Ramadan, Momentum Produktifitas Beramal
Alhamdulillah hari ini Kamis, 8 April 2021, Pukul 16.00-selesai saya mendapatkan amanah untuk mengisi acara Tarhib Ramadan Persatuan Umat Islam (PUI) Se-Sumatra Selatan. Acara ini dihadiri oleh jamaah PUI Se-Sumatra Selatan secara ofline dan online. Termasuk jamaah PUI dari daerah lain yang menyempatkan hadir seperti Tasikmalaya, Cirebon dan sebagainya.
Tarhib artinya menyambut, menerima dengan penuh kelapangan, kelebaran dan keterbukaan hati. Dengan demikian, tarhib ramadan adalah upaya maksimal dalam menyambut dan menerima datangnya ramadan dengan penuh kelapangan, kelebaran dan keterbukaan hati yang dilandasi iman kepada Allah. Tarhib ramadan, termasuk yang diformat dalam bentuk kegiatan semacam ini merupakan pengingat kita untuk membangun semangat produktifitas.
Para salafu soleh terdahulu menyiapkan diri untuk ramadan sejak 2 bulan bahkan lebih dari itu. Bahkan dalam sebuah doa yang mashur sebagaimana yang dijelaskan dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, kita diajarkan untuk berdoa, "Ya Allah, berkahilah umur kami dalam bulan Rajab dan Syaban, serta sampaikanlah kami pada bulan Ramadan!"
Berkah artinya, ziyadatu al-khoir, bertambahnya kebaikan. Maknanya, kita memohon kepada Allah agar Ia memberi kita keberkahan dan menambah kebaikan-kebaikan kepada kita. Itu pertanda, seluruh waktu kita mestinya diisi dengan berbagai nilai-nilai produktifitas, nilai-nilai kebaikan yang menebar ke banyak orang dan tempat.
Mengapa menjelang ramadan kita selalu disyariatkan untuk memohon keberkahan kepada Allah? Ini adalah ikhtiar manusiawi bahwa kita sangat membutuhkan pertolongan dan bantuan Allah. Manfaatnya adalah agar kita selalu menjaga nilai-nilai kebaikan. Sehingga kita benar-benar menyiapkan diri dalam menanti dan mengisi ramadan yang segera menjelang yang tak lama lagi tiba.
Itu bermakna, setiap waktu yang kita lalu mesti bernilai baik dan bermanfaat. Sehingga waktu, tenaga dan pikiran kita benar-benar dimanfaatkan untuk menebar kebaikan. Atau dalam bahasa yang lebih luas kita isi untuk berdakwah yaitu untuk menyebar kebaikan dan menghindar dari keburukan. Baik untuk diri dan keluarga kita sendiri mapun untuk masyarakat luas. Bila keberkahan dari Allah mampu kita jaga maka seluruh waktu yang kita lalui benar-benar terisi dengan kebaikan.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Manfaatkanlah lima perkara sebelum lima perkara: (1) waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu. (2) waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu. (3) masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu. (4) masa luangmu sebelum datang masa sibukmu. (5) hidupmu sebelum datang matimu." (HR. Baehaqi)
Hadits ini perlu kita baca dan renungi berkali-kali. Sebab akhir-akhir ini kita akrab dengan diksi rebahan. Rebahan itu sendiri sangat manusiawi. Hanya saja, hal tersebut akan lebih baik manakala diisi dengan hal-hal yang produktif. Apalah lagi pada momentum bencana non alam: Covid-19 seperti saat ini, kemampuan mengisi waktu dengan berbagai hal yang produtif adalah penting atau niscaya.
Hal ini perlu kita jaga, sebab waktu yang kita miliki memang mesti diisi dengan hal-hal yang bermanfaat. Apalah lagi pada momentum ramadan yang tiba tak lama lagi. Sungguh, ramadan tak selalu datang pada setiap momentum kita menghirup udara hidup di dunia. Tak sedikit yang pada ramadan lalu masih bersama kita, kini mereka sudah meninggal. Karena itu, kita mesti mengisi waktu yang ada secara produktif sebelum ajal kematian kita tiba. Ramadan yang segera menjelang mesti kita isi dengan amal terbaik. Produktifitas yang paling penting bukan untuk mengejar materi, sebab yang terutama adalah pada amal kebaikan.
Makna lain keberkahan adalah menebarkan kebaikan kepada orang lain tanpa sekat atau batasa apapun. Kita mesti menjadi penyemangat bagi siapapun dalam melakukan kebaikan. Amal kebaikan yang kita lakukan mesti mampu kita tebar menjadi kebaikan bagi masyarakat luas, baik pada level bangsa maupun umat, bahkan peradaban. Sederhananya, keberkahan itu sangat terlihat dari kebesaran manfaat yang kita hadirkan kepada banyak orang dalam berbagai skala.
Hal tersebut sengaja ditegaskan dan perlu menjadi perhatian kita semua, sebab faktanya, pada awal ramadan biasanya masjid atau tempat ibadah penuh; namun pada pertengahan dan akhirnya sudah mulai kosong. Kita pun kerap mengisi ramadan dengan kesibukan yang sangat tidak produktif. Padahal kita punya tanggungjawab untuk mengisinya dengan amal terbaik. Tak sedikit diantara kita yang sibuk mengejar materi berupa makanan dan pakian baru, lalu menepikan amal soleh yang seharusnya menjadi prioritas kita.
Ramadan adalah momentum untuk men-chas kembali iman dan taqwa kita kepada Allah. Mesti diakui secara jujur bahwa berbagai aktivitas kerap mengganggu kualitas iman dan taqwa kita. Maka pada ramadan nanti, bahkan sejak saat ini, kita mesti menyiapkan diri dan menjadikannya sebagai momentum bagi kita untuk meningkatkan kualitas diri kita dalam banyak hal, terutama dalam hal iman dan taqwa kita.
Wujud nyata meningkatnya kualitas persiapan kita, termasuk kualitas iman dan taqwa kita, sangat terlihat dari kualitas ibadah atau amal soleh kita dari waktu ke waktu. Bila berbagai amal soleh mampu kita lakukan dan jaga dengan baik, baik kuantitas maupun kualitasnya, maka iman dan taqwa kita bakal terus kokoh dan tak akan lenyap bila menghadapi berbagai tantangan kehidupan yang akhir-akhir ini semakin bertubi-tubi datang menguji kita.
Allah sejatinya sangat mencintai kita. Pada ramadan mulia dan berkah Ia menyediakan berbagai hidangan yang luar biasa. Bukan saja bentuk atau jenisnya tapi juga nilai bonus yang terkandung di dalamnya. Untuk itu, kita mesti berikhtiar agar ramadan yang segera menjelang mampu kita isi dan bermakna lebih baik dari ramadan tahun sebelumnya. Berbagai ibadah yang khas ramadan mesti kita upayakan agar lebih baik dari yang sudah kita tunaikan pada tahun-tahun sebelumnya. Tilawah Quran, shalat tarawih, itkaf, sedekah dan sebagainya mesti lebih berkualitas dari yang sudah kita tunaikan pada tahun yang telah lewat.
Berkah mesti dimaknai sebagai kemampuan kita untuk mengisi ramadan secara maksimal. Caranya adalah dengan mematangkan persiapan dalam banyak aspeknya. Persiapan ramadan dari aspek pengetahuan, misalnya, perlu kita baca ulang. Berbagai kitab, buku dan tulisan bisa kita telaah kembali. Karena ibadah akan bernilai apa-apa manakala bersumber pada ilmu yang benar dan dilaksanakan dengan cara yang tepat. Harapannya, bila pengetahuan kita bertambah maka kualitas ibadah kita pun semakin bertambah. Sebab kita selalu berupaya untuk berpijak pada ilmu dan landasan yang benar.
Allah berfirman, "Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran." (QS. az-Zumar: 9)
Bulan ramadan sendiri memiliki banyak nama. Mislanya, ramadan sebagai bulan berkah (syarul mubarak). Keberkahan ramadan ditandai dengan banyak hal, seperti diturunkannya al-Quran pada bulan ramadan. Makanya ramadan juga disebut sebagai syahrul quran, bulan al-Quran.
Allah berfirman, "Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan Sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan." (QS. Ad-Dukhaan: 3)
"(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)." (QS. al-Baqarah: 185)
Ramadan pun benar-benar menajdi energi besar, energi keberkahan. Ajaibnya, ini hanya terjadi pada ramadan, energi keberkahan dalam diri kita bakal bertemu dengan keberkahan ramadan itu sendiri. Keberkahan diri kita yang dimaksud adalah amal kebaikan yang kita lakukan secara istikomah, sementara keberkahan ramadan adalah keunikan amal ibadah yang khas pada ramadan, yang memiliki nilai pahala yang berlipat ganda.
Bila saja energi semacam itu mampu kita kelola dengan baik, maka dampaknya bakal terjadi perubahan besar. Bukan saja pada skala individu tapi juga pada skala kolektif. Bukan saja pada skala umat dan bangsa tapi juga pada skala peradaban umat manusia. Sehingga dengan begitu, kita mesti berupaya semaksimal mungkin agar setiap detik yang kita lalui selama ramadan benar-benar terisi dengan amal-amal kebaikan yang pahalanya bakal berlipat ganda.
Mesti diakui bahwa penyakit manusia adalah belum maksimal mengisi ramadan dengan amal terbaik. Hal tersebut biasanya terjadi berulang kali. Karena itu, kita mesti memompa diri agar terus menjaga konsistensi. Sehingga shaum ramadan memberi dampak besar bagi diri kita, juga pada kehidupan sosial masyarakat luas. Kuncinya adalah berjamaah. Mesti membangun semangat kolektivisme. Setiap niat baik dan amal kebaikan tidak akan produktif dan menghasilkan kebaikan yang berlipat ganda manakala hanya dilakukan secara individu. Karena itu, kita perlu membangun semangat berjamaah, termasuk dalam melakukan dan menebar kebaikan.
Ramadan memang memberi dampak positif pada sebagian isi, namun pada sebagian sisi masih perlu pembenahan. Acara TV pada ramadan memang ada baiknya, namun kadang juga kebablasan. Sehingga perlu penanggulangan dan strategi dakwah yang lebih baik dan produktif. Kapitalisasi nilai kebaikan perlu kita rancang secara serius, sehingga berbagai media dakwah punya dampak positif bagi kemajuan dakwah dan kebangkitan umat di masa mendatang.
Bila selama ini kita kerap bersemangat bila di awal ramadan, lalu di pertengahan dan akhirnya kita semakin kehilangan semangat untuk beribadah dan beramal soleh, maka pada ramadan yang akan datang kita mesti berikhtiar agar kita mampu mengisi seluruh ramadan dengan ibadah dan amal soleh terbaik. Jangan sampai semangat kita pada ujung ramadan hanya sibuk dengan materi atau untuk kebutuhan perut dan pakian, sebab kita memiliki kesibukan utama yaitu meningkatkan kualitas seluruh jenis ibadah dan amal soleh.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sendiri pada ramadan selalu mengencangkan ikat pinggang atau ikat sarungnya. Ini bermakna beliau fokus beribadah, bukan untuk makan dan minum. Beliau juga mengajak keluarganya untuk fokus beribadah, termasuk untuk beritikaf. Bahkan beliau pun menghidupkan seluruh waktu pada ramadan untuk fokus beribadah.
Dari Aisyah dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ketika masuk 10 hari terakhir ramadan, mengencangkan kain bawahnya, menghidupkan malamnya, dan membangunkan keluarganya." (Mutafaq alaihi)
Itikaf adalah amalan sunah yang tak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Sementara kita masih saja kerap menyepelekannya. Tak ada langkah lain, kita mesti berbenah. Semangat beragama di tengah umat mesti kita hidupkan secara terus menerus. Ibadah itikaf ini adalah salah satu ibadah khas sekaligus momentum terbaiknya. Sebab ibadah ini memiliki keunikan dan daya tarik sendiri bagi umat Islam.
Ramadan juga memiliki hidangan yang sangat khas dan istimewa yaitu adanya lailatul qodar. Malam tersebut bernilai seribu bulan. Sebuah anugerah yang Allah berikan hanya pada mereka yang beriman dan bertaqwa kepada-Nya. Karena itu, kita mesti mengejarnya. Itkaf adalah momentum terbaik yang bisa kita isi untuk mendapatkan atau memperoleh malam yang lailatul qodar. Sebuah malam yang bernilai seribu bulan, yang bagi siapapun yang rindu padanya pasti mengejarnya.
Keberkahan ramadan sendiri bakal berdampak setelah ramadan usai. Syawal adalah bagian dari eskalasi ibadah ramadan. Artinya, ibadah kita pada Syawal dan bulan-bulan berikutnya mesti semakin terjaga. Bukan saja kuantitasnya tapi juga kualitasnya. Kualitas ibadah individu mesti mampu kita kapitalisasi menjadi kualitas kolektif: masyarakat, umat dan bangsa. Karena itu mesti ada upaya untuk menyebarkan kebiakan-kebaikan personal pada lapangan yang lebih luas yaitu kehidupan masyarakat yang lebih luas. Itulah yang membuat ramadan benar-benar menjadi energi terbaik yang bisa kita kapitalisasi menjadi energi kebangkitan umat dan kemajuan bangsa. (*)
* Oleh: KH. Iman Budiman, S.Th.I, M.Ag, Ketua Umum DPW PUI Jawa Barat Periode 2021-2026.
Komentar
Posting Komentar