IKHTIAR MELAHIRKAN GENERASI UNGGUL

PADA setiap 23 Juli untuk setiap tahunnya kerap dirayakan sebagai Hari Anak Nasional (HAN). Pada momentum tanggal yang sama pada tahun-tahun sebelumnya kerap dirayakan dalam berbagai macam kegiatan. Baik dalam bentuk upacara resmi maupun seminar juga berbagai macam perlombaan. Suasana peringatan pun semakin hikmat dan meriah serta mendapat antusias dari berbagai kalangan, termasuk kalangan anak. 

Suasana semacam itu memang sesuatu yang layak kita adakan, dengan tujuan agar kita punya kepedulian dan perhatian yang lebih kepada anak sebagai generasi pelanjut bangsa kelak. Dipahami bahwa anak-anak hari ini adalah tunas yang akan tumbuh-kembang menjadi generasi baru yang akan melanjutkan dan mengisi perjalanan bangsa ini ke depan. Maka peringatan semacam ini bukan saja diadakan sebagai rutinitas belaka, tapi yang tak kalah pentingnya adalah sebagai pecutan agar kita lebih serius dalam menyiapkan generasi unggulan Indonesia masa depan. 

Khusus untuk tahun ini, HAN diperingati secara virtual. Hal ini sebagaimana yang diungkap oleh Deputi Bidang Perlindungan Anak Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementrian PPPA), Nahar, sebagaimana yang dilangsir di berbagai media massa beberapa hari terakhir. Menuru Nahar, peringatan tahun ini diikuti oleh seluruh provinsi di seluruh Indonesia dengan 750 partisipan melalu platform Zoom. 

Sesuai tema yang diusung yaitu “Anak Terlindungi, Indonesia Maju”, peringatan kali ini akan mengedepankan isu melindungi anak Indonesia dalam situasi darurat dan dalam keadaan tertentu. Dipahami bahwa bencana alam non alam: Covid-19 berdampak pada berbagai bidang kehidupan dan segmentasi, terutama pendidikan anak. 

Jumlah anak Indonesia (usia 0-15 tahun) per-2019 diketahui kurang lebih 86.000.000-an jiwa. Artinya, 32 persen lebih penduduk Indonesia adalah anak. Anak sejumlah itu adalah aset sekaligus potensi besar bangsa ini. Kesuksesan kita dalam mendidik mereka sangat menentukan arah dan kondisi bangsa ini pada masa yang akan datang. Maka menjaga mereka mesti menjadi perhatian serius semua elemen. 

Trilogi pendidikan yang sudah mashur dalam perbincangan kita adalah sekolah, keluarga dan masyarakat. Bila sekolah sebagai salah satu lembaga pendidikan formal mendapat banyak porsi dalam perbincangan kita, maka pendidikan keluarga dan masyarakat belum menjadi perhatian yang maksimal. Sehingga, keterbatasan sekaligus kelemahan dalam proses pendidikan di lembaga formal seperti sekolah kerap tidak mengaitkannya dengan posisi sekaligus kontribusi pendidikan keluarga dan masyarakat. 

Saya sendiri bersama istri baru saja menulis buku terbaru berjudul “Melahirkan Generasi Unggul; Mencerdaskan Bangsa, Memajukan Indonesia”. Buku setebal 230 halaman yang merupakan antologi atau kumpulan artikel yang pernah dimuat di berbagai surat kabar dan media online seperti blog beberapa bulan terakhir ini membangun kesadaran kolektif kita bahwa pendidikan merupakan tanggungjawab bersama, dari guru dan masyarakat hingga sekaligus yang utama adalah orangtua dalam pendidikan keluarga. 

Di sini dibahas secara runut mengenai karakter generasi ideal atau unggulan yang mesti dilahirkan dari berbagai level pendidikan, terutama dalam keluarga. Di samping beberapa gagasan kekinian dan alternatif tentang penguatan peran juga kontribusi pendidikan sekolah dan masyarakat dalam melahirkan generasi unggul tersebut. Perspektif peraturan perundang-undangan dan agama Islam pun menjadi pijakan yang dominan pada hampir semua topik yang dibahas pada buku terbitan Penerbit JSI Press pada Agustus 2020 ini. 

Setiap topiknya memiliki fokus masing-masing dengan tetap dalam bingkai teori dan langkah-langkah praktis dalam melahirkan generasi unggul. Generasi unggul yang dimaksud tentu yang digariskan UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang diperkuat oleh penalaran yang berpijak pada perspektif agama, dalam hal ini Islam. 

Dalam konteks refleksi atas HAN dan fokus tulisan ini maka paling tidak ada beberapa hal yang mesti kita perhatikan, pertama, potensi anak mesti ditumbuh-kembangkan secara menyeluruh. Potensi yang ditumbuh-kembangkan pada generasi ini bukan saja pada aspek pengetahuan dan keterampilan tapi juga aspek sikap. Di sini bukan saja penguatan pengetahuan yang dimaksimalkan, tapi juga tentang keterampilan sekaligus akhlak anak sehari-hari. 

Kedua, meneguhkan keluarga sebagai laboratorium pendidikan pertama dan utama. Dengan tidak bermaksud mengurangi peran pendidikan formal seperti sekolah sebagaimana yang sudah berjalan selama ini, maka salah satu hal yang mesti kita bangun adalah kesadaran kolektif bahwa pendidikan keluarga adalah salah satu laboratorium yang mesti mampu melahirkan generasi unggul. 

Mesti diakui bahwa keluarga adalah tempat pertama dimana anak hidup. Di sini mereka mengenal dan berinteraksi dengan kedua orangtua dan keluarga mereka. Dengan demikian, kita juga mesti membangun kesadaran kolektif dan mengingatkan para orangtua bahwa mereka adalah pendidik pertama dan utama anak-anak mereka, yang bukan saja mengasuh anak tapi juga mendidik anak mereka sendiri dengan baik.  

Ketiga, hindari penyakit sekolahisme. Selama ini, hampir semua orang, terutama orangtua anak, menempatkan lembaga pendidikan formal seperti sekolah sebagai satu-satunya lembaga pendidikan. Sehingga apapun yang terjadi di sekolah, dianggap sudah cukup untuk mendidik anak dan tidak ada upaya penguatan dari selain sekolah. Dampaknya, pendidikan keluarga yang seharusnya menjadi salah satu lembaga pendidikan malah dianggap tak punya peran dan kontribusi apa-apa. 

Keempat, penguatan keteladanan. Sehebat apapun sistem pendidikan, semewah apapun fasilitas pendidikan dan secerdas apapun guru yang mengajar di sekolah, hanya akan berdampak maksimal pada peserta didik atau anak manakala disertai dengan keteladanan. Guru tak cukup punya kemampuan menjelaskan pelajaran dan menguasai metode pengajaran, sebab ia juga mesti akhlak dan moral yang baik. Anak juga sangat tersemangati manakala guru disiplin, jujur, akrab dan bertanggungjawab. 

Melahirkan generasi unggul, tak cukup hanya keteladanan guru. Ia juga membutuhkan keteladanan orangtua melalui pendidikan keluarga. Berbagai pelajaran dan nilai-nilai baik atau keteladanan baik para guru di sekolah akan berdampak baik pada anak manakala di lingkungan keluarga anak juga mendapatkan keteladanan yang sama. Orangtua dan keluarganya mesti menjadi teladan yang baik bagi anak, bukan malah menjadi teladan keburukan. 

Kelima, masyarakat mesti berperan aktif. Peran masyarakat dalam melahirkan generasi unggul tidak selalu bermakna mengajar ulang pelajaran yang sudah diperoleh oleh anak di sekolah. Salah satu hal yang bisa dilakukan adalah memastikan diri anggota masyarakat itu sendiri sebagai pelakon kebaikan yang layak ditiru anak. Sehingga proses pendidikan di sekolah dan keluarga benar-benar berdampak positif bagi anak dan kehidupan sosialnya kelak. 

Di atas segalanya, generasi unggul tersebut itulah kelak yang akan membangun dan memajukan bangsa dan negara tercinta Indonesia, sehingga semakin memiliki daya saing dengan berbagai negara di dunia dan berkontribusi positif dalam menghadirkan peradaban dunia yang semakin maju dan beradab. Mari lindungi anak-anak kita dengan mengambil bagian dalam mendidik mereka. Bukan saja di sektor sekolah dan masyaraat tapi juga di keluarga. Sungguh, Indonesia sangat mungkin melahirkan generasi unggul baru! (*)


* Judul tulisan 
IKHTIAR MELAHIRKAN GENERASI UNGGUL 

Oleh: Syamsudin Kadir
Penulis buku “Melahirkan Generasi Unggul”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah