Merawat Indonesia Dengan Moderasi Dan Toleransi


PADA Kamis-Jumat, 16-17 September 2021 lalu saya menghadiri acara "Dialog Kerukunan Intra Ummat Beragama Islam dan Moderasi Beragama" yang diselenggarakan oleh Kementrian Agama Kantor Wilayah Jawa Barat di Hotel California, Kota Bandung. Lalu pada Senin-Selasa, 27-28 September 2021 lalu saya juga menghadiri acara "Forum Discussion I Koordinasi Kelembagaan Persiapan Tahun Toleransi" yang diselenggarakan oleh Kementrian Agama Kantor Wilayah Jawa Barat di Hotel Haper Bungursari, Purwakarta dengan tema "Pengarusutamaan Moderasi Beragama". 


Pada forum pertama, seluruh ormas Islam di Jawa Barat menyepakati pentingnya menjaga kerukunan internal ummat Islam dengan menjaga ukhuwah islamiyah dan kerukunan internal ummat Islam dengan menggiatkan moderasi dalam pemikiran dan sikap keagamaan. Disadari bahwa ummat Islam adalah ummat mayoritas di Jawa Barat, dengan begitu ummat Islam memiliki tanggungjawab besar dalam menjaga keharmonisan dan kerukunan di Jawa Barat. 


Sementara pada forum yang kedua, berbagai organisasi keagamaan baik Islam maupun non Islam menyepakati pentingnya menjaga keharmonisan sosial di tengah kehidupan masyarakat, terutama di Jawa Barat. Keharmonisan Jawa Barat dengan jumlah penduduknya yang sangat besar, akan berdampak pada keharmonisan nasional. Disadari bahwa organisasi keagamaan memiliki peran besar dalam menjaga keharmonisan antar ummat beragama, karena itu upaya untuk menjaga keharmonisan atau kerukunan perlu digiatkan dan digeliatkan terus menerus. Silaturahim, komunikasi dan dialog bersama antar organisasi lintas agama mesti dijadikan prioritas dalam berbagai momentum ke depan.  


Indonesia adalah sebuah negara yang terdiri dari berbagai suku, ras, pulau, adat istiadat, bahasa, warna kulit dan agama. Ia adalah bangsa yang sangat majemuk dan memiliki kompleksitas dinamikanya. Dari sisi jumlah pendudukan ia termasuk negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia. Sementara dari sisi geografi ia adalah salah satu negara maritim besar dunia. Sejak awal berdiri, dengan semangat kolektivisme para pendiri bangsa dan negara menyepakati bahwa dasar negara kita adalah Pancasila. Walau diawali dengan berbagai dinamika, namun dengan semangat dialektis mereka akhirnya menyepakati Pancasila sebagai dasar negara. Bahwa negara kita berketuhanan dan tidak anti Tuhan, berkemanusiaan dan anti pada dehumanisasi, pripersatuan dan merintangi cerai-berai dan perpecahan, mengutamakan musyawarah mufakat dan mengingkari otoritarian, serta bertujuan untuk mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan mengingkari diskriminasi dan monopoli kebijakan. 


Sebuah negara dengan potensi alamnya yang sangat kaya, manusianya yang beragama dan dinamika kebangsaan yang terus menggeliat, Indonesia dari waktu ke waktu tentu mengalami berbagai tantangan, baik yang bersifat internal maupun yang bersifat eksternal. Bila tantangan internal, misalnya, kasus pelanggaran hukum yang masih terus terjadi, konflik sosial, kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan, maka tantangan eksternal, misalnya, konflik ekonomi kawasan, dinamika geopolitik regional dan aksi teror di berbagai negara. 

Dalam konteks itu, ada banyak hal yang mesti kita lakukan, namun diantara yang cukup mendesak adalah menggiatkan moderasi dan membudayakan toleransi. Kedua hal tersebut diupayakan sebab benih-benih konflik mulai tercium di berbagai tempat. Baik yang beraroma politik dan ekonomi maupun yang beraroma agama dan budaya. Di samping persoalan hukum dan tataan sosial yang terlihat rapuh dan mengalami ketimpangan yang menganga. Hal tersebut bila dibiarkan tentu dapat mengoyak keutuhan kita sebagai sebuah bangsa dan negara yang berdaulat. Moderasi sendiri bukan sekadar tentang memahami teks agama dengan sudut pandang yang komprehensif, tapi juga dalam memahami lima sila Pancasila dengan nalar yang sehat. 

Bila kita menelisik dari perspektif agama, dalam hal ini Islam, sesungguhnya moderasi adalah sebuah konsep, prinsip dan nilai utama agama. Allah berfirman, "Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia..." (QS. al-Baqarah: 143). Dalam Islam, moderasi bisa disepadankan dengan kata "wasathiyah", tengahan. Tengahan lebih pada penempatan sebuah nilai pada tempatnya dan sesuai haknya yang benar. Maka moderasi juga punya kemiripan makna dan substansi dengan kata adil (al-adl). Adil bermakna menempatkan sesuatu pada tempatnya atau memposisikan sesuatu sesuai martabatnya. Selain identitas berbangsa dan berbegara, ia juga merupakan cerminan dari karakter keberislaman ummat Islam. 

Dari situ sangat jelas bahwa moderasi adalah salah satu inti ajaran agama (Islam). Pemikiran dan sikap moderat sebagai wujud nyata ummat tengahan akan memberi dampak besar bagi sikap sosial, baik pada orang yang memiliki keyakinana atau agama yang sama maupun pada mereka yang berbeda keyakinan. Pemahaman dan sikap moderat akan membuat seseorang toleran dengan lingkungan sekitar. Ia giat mengasah pemahamannya agar tetap tidak disimpangkan oleh berbagai pemahaman yang mengingkari prinsip dan nilai-nilai agama serta sikap etis beragama. Sebab ia sangat yakin bahwa pemahaman agama mesti berdampak pada kemaslahatan diri dan lingkungan sekitar bahkan kemanusiaan. Itulah yang disebut sebagai sikap toleran. 

Toleransi dalam makna yang sederhana adalah merasa nyaman dengan keberadaan orang lain, baik yang sama atau pun yang berbeda pemahaman, latar belakang dan sikap hidup. Ia membiarkan orang lain untuk bereskspresi sesuai dengan keyakinan dan sikap autentiknya dalam bingkai kolektifisme kebangsaan. Tidak ada upaya dari diri atau kelompoknya untuk mengintimidasi hak orang lain untuk berkeyakinan, berekspresi dan mengejahwantahkan semua kehendaknya. Dengan catatan, tetap dalam bingkai konstitusi dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku di negara tercinta Indonesia.  

Kembali menelisik ajaran Islam, Islam sejatinya merintangi aksi perusakan termasuk aksi teror pada siapapun dan atas alasan apapun. Islam hadir dengan semangat membawa kedamaian (salam), kemaslahatan (maslahat) dan kerahmatan (rahmat) bagi seluruh alam semesta, baik itu manusia dan tumbuh-tumbuhan maupun binatang, termasuk bumi, laut dan udara. "Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam." (QS. al-Anbiyaa: 107). Dari ayat ini saja sudah jelas dan tegas bahwa aksi teror pada dasarnya merupakan bentuk penzoliman dan pengingkaran pada tujuan risalah kenabian: membawa rahmat bagi semesta alam. 

Bila ditelisik dalam banyak kasus, berbagai aksi brutal atau teror selama ini dilakukan oleh mereka yang memiliki keyakinan dan pemahaman yang tercemari oleh penyakit berlebihan (ghulu) dalam berkeyakinan dan berideologi. Dari yang berlatar politik dan ekonomi maupun yang beraroma agama dan budaya, di samping dugaan adanya peran Pemain Belakang yang tak tersentuh hukum namun meraup keuntungan. Sederhananya, aksi teror adalah wujud dari keyakinan dan pemikiran yang tidak moderat dan sikap intoleran pada manusia yang berbeda latar belakang sosial, politik, suku, ras, budaya dan keyakinan. Sikap semacam itu tidak saja merusak atau merugikan orang lain tapi juga merusak dan merugikan dirinya sendiri. Dari aspek pelanggaran, aksi tersebut bukan saja bertentangan dengan agama (Islam) tapi juga aturan negara, bahkan akal sehat. 

Apapun kondisinya, kita tak boleh cemas dan lelah yang berlebihan. Sebab selalu ada alasan bagi kita untuk melangkah lebih maju dan optimis dengan masa depan Indonesia yang lebih baik. Bila semua elemen bangsa termasuk yang berlatar agama (Islam dan non muslim) masih memiliki semangat kolektivisme, harmonis dan rukun, maka berbagai tantangan yang ada dan dihadapi ke depan akan mudah dilalui. Saat ini dan ke depan, selain menjaga kolektivisme untuk memajukan bangsa dan negara, kita juga mesti terus memoderasi pemikiran dan sikap kita sehingga semakin toleran dalam beragama juga bersikap di tengah kehidupan bangsa dan negara yang dari waktu ke waktu menghadapi tantangan yang semakin kompleks. Ya, mari merawat Indonesia dengan moderasi yang hambel dan toleransi yang tulus! (*)


* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku "Indahnya Islam Di Indonesia"



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah