Menulis itu Dicicil, Bukan Ditunggu!


SAYA sangat cemburu dengan beberapa senior dan teman yang mengikuti berbagai audisi kepenulisan, bahkan menulis beragam judul buku. Saat saya masih sibuk menyusun alasan sehingga enggan mengikuti berbagai audisi, mereka tetap menekuni aktivitas kepenulisan hingga punya begitu banyak karya tulis. Mungkin mereka lelah dan kadang diselimuti rasa malas, namun mereka tetap terlihat punya semangat dan selalu hadir dengan karya terbarunya. 

Belakangan saya pun mencoba mengikuti berbagai audisi kepenulisan, temanya beragam dan diikuti oleh banyak penulis. Baik penulis kawakan maupun penulis pemula atau mereka yang sekadar mengikuti audisi tertentu karena tertarik dengan hadiah atau bonusnya. Ada begitu banyak hal yang menarik dan menginspirasi saya, misalnya, beberapa diantara mereka aktif mengikuti banyak audisi tersebut. Bahkan tulisan mereka menjadi bacaan menarik di berbagai judul buku antologi. 

Saya menyaksikan betapa mereka sangat antusias mengikuti audisi. Tak ada waktu bagi mereka untuk menyusun alasan yang membuat mereka enggan menulis bahkan mengundurkan diri dari ajang kompetisi tersebut. Mereka aktif mengikuti informasi di grup peserta dan selalu terdorong untuk menuntaskan tulisan yang sedang mereka garap. Berbagai aktivitas yang cukup padat tak membuat mereka mundur atau malas menulis. Justru mereka selalu berupaya agar di sela-sela rutinitas bisa menghasilkan karya tulis. 

Saya sebagai pemula di dunia kepenulisan merasa terinspirasi dengan mereka. Bahwa saya mestinya mengikuti jejak mereka, tidak sibuk menyusun alasan untuk enggan menulis, sebab selalu ada alasan untuk menulis dan menuntaskan tulisan baru. Entah itu artikel maupun buku baru. Pada saat saya dirundung rasa malas dan enggan, saya mendapatkan wejangan tegas dari banyak teman. Saya pun membaca status media sosial mereka, sehingga saya tak terjebak pada lembah malas dan tidak mengikuti audisi sekadarnya saja. 

Saya pun berupaya memaksa dan memotivasi diri sehingga energi saya untuk menulis tidak menghilang, tapi kembali geliat. "Menulis itu dicicil, bukan ditunggu. Kalau ditunggu, sampai kiamat pun tak bakal jadi tuh tulisan. Karena tak ada yang mau jadi budak suruhan Anda!", tulis saya di status Facebook suatu saat. Tulisan ini merupakan sebuah tamparan keras agar saya tidak manja dan tidak malas-malasan terutama saat mengikuti audisi kepenulisan. Saya mesti berusaha agar tulisan yang sedang saya garap tuntas. 

Ya, menulis adalah aktivitas yang bisa ditekuni oleh siapapun. Motivasi dari dalam diri merupakan kunci utamanya. Namun itu tidak cukup, sebab menulis itu hanya akan menghasilkan tulisan manakala ditulis. Tulisan bakal menjadi tulisan yang kayak dipublikasi manakala dicicil. Menulis itu mencicil ide dalam bentuk huruf menjadi kata, kata menjadi kalimat, kalimat menjadi beberapa kalimat atau menjadi paragraf, hingga menjadi sebuah tulisan utuh sesuai judul yang sedang diulas bahkan menjadi buku. 

Sehebat apapun seseorang, bila idenya hanya tersimpan dalam pikiran dan tidak ditulis dengan pola mencicil, maka selama itu pula idenya tidak bisa dibaca oleh siapapun. Semangat yang tinggi tidaklah cukup, sebab menulis butuh tindakan nyata. Mengapa? Karena menulis itu kata kerja, kata yang mengharuskan adanya tindakan ril. Ya menulis itu sendiri. Dan sekali lagi, menulis itu dicicil, bukan ditunggu, seperti apa yang saya sampaikan sebelumnya, "Menulis itu dicicil, bukan ditunggu. Kalau ditunggu, sampai kiamat pun tak bakal jadi tuh tulisan. Karena tak ada yang mau jadi budak suruhan Anda!" (*)


* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku "Aku, Dia & Cinta" 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok