Mengenang Prof. Khairul Wahidin


"Innalillahi wa Inna ilaihi rooji'iun... Telah meninggal dunia guru sekaligus orangtua kami Bapak Prof. Dr. Khaerul Wahidin, Pembina Yayasan Akmala Sabila sekaligus Mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Cirebon (UMC) pada Ahad 22 Januari 2023 pukul 21.00 WIB. Semoga Allah ampuni dan maafkan serta kelak menyediakan baginya surga terbaik!" Begitu kira-kira informasi sekaligus ucapan duka yang saya sampaikan pada Senin 23 Januari 2023 sekitar pukul 04.50 WIB. 

Prof. Khairul Wahidin bukanlah sosok yang asing bagi saya dan kolega di Cirebon. Secara pribadi saya mengenal beliau sejak awal saya menjadi warga Cirebon pada Oktober 2010 silam. Kala itu beliau kerap menjadi narasumber seminar di beberapa forum dan khotib Jumat di beberapa masjid kampus dan masjid raya di Cirebon. Sepengetahuan saya, terutama setelah beberapa kali bertemu, beliau adalah sosok orangtua yang bijak, pendidik yang telaten dan motivator yang handal. 

Sekadar mengenang pertemuan dan kedekatan dengan beliau, pada Senin-Rabu, 13-15 Juni 2016 bertepatan dengan 8-10 Ramadhan 1437 silam saya turut menghadiri acara Pengkajian Ramadhan yang diadakan oleh Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah. Acara yang mengambil tema “Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi wa Syahadah” dan bertempat di Kampus 2 Universitas Muhammadiyah Cirebon (UMC) ini menghadirkan 20-an lebih tokoh dan pakar dalam berbagai bidang sebagai narasumber.

Acara yang dihadiri delegasi pengurus Muhammadiyah berbagai level se-Indonesia serta undangan dari kalangan umum tersebut mengkaji berbagai topik dalam kerangka peneguhan Pancasila sebagai dasar dan filosofi bernegara; dari aspek filosofis, dan bentuk negara, hingga aspek hukum, tata negara, sosial, budaya, pendidikan, ekonomi, politik, relasi keagamaan, dinamika kebangsaan dan sebagainya.

Pada momentum tersebut Muhammadiyah kembali menegaskan apa yang pernah ditegaskan oleh Kuntowijoyo (2004) bahwa Pancasila sejatinya sama sekali tidak merintangi Islam, ia justru seiring sejalan dengan berbagai prinsip dan nilai-nilai keislaman. Dengan demikian, Muhammadiyah tidak punya niatan untuk mempermasalahkan Pancasila. Hanya saja Muhammadiyah ingin memastikan nilai-nilai Pancasila terlaksana dengan baik dan tidak dihadap-hadapkan dengan nilai Islam. 

Kala itu, walau hanya beberapa kali bertemu, saya berbincang dengan Prof. Khairul tentang banyak hal. Misalnya, pertama, pentingnya penguatan kapasitas intelektual di kalangan kaum muda. Menurut beliau, tradisi baca dan tulis perlu ditingkatkan dan dikembangkan sebagai tradisi yang terus terjaga di kalangan pelajar dan mahasiswa. Sebab dua elemen ini adalah penentu berlangsungnya sejarah umat dan bangsa. Oleh karena itu, gerakan literasi perlu dijadikan sebagai prioritas agenda era ini dan ke depan. 

Kedua, perkokoh soliditas keumatan dan kebangsaan. Beliau sangat berharap agar silaturahim, pertemuan dan dialog internal umat Islam menjadi agenda rutin yang terjaga. Pada saat yang sama, juga menjadi agenda rutin dengan umat yang berbeda agama. Menurutnya, salah satu penyakit berbahaya era ini adalah "enggan bertemu", sehingga tak ada upaya mencari titik temu diantara berbagai perbedaan dan keragaman. Padahal di tengah perbedaan dan keragaman pasti terdapat kesamaan yang memungkinkan semuanya saling menguatkan dan memajukan. 

Ketiga, pendidikan sebagai elemen penting dan kunci. Menurutnya, bangsa yang besar dan maju pasti memberi perhatian yang lebih pada pendidikan. Hal ini bukan sekadar buah bibir, tapi memang pada faktanya demikian. Peradaban maju adalah akumulasi dari berbagai upaya dalam membangun pendidikan yang berdaya saing tinggi. Di sinilah tradisi keilmuan dan pengilmuan diperkuat dan dikembangkan, sehingga ilmunya terbangun dengan kokoh dan bermanfaat bagi terbentuknya peradaban yang semakin maju. 

Keempat, pentingnya kaderisasi dan regenerasi. Kekuatan apapun hanya akan mampu melakukan hal-hal besar bila dilakukan internalisasi sebagai bagian dari proses kaderisasi yang berlangsung terus menerus. Dengan demikian, menurutnya, perlu ada konsep kaderisasi yang dikonseptualisasikan dari berbagai nilai dan pengalaman, sehingga terbentuk generasi baru yang handal dan unggul. Bukan saja memiliki moral yang tinggi tapi juga giat bekerja sekaligus mampu melakoni peran produktif di tengah masyarakat. Menurutnya, itulah kunci awal terjadinya regenerasi kepemimpinan di tengah kehidupan masyarakat dan bangsa yang terus menghadapi berbagai goncangan dan tantangan. 

Ada begitu banyak sebetulnya pikiran jenial yang beliau sampaikan saat bertemu di beberapa forum dan momentum. Dengan demikian, tulisan ini sangat terbatas untuk mengungkap semuanya. Ada satu hal lagi yang menarik dan masih saya ingat hingga kini tentang Prof. Khairul. Pada Juli-November 2019 lalu istri saya Eni Suhaeni sempat mengajar di SDIT Akmala Sabila. Rupanya beliau tahu bahwa sang guru qiroati ini adalah istri saya. Beliau pun mengapresiasi dan menyampaikan terima kasih kepada saya atas berkenan menjadi bagian dari lembaga pendidikan binaan diri dan istrinya Bu Nurlaela. Namun karena jarak rumah dan sekolah cukup jauh, akhirnya istri memilih berpindah ke SDIT Ibnu Abbas, di Talun, Cirebon. 

Siapapun yang pernah bertemu dengan sosok yang murah senyum ini pasti memiliki kesan dan kenangan tersendiri. Bagaimana pun, beliau adalah akademisi sekaligus tokoh pendidikan yang telah berkontribusi bagi kemajuan pendidikan di Cirebon dan sekitarnya. Selain pembawaannya yang meneduhkan, sosok ini juga tergolong akrab dengan semua kalangan. Bukan saja bagi warga persyarikatan Muhammadiyah, tapi juga selainnya. Sehingga meninggalnya akademisi yang profesional ini merupakan kehilangan bagi semua elemen yang ada di Cirebon dan sekitarnya. Namun di atas rasa cinta kita tentu Allah jauh lebih cinta padanya. Semoga Allah ampuni dan maafkan, serta kelak beliau mendapat surga terbaik! (*)


* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku "Muhammadiyah; Ide, Narasi dan Karya" 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah