Menyalakan Api Literasi di Ponpes Manarussalam Hidayatullah Kota Cirebon


PADA Jumat 17 Mei 2024 saya mendapat kesempatan untuk menemani Mas Imam Nawawi pada acara sharing kepenulisan di Pondok Pesantren Manarussalam Hidayatullah di Kota Cirebon, Jawa Barat. Pertemuan kali ini dihadiri oleh sekira 70-an santriwati Pondok Pesantren Manarussalam, dari semua kelas. Kali ini Mas Imam ditemani oleh Kang Asep Juhana atau akrab saya sapa dengan Kang Ajun. Sebuah pertemuan yang bukan saja inspiratif tapi juga menjadi momentum untuk menyalakan api literasi di kalangan pelajar di Kota Cirebon. 

Alasan Menulis 

Dalam pertemuan kali ini Mas Imam berbagi tips bagaimana cara menulis dan menjaga semangat menulis. Di awal Mas Imam bertanya dengan pertanyaan sederhana, Mengapa kita menulis? Menurutnya, kita menulis karena banyak alasan diantaranya, pertama, dorongan iman. Iman kita akan mendorong adanya amal kebaikan. Mengafirmasi pendapat Mas Imam saya pun berpendapat bahwa menulis adalah kebaikan. Bila kita serius menekuninya maka kita bakal menghasilkan tulisan yang layak dibaca.  


Kedua, kebutuhan akademik. Bila kita melanjutkan pendidikan tinggi, maka kita memiliki kewajiban untuk menuntaskan berbagai karya ilmiah. Bukan saja makalah dan paper, tapi juga skripsi dan penelitian ilmiah lainnya. Artinya, mau tidak mau, suka tidak suka, kita harus punya semangat untuk menulis dan menjaga semangat berkarya. Walau pun belakangan ada wacana tidak perlunya karya ilmiah skripsi sebagai syarat kelulusan di perguruan tinggi, menulis tetap menjadi tradisi yang terus dijaga.

Ketiga, tradisi menulis adalah tradisi para ulama. Ya, menulis merupakan warisan para ulama selama sekian abad silam bahkan abad ini. Kita mengenal Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Malik, Imam Ibnu Khuzaimah, Imam Nasa'i, dan para ulama sezaman atau setelahnya memiliki karya tulis atau kitab monumental. Kita juga bisa membaca karya ulama abad 20-21 seperti Buya Hamka, KH. Agus Salim, Pak Mohammad Natsir, dan masih banyak lagi yang lainnya. Kita menulis sebagai upaya melanjutkan lakon mereka pada sejarah peradaban manusia. 

Keempat, saya menambahkan satu lagi,  menulis adalah aktivitas sekaligus media dakwah. Pada era serba media ini kita memiliki kewajiban untuk menulis dalam rangka mengisi berbagai media yang ada. Bila kita aktif menulis maka besar kemungkinan berbagai media terutama majalah, surat kabar dan media online terisi oleh tulisan yang mengarah pada kebaikan bahkan kebaikan itu sendiri. Bayangkan bila kita serius memanfaatkan media untuk kebaikan atau menjalankan aktivitas dakwah maka akan terbentuk masyarakat yang melek media dan melek kebenaran.

Modal Menulis 

Bila kita ingin hendak menulis, maka kita perlu memiliki modal yang terus terjaga. Diantara modal yang dimaksud adalah sebagai berikut: 


Pertama, tekad yang kuat. Menulis butuh tekad yang kuat dari dalam diri. Tekad yang lemah akan menghilangkan niat untuk menghasilkan karya. Sebaliknya bila tekad kita kuat maka kita akan terdorong untuk terus menjaga tradisi menulis lalu berupaya untuk berkarya hingga karyanya nyata dan dapat dibaca. 

Kedua, tradisi baca yang kuat. Penulis yang baik adalah pembaca yang baik. Bila kita ingin terjun pada dunia kepenulisan dan menghasilkan karya tulis maka kita harus memiliki kebiasaan membaca bahkan menjadikannya sebagai tradisi yang terjaga. Bila memungkinkan setiap hari kita harus membaca minimal satu buku. Atau mungkin setiap kita memiliki target tertentu, silahkan! Intinya harus ada tekad dan jadwal khusus untuk membaca terutama buku. Bila kita terbiasa membaca maka stok pengetahuan dan wawasan terus bertambah. 

Ketiga, aktif menulis. Tak ada penulis yang langsung bisa menulis kecuali aktif menulis. Menulis adalah kata kerja yang menghendaki adanya action atau tindakan langsung. Makanya saya sering sampaikan di banyak forum bahwa menulis adalah praktik. Karena menulis menghendaki adanya kerja atau tindakan. Semakin sering kita melatih dan belajar maka kita akan terdorong untuk menulis. Maksudnya, kita bakal terdorong untuk langsung menulis tentang hal-hal yang perlu ditulis. Baik yang terlihat sepele maupun yang terlihat istimewa. 

Pertanyaan yang sering muncul biasanya, mengapa seseorang berhenti menulis atau terhambat saat menulis? Bila ditelisik pada umumnya seseorang berhenti menulis atau enggan menulis karena stok idenya habis. Penyebabnya adalah malas baca atau tidak memiliki kebiasaan membaca. Mereka yang suka menulis biasanya suka membaca. Bila aktif membaca maka dengan sendirinya pikirannya terbuka dan memiliki stok ide yang terus bertambah. 

Agar ide menulis selalu ada maka kita harus menggunakan rumusan sebagai berikut. Pertama, gunakan rumus sarang laba-laba. Pada sarang laba-laba biasanya terdapat titik tengah dan berbagai cabang sarang yang selalu berkaitan. Jadikan titik sarang laba-laba sebagai pusat ide. Ia menjadi titik pemantik bagi hadirnya ide-ide lain sehingga menjadi ide yang meluas dan saling berkaitan. Kemampuan menjadikan sarang laba-laba sebagai inspirasi menemukan ide dapat membuat kita semakin terdorong untuk menulis. 

Kedua, tulis apa yang paling disukai atau tidak disukai. Dari satu bakal muncul banyak kata, dari satu ide bakal muncul banyak ide. Saya biasanya menelisik satu kata dengan rumusan 5 W + 1 H (What, When, Where, Why, Who, How; apa, kapan, di mana, mengapa, siapa dan bagaimana). Dengan enam rumusan tersebut kita bisa menghasilkan banyak kata. Misal, muncul kata cinta. Maka kita bisa mengajukan atau mengaitkan kata tersebut dengan apa itu cinta, kapan bercinta, di mana cinta, mengapa cinta dan bagaimana bercinta, atau pertanyaan lainnya. 

Ketiga, tulis tentang hal-hal yang diperoleh dari membaca. Misalnya kita sering membaca buku, maka kita harus belajar mencatat hal-hal yang kita peroleh dari membaca itu. Atau bisa juga menulis tentang apa-apa yang kita dengar. Katakan kita sering mengikuti pelatihan atau ceramah kepenulisan, maka kita harus membiasakan untuk menulis apa-apa yang kita dengar. Sehingga semua yang kita dengar bisa menjadi sumber inspirasi untuk menulis. Jujur saja, saya termasuk yang menggunakan rumus ini. Dan hasilnya, sangat saya nikmati. 

Menulis memang bukan pekerjaan semua orang, namun siapapun bisa belajar dan menekuni aktifitas menulis. Surat al-Alaq ayat 1-5 merupakan ayat pertama dalam al-Quran yang pertama kali turun, akrab disebut surat Iqra'. Kemudian dalam aurat al-Qalam di ayat awal juga ada penegasan tentang perlunya tradisi menulis. Ini bermakna bahwa tradisi literasi terutama baca-tulis merupakan perintah agama sekaligus warisan peradaban Islam. Hal ini terlihat dari lakon para sahabat dan generasi setelah mereka. Mereka adalah ilmuan sekaligus penulis ulung. Semoga kita terus menjaga niat, tekad dan semangat agar terus berkarya, minimal untuk melanjutkan tradisi mereka di masa lampau itu di era kita kini dan nanti. (*)


* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku "Pemuda Negarawan" 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah