Meneladani Nabi, Sang Pendidik Sejati


KINI di sebagian tempat sedang hiruk pikuk memperingati kelahiran nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Tanpa menyisihkan berbagai pendapat terhadap boleh atau tidaknya memperingati kelahiran sang nabi, sejatinya ada satu hal penting yang perlu mendapatkan perenungan mendalam, yaitu tentang keunikan dan kemampuan sang nabi tercinta dalam melahirkan satu peradaban gemilang. 

Bahkan kini Islam menjadi agama bukan saja dianut oleh manusia di kawasan Arab, bahkan sudah menjadi agama sebagian besar manusia di seluruh dunia, atau apa yang disebut oleh Prof. Syed Mohammad Naquib Al-Attas, sebagai agama peradaban. 

Pertanyaannya, mengapa Islam berkembang dan bertumbuh begitu pesat, dan tidak terlekang oleh ruang dan waktu? Mengapa jumlah umat Islam semakin meningkat bahkan proses penelitian juga pengkajian terhadap Islam begitu masif, yang bukan saja oleh kaum muslim bahkan non muslim? Apa rahasia sang arsitek sehingga mendapat simpati hingga dipeluk ratusan juga bahkan mencapai 1,5 triliun manusia? Bagaimana strategi dan polanya agar apa yang dilakukan oleh sang nabi di masa lampau dapat kita adaptasi, inovasi bahkan teladani di era ini sehingga masa depan lebih gemilang dari saat ini? 

Allah berfirman, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (QS. al-Ahzab [33]: 21).

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah rasul terakhir (khataman nabiyin wa al-mursalin), beliau diutus untuk menyempurnakan agama-agama sebelumnya, dan menjadi rahmatan lil ‘alamîn. Karenanya Islam yang beliau bawa, misinya universal dan abadi. Universal artinya untuk seluruh manusia dan abadi maksudnya sampai ke akhir zaman.   

Menurut Sejarawan Islam Kuntowijoyo (2000), kehadiran dan keberadaan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, selaku personifikasi Wahyu yang berada dalam ruang dan waktu tertentu (limited), telah berhasil memformat, membangun dan mengembangkan ajaran-ajarannya setelah berinteraksi dengan situasi, kondisi, kultur, tradisi, karakter alam dan konstruksi sosial masyarakat Arab yang sangat partikularistik. 

Dalam sebuah riwayat, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri bersabda: “Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan keutamaan akhlak” (HR. Ahmad dan Baihaqi).   

Dalam diri Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, sarat dengan nilai moral dan akhlaqul karimah. Suatu ketika seorang sahabat bertanya kepada ‘Aisyah ra., tentang sifat-sifat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Aisyah dengan perasaan terharu, mengatakan bahwa khuluquhu Alquran, akhlaq rasulullah adalah al-Qur’an. Jadi, kata kuncinya adalah keteladanan; kesesuaian antara apa yang di hati, ucapan dan perilaku dalam kehidupan nyata. 

Dari beberapa hal tersebut di atas setidaknya mengandung makna substantif; Pertama, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dapat dipandang sebagai the living al-Qur’an, personifikasi pesan-pesan al-Qur’an, sejak beliau mendapat Wahyu dari Allah. 

Al-Qur’an menyebut beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dengan kata kunci, uswatun hasanah (suri teladan yang baik), dan; Kedua, mengandung pengertian bahwa sebagian besar kandungan al-Qur’an merupakan sarat dengan muatan akhlaqul karimah atau akhlak mulia bahkan dari hasil penelitian menyebutkan 90% lebih isi  kandungan al-Qur’an mengandung pesan-pesan yang bermuatan pendidikan akhlak sekaligus pendidikan moralitas.                        

Al-Qur’an, sebagai sistem nilai seperti dijelaskan sebelumnya bersifat universal, mencakup semua aspek, likulli hal wa al-zaman, mencakup ruang dan waktu. Proses interaksi yang intens antara universalitas al-Qur’an dan partikularitas kultur asli masyarakat Arab merupakan sebuah realitas dimulainya “pembangunan manusia yang sangat ideal” (khaira ummah), berbasis moralitas Islami, dengan konstruksi masyarakat Islam secara kaffah. 

Pembangunan yang berasaskan akhlak dan moral, merupakan  prinsip-prinsip dalam mengubah (taghyîr) dari prilaku yang tidak terpuji kepada yang mulia, sesuai penegasanya, untuk menyempurnakan akhlak manusia. Yang menjadi penekanan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dan program prioritas adalah berupaya merehabilitir manusia lebih diutamakan dan selanjutnya memperbaiki kondisi kehidupan dunia, yang saat itu dinilai sudah sangat parah dan kronis. 

Hal tersebut menunjukkan bahwa sesuai konsep Islam manusia harus lebih dulu diperbaiki, menjadi baik, kemudian baru bisa dan dapat menggagas kebaikan dunia dan masyarakat secara menyeluruh. 

Menurut Pakar Pendidikan Adian Husaini (2010), konsep yang ditawarkan Islam tentu sangat bertentangan dengan versi Barat (non muslim) saat ini, yang lebih mengutamakan rehabilitasi alamnya dari pada manusia, maka tidaklah heran munculnya berbagai pranata sosial baik di bidang hukum, keadilan, hak-hak asasi manusia yang tidak sejalan dengan asas-asas Islam yang universal. 

Melalui uswatun hasanah yang demikian menyatu dalam diri Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang sejak usia remaja dikenal dengan sebutan al-Amin, telah mampu membawa perubahan besar bagi jazirah Arab yang saat itu dijuluki dengan jahiliyah, didominasi superioritas kuffar Quraisy, yang akhirnya tidak berdaya untuk menghambat dan menolak pesan-pesan moral yang dibawanya, di samping sarat dengan nilai-nilai Ilahiyah.

Melalui penanaman nilai akidah (imani) semakin meningkatkan harkat dan martabat jati diri manusia yang sebelumnya sudah berada pada dataran binatang. Dengan demikian secara evolusi telah menimbulkan rasa tanggung jawab terhadap agamanya, karena nilai iman dan malu. Budaya malu itu sendiri diabstraksikan secara kaffah dalam wujud masyarakat ideal lewat jalur mentalitas akhlak, al-hayau minal  iman, budaya malu itu sesungguhnya merupakan sebagai dari (tolok ukur) kualitas iman seseorang” (HR. Bukhari dan Muslim). Bahkan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan malu dan iman itu padanan yang serasi, bila salah satunya hilang, hilanglah kedua-duanya.

Prinsip berikutnya adalah penekanan pada ‘ubudiyah, yaitu kegiatan rutinitas pendekatan diri dalam hubungan dengan khalik-Nya. Ibadah (dalam arti ritual) dapat dijadikan sarana untuk mencapai tingkat kedekatan (taqarrub) dengan Allah melalui ibadahnya (baca: shalat), akan menjadi sebuah “kekuatan potensial” dan sumber energi bagi dirinya. 

Itulah contoh dari pribadi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya. Kedisiplinan dalam mendirikan shalat misalnya menjadi perhatian khusus bagi para sahabatnya, sehingga terucap kalimat: “Mengapa baginda sangat rajin beribadah, padahal Allah telah menjamin baginda seorang ma’shum dan dijamin masuk surga? Jawaban Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hanya singkat: bukankah engkau senang melihat aku ini sebagai salah seorang hamba Allah yang paling banyak bersyukur?”

Satu potret jenial kehidupan yang tak basa-basi, namun penuh inspirasi dan layak dicontoh. Lebih-lebih di era ini, apa yang sang nabi praktikkan perlu menjadi pijakan kita, agar tak terjebak dalam kubangan kenistaan dunia yang semakin dipenuhi ilusi.

Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendapat informasi, seorang pejabatnya yaitu Ibnu Luthbiyah (petugas Amil Zakat) menerima hadiah dari seseorang, lalu ia dipanggil: “Bagaimana engkau menerima sesuatu yang bukan hakmu?” Luthbiyah menjawab: “Itu hadiah ya Rasulullah, bukan suapan”. Selanjutnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan nada marah berkata: “Adakah seseorang yang duduk di rumahnya akan menerima sesuatu atau hadiah itu, sedang dia tidak diberi hak (jabatan) dari kita.” Selanjutnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkannya untuk menyerahkan ke Baitul Mal dan pejabat tersebut dipecat. 

Dari kasus tersebut setidaknya ada tiga hal yang dapat diambil; Pertama, terungkap bahwa Ibn Luthbiyah telah melakukan manipulasi data zakat; Kedua, menunjukkan tidak bolehnya seorang pejabat mengambil upah dalam menjalankan suatu pekerjaan, karena tugas tersebut sudah menjadi kewajibannya dan ia sudah digaji oleh negara, dan; Ketiga, seseorang dilarang memberi hadiah kepada pejabat atau hakim karena jabatannya, sehingga menimbulkan ketidakadilan. 

Dalam waktu lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, menerima delegasi yang dipimpin Usamah bin Zaid, untuk memohon keringanan hukuman seorang pencuri perempuan dari suku Makhzumiyah. Permintaan maaf itu dilakukan karena perempuan tersebut berasal dari suku terhormat, dan Usamah, dianggap lebih pantas menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan nada kesal, mengatakan kepada Usamah, apakah kamu ingin mengubah dan meringankan hukuman yang telah ditentukan Allah? 

Lalu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri dan bersabda: “Bahwasanya binasanya umat sebelum kamu, apabila yang mencuri dari kalangan orang terpandang, mereka biarkan, dan apabila yang mencuri dari kalangan rakyat biasa, mereka tegakkan hukumnya. Demi diriku dalam genggaman Allah, sekiranya Fatimah anakku mencuri, sungguh aku potong tangannya” (HR. Bukhari dari `Aisyah ra.).

Prinsip keadilan seperti itu pula, telah mengundang banyak orang, memilih Islam sebagai agamanya, dan bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Penegasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut, juga telah mendidik kita agar dalam menetapkan hukum, tidak boleh bersikap diskriminasi, sekalipun untuk keluarga sendiri, yang benar tetap benar, dan yang salah tetap salah. Bila di zaman sekarang setiap aparat penegak hukum bersikap adil dalam memutuskan perkara, sungguh betapa indah dan nyamannya bagi setiap pencari keadilan. 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memiliki sikap tegas terhadap orang kuffar (asyiddau ‘alal kuffar), artinya menyangkut akidah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tidak ada kompromi dan tidak ada toleransi (tasamuh). Lakum dinukum waliyadin, bagimu agamamu, bagiku agamaku. Tetapi terhadap sesama mereka (umat Islam), beliau bersikap ruhamau bainahum, diliputi penuh kasih sayang. 

Sikap tegas yang beliau shallallahu ‘alaihi wasallam lakukan tidaklah membabi buta, atau menghantam siapa saja, tetapi senantiasa dihadapi dengan hikmah (bijaksana) dan lemah lembut (linta lahum). Karena sifat lemah lembut ini pula yang mengundang rasa hormat dan simpatik terhadap beliau Saw. dari semua elemen masyarakat era itu. “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung” (QS. al-Qalam: 4). 

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bukan sekadar manusia biasa, tapi beliau shallallahu ‘alaihi wasallam adalah nabi sekaligus rasul atau dalam istilah Yusuf Qardhawi (2000) sebagai arsitek peradaban yang memiliki kelayakan untuk menghadirkan peradaban Islam sepanjang sejarah umat manusia. Beliau tidak sekonyong-konyong mendapat amanah dari Allah, tapi beliau shallallahu ‘alaihi wasallam melayakkan dirinya sebagai manusia yang layak mendapatkan amanah mengkonstruksi secara nyata suatu idealisme tentang peradaban umat manusia yang maju atau beradab.   

Sebab sudah saatnya bagi kita untuk secara serius dan sungguh-sungguh membaca, memahami dan mendalami sejarah dan praktik hidup Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam lalu meneladaninya dalam segala aspek kehidupan kita, baik dalam skala individu, keluarga, masyarakat bahkan negara. Sungguh, hanya dengan begitulah perasaan cinta kita kita kepada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjadi semakin berharga dan membawa manfaat bagi masa depan diri, masyarakat dan negara tercinta, bahkan bagi sejarah baru Indonesia juga dunia. (*)


* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku “Menjadi Pendidik Hebat”

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah