Hari Santri dan Tradisi Menulis Kita
Menjadi santri merupakan pilihan jenial di zaman penuh fitnah dan intrik ini. Sebab santri dengan pondok pesantrennya menjadi laboratorium yang paling ajek untuk menumbuh dan mengembangkan potensi santri, di samping membimbing, membina dan mengarahkannya. Sehingga terbentuk santri yang memiliki mental dan kepribadian yang kokoh serta memiliki daya gerak untuk menghadirkan manfaat bagi lingkungan sekitar, bahkan bagi umat dan bangsa Indonesia juga peradaban dunia.
Bagi santri, menulis merupakan elemen penting dalam proses pembelajaran, terutama dalam mengkaji berbagai kitab mu'tabarah yang sudah akrab dengan kaum santri atau pesantren. Selain memberi baris atau harakat pada kitab yang masih gundul juga untuk meresume atau mencatat apa-apa yang disampaikan oleh para Kiai, Tuan Guru dan Para Ustadz yang mendidik mereka di berbagai momentum. Dalam belajar, santri tidak saja mengandalkan telinga dan mata juga ingatan, tapi juga catatan atau menulis. Sehingga secara umum santri sangat akrab dengan tradisi menulis.
Bila menelisik ke sejarah pesantren di Indonesia, kita dapat memahami bahwa santri dengan pesantrennya, pada zamannya merupakan elemen penting yang berkontribusi dalam perjuangan melawan penjajah. Para ulama dan santri berduyun-duyun mendalami berbagai ilmu lalu mengembangkannya di tengah masyarakat, sehingga masyarakat semakin cerdas dan sadar akan martabat dirinya sebagai bangsa yang sedang dijajah; karena itu, mereka mesti melakukan perlawanan sebagai sebuah jalan agar merdeka dan martabatnya tak diinjak-injak.
Dalam rangka mepertahankan kesadaran berliterasi di kalangan santri sekaligus mengapresiasi peranan santri bagi perjalanan umat dan bangsa, pada September 2023 lalu Mitra Pemuda (MP) dan Komunita Cereng Menulis (KCM) mengadakan audisi menulis artikel seputar santri, pesantren dan madrasah dengan tema “Dari Santri untuk Indonesia”. Bunga rampai atau antologi artikel tersebut kini sukses diterbitkan menjadi buku yang berjudul “Santri Negarawan”.
Diantara puluhan artikel yang dimuat pada buku ini adalah sebagai berikut: (1) Jangan Malu Menjadi Santri!, (2) Menjadi Santri Kreatif dan Berprestasi, (3) Motivasi Santri Agar Kreatif dan Berprestasi, (4) Menjadi Santri Entrepreneur, (5) Langkah Majukan Madrasah, (6) Madrasah dan Masa Depan Bangsa, (7) Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan Ideal, (8) Mewujudkan Santri yang Beradab, (9) Menjadi Santri yang Beradab, (10) Santri Unggul Karena Adab, (11) Karakter Santri Unggul Indonesia, (12) Santri Membangun Desa, (13) Menjadi Santri yang Memimpin, (14) Santri yang Memimpin, (15) Santri Sebagai Pemersatu Bangsa, (16) Santri Pemandu Peradaban Indonesia, (17) Santri Pemandu Peradaban, (18) Peran Santri Dalam Merawat Indonesia, (19) Peranan Santri Dalam Merawat Indonesia, (20) Rahasia Santri dalam Menjaga Indonesia, (21) Urgensi Pendidikan Pesantren, (22) Pesantren; Kini dan Masa Depan, (23) Pesantren sebagai Benteng Pertahanan Moral, (24) Strategi Memajukan Pesantren, (25) Pesantren dan Kaderisasi Ulama, (26) Santri dan Indonesia Emas 2045, (27) Santri Menyambut Era Society 5.0, (28) Kaum Santri dan Peradaban Global, (29) Menjadi Santri yang Negarawan, dan (30) Menulis Sebagai Jalan Jihad Kaum Santri.
Penulisnya adalah Adittya Irawan, Ahmad Rosidi, Ainul Mardiyah, Ayatul Husna, Beryana Evridawati, Dail Maruf Yasalam, Dina Kholis Aziza, Eka Sukmana, Eko Setyo Budi, Eman Suherman, Feri Rustandi, Harum Margasari, Muhammad Imran, Mustopa, Nala Ramadhani, Nuril Hidayati, Nurul Hikmah, Nurul Mukhlisin Asyrafuddin, Rahma Aidya Puspitasari, Resti Rismayasari, Rizka Thohiroh, Rusdan, Selva Laras Puspita, Syamsudin Kadir, Sudarjo Abd. Hamid, Ta`Tina Rizkiyyah, Uun Machsunah, Yesha Efrilianik, Yunita Humaero’, dan Zaki Hidayat.
Hadirnya buku “Santri Negarawan” merupakan penegas betapa tradisi baca, tulis dan diskusi merupakan tiga komponen penting yang melekat dalam diri santri. Dengan demikian, bila santri menulis buku dan tulisan di media jenis lainnya, maka itu bukan sebuah aktivitas asing. Hanya saja, di era ini, bila santri menulis terutama menulis buku, itu merupakan aktivitas istimewa dan spesial. Sebab di tengah hadirnya media sosial dan media online dengan segala konten dan kompleksitasnya, masih ada generasi yang menjaga tradisi menulis, sehingga menghasilkan buku yang layak dibaca.
Berbagai ungkapan mashur masih terngiang dalam ingatan kita, “Buku adalah jendela dunia”, “Membaca adalah kunci ilmu”, dan masih banyak lagi ungkapan lainnya. Namun faktanya cukup membuat kita mengelus dada, sebab hanya sedikit yang memiliki kesungguhan untuk menjaga tradisi baca dan tulis juga kebiasaan membeli buku. Bahkan harus diakui tak sedikit diantara kita yang merasa enggan untuk membeli buku walau hanya seharga Rp 75.000, namun merasa biasa dan bangga membeli makanan seharga Rp 250.000 di mall atau tempat mewah lainnya. Investasi untuk mengisi perut jauh lebih besar daripada investasi untuk mengisi akal (otak), meningkatkan ilmu pengetahuan dan menguatkan iman-taqwa.
Pada momentum Islamic Book Fair (IBF) 2023 di Jakarta 24 September 2023 lalu, Prof. Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, M.A.Ed., M.Phil. (Cendekiawan Muslim asal Pondok Pesantren Gontor) menyampaikan sebuah orasi ilmiah seputar literasi. Kala itu, penulis buku “MISYKAT” ini menyampaikan pesan jenial. “Belajarlah membaca, belajarlah berdiskusi dan belajarlah menulis. Anda tidak akan bisa menulis kecuali Anda biasa membaca, dan Anda tidak akan bisa menulis kecuali Anda biasa berdiskusi”. Ungkapan ini layak menjadi inspirasi dan menyadarkan kita tentang tradisi baca, tulis dan diskusi, termasuk peranan santri di era ini dan ke depan. Salam literasi, salam santri negarawan! (*)
* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku “Merindui Nurul Hakim” dan “Santri Negarawan”
Komentar
Posting Komentar