Pendidikan untuk Bangsa


Alhamdulillah hari ini Kamis 2 Mei 2024, di momentum Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), saya sangat bersyukur, haru dan bangga karena mendapat kesempatan istimewa sekaligus sepesial. Kali ini saya didaulat sebagai narasumber acara seminar nasional dalam bentuk bedah buku yang berjudul “Pendidikan untuk Bangsa” di Pondok Pesantren Sains Salman As-Salam di Cikalahang, Cirebon, Jawa Barat, sebuah pondok pesantren yang sedang “naik daun” di Jawa Barat saat ini. Beberapa waktu sebelumnya, pada forum ini juga dibedah buku “The Principal Qoutes of Experts” (tebal 472 halaman, terbit Juli 2022) dengan narasumber salah satu penulisnya, yaitu Dr. KH. M. Tata Taufik, M.Ag. (Pimpinan Ponpes Modern Al-Iklhash Kuningan, Jawa Barat. 

Acara bedah buku (baca: dua buku) ini merupakan rangkaian “Event Edu Competition of Sains Salman As-Salam” (ESSA 24) yang diselenggarakan oleh santri pondok yang dekat dengan kaki gunung Ceremai ini. Buku “Pendidikan untuk Bangsa” setebal 211 halaman yang diterbitkan oleh sebuah penerbit di Jawa Timur 2020 silam ini merupakan antologi artikel empat penulis yaitu saya, istri saya (Eni Suhaeni), adik ipar saya (Paga Santosa) serta adik sepupu saya (Bainih Latif). Kami mengumpulkan artikel yang berserakan selama beberapa waktu, lalu diterbitkan menjadi buku yang layak dipublikasi ke masyarakat luas. 


Sebagai pembuka, di awal saya menyampaikan pernyataan dalam bentuk pertanyaan penting, “Mengapa Pendidikan untuk Bangsa?” Sederhana saja, (1) bangsa adalah istilah universal untuk menjembatani keragaman Indonesia. Bangsa mewakili identitas elemen bangsa yang sangat beragam. (2) Salah satu tujuan bernegara yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, di samping tujuan mulia lainnya yaitu melindungi segenap bangsa, memajukan kesejahteraan umum dan ikut serta dalam mewujudkan perdamaian dunia. (3) tujuan tersebut merupakan salah satu tanggungjawab lembaga pendidikan. 

Bila merujuk pada konstitusi tepatnya pembukaan UUD 1945, Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi kita dapat penjelasan bahwa pendidikan nasional Indonesia memiliki tujuan ideal, baik pendidikan formal dan informal maupun pendidikan non formal. Tujuan utamanya adalah membentuk peserta didik atau generasi yang beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia. Di samping mandiri, demokratis, peduli, kreatif, inovatif, cinta tanah air, profesional dan bertanggungjawab. 


Di hadapan 150-an lebih peserta yang terdiri dari santri Assalam dan undangan lainnya ini saya menyampaikan beberapa poin penting yaitu (1) urgensi pendidikan bagi bangsa, (2) tantangan dan peluang pendidikan, (3) urgensi pendidikan keluarga, dan (4) urgensi pendidikan adab. Empat poin tersebut merupakan ringkasan dari isi buku yang sudah dicetak berkali-kali tersebut. Di samping itu juga memberi hadiah beberapa buku untuk peserta yang bertanya sekaligus memberi jawaban atas beberapa pertanyaan saya. 

Pertama, tantangan pendidikan. Kita harus akui bahwa dunia pendidikan tak lepas dari berbagai tantangan yang cukup rumit dan berat. Diantaranya (a) kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan, (b) Permisif, hidup bebas, dan hedonis, (c) Narkoba, korupsi, dan kriminalitas, (d) krisis keteladanan, (e) penyalahgunaan teknologi informasi dan komunikasi. Berbagai tantangan tersebut memiliki hubungan yang erat antar satu dengan yang lainnya. 


Biang utama berbagai masalah sekaligus tantangan tersebut, dalam perspektif Prof. Naquib al-Attas, seperti diungkap dalam bukunya “Risalah untuk Kaum Muslimin” (2001),  diantaranya  (1) Confusion of knowledge (kekeliruan berilmu), (2) The loss of adab (hilangnya adab). Hal lain, berdasarkan perspektif hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, (3) Elite terjebak virus zalim dan serakah, dan (4) Ulama dan umat yang terjangkit penyakit wahn, yaitu cinta dunia dan takut mati. Dalam perspektif Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, wahn diapiti oleh virus lain yaitu umat seperti buih: banyak tapi keropos, sehingga harga dirinya jatuh dan diremehkan oleh kekuatan lain.  

Dari Tsauban beliau berkata, telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Nyaris sudah para umat-umat (selain Islam) berkumpul (bersekongkol) menghadapi kalian sebagaimana berkumpulnya orang-orang yang makan menghadapi bejana makanannya”. Lalu seseorang bertanya: “Apakah kami pada saat itu sedikit?” Beliau menjawab: “Tidak, bahkan kalian pada saat itu banyak, akan tetapi kalian itu buih seperti buih banjir, dan Allah akan menghilangkan dari diri musuh-musuh kalian rasa takut terhadap kalian dan menimpakan kedalam hati-hati kalian wahn (kelemahan)”,.Lalu bertanya lagi: “Wahai Rasulullah apa wahn (kelemahan) itu ?”, Kata beliau: “Cinta dunia dan takut  mati”.  (al-Hadits) 


Kedua, peluang pendidikan. Ya, saya juga tegaskan bahwa pendidikan bahkan Indonesia juga memiliki peluang besar bahkan bisa berkompetisi dengan sistem pendidikan lainnya. Hal ini ditandai dengan tumbuh dan berkembangnya berbagai pesantren dan madrasah yang semakin mandiri, kompetitif dan berkualitas. Begitu juga lembaga pendidikan non formal dan informal lainnya. Di samping bonus demografi terutama di kalangan umat Islam yang semakin tak terbendung, juga adalah peluang dan momentum. Selain itu, trend Islamisasi di berbagai lembaga atau institusi pun terjadi begitu rupa dan geliat. 

Ketiga, urgensi pendidikan keluarga. Mengapa pendidikan keluarga? Karena ia merupakan pendidikan pertama dan utama dalam sejarah dan perjalanan hidup umat manusia. Ia adalah lembaga pendidikan tertua yang pernah dialami dan diikuti oleh semua umat manusia. Pendidikan keluarga juga melibatkan seluruh keluarga dan prosesnya dinamis sekaligus terlama. Dalam Islam, model atau contohnya adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, nabi Ibrahim, nabi Nuh, nabi Yusuf, Luqman, dan sebagainya.  


Keempat, Urgensi Pendidikan Adab. Mengapa pendidikan adab? Sebab pendidikan adab bersumber dan dijamin oleh Allah, karena sumbernya adalah Wahyu Allah berupa al-Quran dan al-Hadits. Materinya mencakup ibadah, akhlak dan muamalah. Atau dalam kategori ilmu dapat diklasifikasi menjadi ilmu fardhu 'ain dan fardhu kifayah. Selain itu, modelnya adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Bahkan output-nya adalah para sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Mereka adalah generasi terbaik yang pernah ada dalam perjalanan sejarah umat manusia. Pendidikan adab juga teruji lintas zaman, dari dulu hingga saat ini. 

Perhatian ulama kita pada pendidikan terutama tentang konsep belajar, pendidikan keluarga dan pendidikan adab juga tergolong tinggi. Tak sedikit ulama yang menulis kitab tentang konsep belajar, pendidikan keluarga, adab sosial dan pendidikan adab. Misalnya Syeikh Burhanuddin Ibrahim az-Zarnuji al-Hanafi (Syeikh az-Zurnuji) menulis kitab “Talimul Ta'lim at-Thoriqot at-Ta’alum”, Imam al-Ghazali menulis kitab “Ayuhal Walad”, KH. Hasyim Asyari (pendiri NU) menulis kitab “Adabul 'Alim wal Mutta'alim”,  KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) menulis tafsir “al-Ma’un”, KH. Ahmad Sanusi (pendiri Persatuan Ummat Islam, PUI), menulis kitab “Jauhaaru al-Bahiyyati Fii Adaabi al-Mar’ati al-Mutazawwajati”, Ustadz Ahmad Hasan (Ulama Persatuan Islam, Persis) menulis buku “Hai Anak Cucuku!”, dan para ulama lainnya juga menulis kitab dan buku dalam beragam tema. 


Sehingga dalam pendidikan terutama dalam pendidikan Islam, tujuannya jelas dan tegas yaitu terbentuk insan adabi. Praktisnya, terlahir (1) anak yang beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia serta memiliki semangat yang tinggi dalam mencari ilmu, menebar manfaat dan berkarya. (2) Pemimpin yang adil, bijak dan berjiwa negarawan, (3) ulama yang alim, soleh dan ngemong pada umat, (4) pengusaha yang kaya, soleh dan dermawan, (5) birokrat yang jujur, profesional dan bertanggungjawab, (6) orangtua yang  bijak, santun, teladan dan bertanggungjawab, serta (7) guru yang kreatif, inovatif, profesional dan bertanggungjawab. 

Pendidikan untuk bangsa tidak dibatasi oleh sekat-sekat primordial tertentu. Sehingga pendidikan semacam ini dapat diadaptasi oleh kalangan mana pun, dalam dimensi ruang dan waktu yang luas dan terus berubah. Singkatnya, proses pendidikan harus melahirkan generasi atau para pejuang yang beriman dan bertaqwa serta bermanfaat bagi diri dan kemanusiaan, termasuk bagi bangsa dan negara tercinta Indonesia. Di samping itu, terbentuk generasi bangsa yang mandiri, demokratis, peduli, kreatif, inovatif, cinta tanah air, profesional dan bertanggungjawab. Semoga berbagai lembaga pendidikan kita terus menjalankan peranan istimewa dan monumentalnya yaitu melahirkan generasi mulia, unggul dan hebat semacam itu! (*)


* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku “Kapita Selekta Pendidikan”


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah