
[4] Opcit, hal 107.
[5] Opcit hal. 123.
[6] A. Zainuddin dan Jamhuri.  Al Islam 2, Muamalah dan Akhlak. (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998). Hal. 21.
[7] Ibid, hal 108.
[8] Moh Anwar. Fiqh Islam. (Bandung. PT. Al Ma’arif: 1998). Hal. 58.
[9] Ibid, hal 110.
[10] Oman Fathurohman. Micro Teaching. (Cirebon. STAI Bunga Bangsa Cirebon: 2013). Hal. 38.
[11] Ibid, hal 39.
[12] Ibid, hal 39-46.
[13] Ahmad Fauzi. Manajemen Pembelajaran. (Yogyakarta. Penerbit Deepublish: 2013). Hal. 368.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah