Dari FDS Ke Penguatan Pendidikan Karakter



HAMPIR sebulan terakhir publik terbawa arus dinamika pemberitaan berbagai media massa mengenai Five Day School (FDS). Polemik berawal ketika Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhajir Efendy mewacanakan hingga mengeluarkan kebijakan Full Day School (FDS)—yang belakangan berubah menjadi Five Day School (FDS)—yang mesti dilaksanakan oleh berbagai lembaga pendidikan baik sekolah maupun madrasah.

Ya, pada 12 Juni 2017 Mendikbud mengeluarkan Permendikbub nomor 23 Tahun 2017 tentang Hari Sekolah, yang tentu isinya berisi penguatan dari kebijakan Full Day School (FDS) yang dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Respon publik pun beragam, tentu sesuai dengan pandangan dan kepentingannya masing-masing. Bahkan kedua Ormas terbesar (Muhammadiyah dan NU) pun turut terseret dalam polemik tersebut. Kebijakan tersebut yang pada awalnya bernyawa pendidikan, belakangan justru berbau politis.


Namun kini, polemik tersebut telah menemukan titik terang setelah terbitnya Peraturan Presiden No. 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). Peraturan tersebut membebaskan sekolah atau madrasah menerapkan penguatan karakter selama lima atau enam hari dalam sepekan. Penerbitan  Perpres tersebut diumumkan langsung oleh Presiden Joko Widodo pada Rabu (6/9) di Istana Merdeka, Jakarta.  

Penandatanganan Perpres sendiri dilakukan Presiden di hadapan sejumlah ulama dan pimpinan organisasi kemasyarakatan Islam seperti Ketua PBNU (Said Agil Siraj), Ketua PP Muhammadiyah (Anwar Abas), Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (Zainut Tauhid Sa’adi), dan Wakil Ketua Umum Cendekiawan Muslim Indonesia-ICMI (Priyo Budi Santoso). Perpres dirumuskan berdasarkan masukan dari pimpinan Ormas Islam seperti Muhammadiyah, NU, Al-Irsyad, Al-Washliyah, Persis, MUI, ICMI dan sebagainya.

Menyempurnakan ketentuan sebelumnya, Perpres No. 87 tahun 2017 membebaskan lembaga pendidikan formal, baik sekolah maupun madrasah, memilih waktu penyelenggaran penguatan pendidikan karakter (PPK). Dalam pasal 9 Perpres tersebut diatur, sekolah dapat melaksanakan pendidikan selama lima atau enam hari dalam sepekan. Selain itu, penetapan lima atau enam hari mesti disepakati secara bersama oleh Sekolah dan Komite Sekolah, di samping mempertimbangkan kecukupan pendidik dan tenaga kependidikan di masing-masing lembaga, ketersediaan sarana-prsarana, kearifan lokal, pendapat tokoh masyarakat dan sebagainya.

Kalau ditelisik, PPK sendiri merupakan tindak lanjut dari Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM) yang digadang oleh pemerintah selama ini. Hal ini bisa dipahami dari pasal 1 ayat 1 Prepes tersebut yang menjelaskan bahwa PPK merupakan bagian dari GNRM yang bertujuan membangun dan membekali anak bangsa menjadi generasi emas berjiwa Pancasila dan berkarakter baik pada 2045. PPK dilaksanakan dengan menerapkan nilai-nilai Pancasila, terutama nilai-nilai religius, toleran, disiplin, bekerja keras, cintah Tanah Air, cinta damai, peduli sosial dan bertanggungjawab. PPK diupayakan tidak saja dilaksanakan oleh lembaga pendidikan formal, tetapi juga lembaga pendidikan nonformal dan informal dalam keluarga.

Perpres tersebut juga menyebutkan penyelenggaran PPK pada satuan pendidikan formal dilakukan secara terintegrasi dalam kegiatan intrakulikuler, kokurikuler, dan ekstrakulikuler. Maknanya, penyelenggaran PPK dilaksanakan di dalam atau di luar lingkungan satuan pendidikan formal. Hal itu dilakukan dengan prinsip manajemen berbasis sekolah atau madrasah sebagaimana yang memang sudah diarahkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada berbagai forum dan kesempatan.

Sementara penyelenggaran PPK dalam kegiatan intrakulikuler merupakan penguatan materi pembelajaran sesuai dengan muatan kurikulum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun penyelenggaran PPK dalam kokurikuler adalah penguatan nilai-nilai karakter yang dilaksanakan untuk pendalaman atau pengayaan intrakulikuler.

Pelaksanaan PPK sendiri dikoordinasikan oleh empat kementrian dan pemerintahan daerah masing-masing. Keempat kementrian tersebut yaitu Mentri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Agama, dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

Kalau ditelisik, substansi PPK sendiri terutama yang dijelaskan dalam pasal 3 dan pasal 16 ayat 2 Perpres tersebut bukan saja soal jumlah hari dan materi, tapi juga soal pendekatan yang digunakan yaitu berbasis pembelajaran kelas (klasikal), berbasis pada budaya atau kearifan lokal masyarakat dan pelibatan masyarakat itu sendiri dalam berbagai bentuk baik pribadi maupun kelembagaan.

Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi adab dan keadaban serta berbasis pada etika dan kesantunan, kita mesti tetap menghargai setiap pandangan dan sikap. Namun semuanya mesti tetap dalam bingkai toleransi, saling menghormati, dan menjaga stabilitas nasional. Terlalu berat beban bangsa ini bila kita selalu mengambil sikap antipati terhadap setiap niat baik pemerintah termasuk niat baik Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tanpa memahami substansi kebijakannya. Bahwa berbeda itu adalah naluri kebangsaan kita. Namun perbedaan yang dielaborasi secara irasional karena hanya mementingkan urusan golongan, hanya akan membuat energi kebangsaan kita sia-sia.

Kita menyaksikan kualitas pendidikan kita masih rendah sehingga daya saing bangsa ini masih lemah. Masalah yang menimpa bangsa ini juga semakin rumit. Dari kesenjangan sosial, korupsi, kemiskinan, marjinalisasi sosial, pengrusakan lingkungan, pengelolaan sumber daya alam yang asal, hingga penegakan hukum yang masih saja pilih-tebang. Manakala kita tercebak pada polemik yang tak subtantif, maka kita pun benar-benar bertambah rendah dan lemah.

Jadi, kita berharap agar polemik mengenai FDS benar-benar berakhir. Sebab kita semua sejatinya memiliki agenda yang lebih penting dan subtantif yaitu penguatan pendidikan dan mewujudkan karakter sebagai modal utama memajukan bangsa dan negara tercinta Indonesia. Itulah cara terbaik dalam menjaga kondusifitas kemasyarakatan dan kebangsaan di tengah-tengah berbagai tantangan dan kompleksitas permasalahan yang menghantui bangsa dan negara ini akhir-akhir ini. Sungguh, dengan bersatu kita semakin teguh, namun dengan berpolemik yang tak subtantif kita justru hanya semakin runtuh. [Oleh: Syamsudin Kadir—Direktur Eksekutif Mitra Pemuda. Tulisan ini dimuat pada halaman 4 Kolom Wacana Radar Cirebon edisi Senin 11 September 2017]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah