Eksistensi Pendidikan Luar Sekolah
PENDIDIKAN adalah tumpuan hidup manusia sehingga perhatian terhadap
pendidikan begitu serius dan terus berlanjut. Penyebabnya, pendidikan merupakan,
pertama, sebagai sarana untuk
memecahkan persoalan-persoalan kehidupan manusia yang tengah dihadapinya atau
diprediksi dihadapi pada masa mendatang. Kedua,
sebagai sarana untuk membangun peradaban manusia, melampaui masalah-masalah
yang dihadapinya.[1]
Pendidikan
Luar Sekolah (PLS)
merupakan salah satu jenis pendidikan
yang diselenggarakan oleh lembaga
pendidikan non formal yang bukan pendidikan formal dan informal.[2]
Secara sederhana, PLS muncul sebagai
penunjang pendidikan formal yang
sudah terselenggara, yang dirasa belum mampu secara maksimal menghasilkan
lulusan yang sesuai dengan kebutuhan ril dunia kerja dan kehidupan sosial
masyarakat selama ini. Dalam UU
Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), Pasal 26 ayat (1)
dijelaskan bahwa “Pendidikan
non formal diselenggarakan bagi warga
masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan
yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan
formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat.”
Pada ayat (2) dijelaskan, “Pendidikan non formal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik
dengan penekanan pada penguasaan
pengetahuan dan keterampilan
fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian
profesional.”[3] Sementara di ayat (3),
disebutkan bahwa,
“Pendidikan
non formal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia
dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan
keaksaraan, pendidikan
keterampilan dan pelatihan kerja,
pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan
untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.”[4] Lalu ayat (4) menjelaskan
bahwa, “Pelaksanaan satuan pendidikan non formal terdiri atas lembaga kursus,
lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat
kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang
sejenis.”[5]
Pendidikan Non Formal (PNF) merupakan proses
penyelenggarakan pendidikan yang menunjang pengembangan diri peserta didik
dalam berbagai hal seperti pengetahuan, kecakapan, keterampilan, dan
sebagainya. Dalam pasal 26 ayat (5),
dijelaskan bahwa,
“Kursus
dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal
pengetahuan, keterampilan,
kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau
melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.”[6] Sementara untuk hasil
pendidikan non formal dapat
dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan
oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah
Daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.[7]
PLS sendiri muncul karena beberapa alasan, diantaranya, pertama, dari
fakta sejarah. (1) Sejarah perolehan pendidikan. Pendidikan
yang diperoleh sebelum anak menjadi siswa di sekolah formal adalah ketika anak berada dalam keluarga terutama kedua orangtuanya. Di dalam keluargalah
anak pertama-tama menerima pendidikan. Pendidikan
yang diperoleh dalam keluarga ini merupakan pendidikan yang terpenting terhadap
perkembangan pribadi anak. (2)
Kebutuhan pendidikan. Semakin dibutuhkannya berbagai
macam keahlian dalam menyongsong kehidupan yang semakin kompleks dan penuh
tuntutan, maka wajar masyarakat menghendaki berbagai penyelenggaraan pendidikan
dengan program-program keahlian. Maka terbentuklah sistem pendidikan sekolah
dan sistem pendidikan luar sekolah
dengan kategori formal, informal dan non formal. (3) Keterbatasan sistem
persekolahan. Sistem persekolahan, mengharuskan siswa
berada dalam bentuk menyeluruh dan keahlian yang sejenis sehingga mereka
terasing dari pengetahuan dan keahlian lain. Kekurangan dan kelemahan sistem persekolahan inilah
yang memungkinkan kegiatan PLS
menerobosnya dan muncul sebagai
alternatif. (4) Potensi sumber
belajar. Dipahami bahwa sumber belajar menyebar
di sekitar lingkungan kehidupan. Tidak hanya terfokus pada perpustakaan, koran,
majalah, video dan serupanya
yang
merupakan sumber belajar yang bisa memenuhi kebutuhan yang berguna bagi
seseorang. Sumber-sumber belajar tersebut, memberi lapangan bagi
penyelenggaraan PLS baik
berupa kursus dan latihan yang selama ini belum mereka dapatkan dan alami.
Kedua, dari segi
analisis perspektif. (1) Pelestarian
identitas bangsa. Bahwa nilai
dan prinsip luhur bangsa sebagai identitas bangsa yakni
penerusan kebudayaan nasional mesti
diwariskan secara masif lintas generasi. Dengan begitu, Indonesia sebagai
sebuah bangsa memiliki imunitas dan lebih berperan aktif dalam percaturan dunia-global. (2) Kecenderungan belajar individual. Kecenderungan dan keinginan belajar seseorang tidak
bisa dihalangi oleh siapapun. Kecenderungan
ini juga diperkuat oleh kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi informasi dan telekomunikasi, serta kemudahan
komunikasi antar manusia dari berbagai latar belakang. Ketiga, dari segi formal kebijakan, meliputi: (1) Pembukaan UUD 1945[8] serta UUD 1945 Pasal 31 ayat (1)[9]
dan Pasal 31 ayat (3).[10]
Tanpa menafikan posisi atau peranan penting PLS, faktanya
PLS masih dihadapkan dengan berbagai permasalahan yang cukup rumit, misalnya, pertama,
PLS belum mendapat pemahaman dan perhatian
yang proporsional dari berbagai
kalangan, serta masih dianggap bukan bagian dari penyelenggara pendidikan,
sehingga dukungan,
respon serta anggaran yang maksimal yang menjadi penopang utama pemerataan
pelayanan PLS bagi masyarakat di berbagai
lapisan dan di berbagai daerah
belum dapat dilaksanakan secara optimal.
Kedua,
masih terbatasnya jumlah dan mutu tenaga profesional pada institusi PLS di
tingkat pusat dan daerah dalam mengelola, mengembangkan dan melembagakan PLS.
Ketiga, masih terbatasnya sarana dan prasarana PLS baik yang menunjang penyelenggaraan maupun proses pembelajaran PLS itu sendiri. Keempat, ketergantungannya penyelenggaraan kegiatan PLS masih pada tenaga sukarela sehingga tidak ada jaminan kesinambungan pelaksanaan program PLS. Kelima, belum masifnya partisipasi masyarakat dalam memprakarsai penyelenggaraan, pelembagaan dan pengevaluasian PLS.
Ketiga, masih terbatasnya sarana dan prasarana PLS baik yang menunjang penyelenggaraan maupun proses pembelajaran PLS itu sendiri. Keempat, ketergantungannya penyelenggaraan kegiatan PLS masih pada tenaga sukarela sehingga tidak ada jaminan kesinambungan pelaksanaan program PLS. Kelima, belum masifnya partisipasi masyarakat dalam memprakarsai penyelenggaraan, pelembagaan dan pengevaluasian PLS.
Dalam konteks itu, ke depan PLS mesti memperhatikan
beberapa hal penting, yaitu, pertama,
memperluas daya jangkau dengan fokus utama masyarakat
yang memang berhak mendapatkan PLS. Inilah yang membuat penyelenggaraan PLS benar-benar
merata dan terjangkau serta mengalami kemajuan yang sangat signifikan.
Kedua,
PLS diarahkan untuk menghasilkan lulusan yang sesuai dengan kebutuhan pasar dengan tetap menjaga
kualitas aspek akademik. PLS harus mampu meningkatkan kualitas peserta didiknya dalam hal pengetahuan, keterampilan, profesionalitas, produktivitas,
dan daya saing dalam merebut peluang pasar dan peluang usaha. Inilah yang membuat PLS semakin bermutu dan relevan dengan kebutuhan zaman serta tujuan terselenggarannya
PLS itu sendiri.
Ketiga,
meningkatkan peran serta masyarakat dan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan
dan pengelolaan PLS, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, serta
pembiayaannya sehingga pelembagaan penyelenggaraan PLS yang dikelola oleh,
dari, dan untuk masyarakat mengakar pada mekanisme perkembangan lingkungan
masyarakat. Selain itu,
penyelenggaraan PLS juga mesti mengembangkan sistem komunikasi dan informasi di
bidang PLS, di samping fasilitas atau sarna-prasarana penunjang yang perlu
ditingkatkan mutunya. Dengan demikian, penataan sistem
manajemen PLS,
baik yang dikelola oleh
pemerintah maupun masyarakat mengalami
perubahan berarti dan konektif dengan kebutuhan zaman yang sangat dinamis dan
kompetitif ini.
Dalam pandangan Marjohan, pendidikan bisa menjadi engine of growth, sebagai penggerak dan
lokomotif bagi pembangunan diri dan pembangunan bangsa. [11]
Diakui bahwa pendidikan diandalkan untuk mengatasi masalah kemanusiaan akibat
krisis global. Kecemasan banyak pihak terhadap kehidupan pada era global ini, menuntut
kemampuan bersaing yang amat tinggi pada satu pihak, dan ketangguhan menghadapi
perubahan yang cepat pada pihak yang lain. Pada sistuasi seperti ini, manusia
menaruh harapan pada pendidikan. Kehidupan era global secara lebih jauh
dianggap sebagai ancaman bagi eksistensi umat manusia pada “masa akhir”, yang
akan datang. Pada saat itulah, untuk kedua kalinya, pendidikan diandalkan dapat
menjaga eksistensi manusia sebagai pembangun peradaban.
Memperhatikan penjelasan tersebut dan penjelasan UU No.
20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas, Pasal 13 ayat (1)[12]
dan Pasal 27 ayat (1)[13]
dapat dipahami bahwa keberadaan PLS bukan sekadar
“pelengkap”—dalam pengertian sekadar ban
serep—tapi ia sejatinya sudah menjadi
satu kesatuan yang utuh dengan jenis pendidikan lain, baik pendidikan formal maupun
pendidikan informal. Dengan begitu, PLS mesti didukung oleh berbagai stakeholder dan terus ditumbuh-kembangkan dalam
kerangka mewujudkan pendidikan berbasis masyarakat yang lebih maju, dinamis, kompetitif,
konektif dan kontributif bagi kemajuan dunia pendidikan, dunia kerja dan
berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara lainnya. [Oleh: Syamsudin Kadir—penulis
buku “Membangun Pendidikan dan Bangsa yang Beradab”. Tulisan ini dielaborasi
dari tulisan aslinya yang berjudul “Eksistensi Pendidikan Luar Sekolah; Antara Harapan dan Kenyataan”
(Analisis Perspektif UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas)]
[1] Hasan Bisri, Kapitas Selekta Pendidikan, (Bandung, Pustaka Setia: 2012), hlm. 5.
[2] Undang-undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas, Pasal
13 ayat (1) menyebutkan, “Jalur
pendidikan terdiri atas pendidikan formal, non formal, dan
informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya.”
[5] Undang-undang No.
20 .......... Pasal 26 ayat (4).
[8] “...
Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial.”
[10] “Pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan
dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
yang diatur dengan Undang-undang.”
[11] Marjohan, Essai “Merajut Pendidikan Berkualitas” dalam buku Generasi Masa Depan (Jogjakarta, Bahtera Buku: 2010), hlm. 47.
[12] “Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, non formal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya.”
[13] “Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga
dan lingkungan berbentuk
kegiatan belajar
secara mandiri.”
Komentar
Posting Komentar