Dari Ruang Siaran Ke Motoran Bersama Mudir


PENGALAMAN nyantri selama 6 tahun mulai dari tahun 1988-1993 sungguh penuh suka duka dan kenangan yang tak akan terlupakan. Begitu tamat dari Madrasah Aliyah (MA) Putra di tahun 1993, saya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan Ma’had Aly. 

Di tahun 1993 itu, Nurul Hakim mendapatkan bantuan peralatan siaran radio. Sehingga pihak yayasan membuka “audisi” calon penyiar radio Nurul Hakim. Saya pun mendaftarkan diri bersama beberapa kawan lainnya. Rupanya pihak yayasan tidak main-main dalam proses audisi, karena salah satu panelis juri melibatkan kepala stasiun penyiaran RRI Mataram. 


Sepertinya suara saya cukup berkualitas sebagai calon penyiar radio, sehingga akhirnya saya terpilih setelah mengalahkan peserta lainnya. Sungguh saat itu saya merasa sangat bahagia, bangga, bersyukur dan benar-benar tidak menyangkan akan terpilih. Sesosok santri asal Desa Luk Lombok Utara terpilih menjadi penyiar radio pondok pesantren Nurul Hakim Kediri. Sebagai penyiar saya menggunakan nama Awaludin Al Ajmi menjadi nama “panggung”. Namun, nama “Ustadz Awel” yang akhirnya terkenal tidak hanya di kalangan santri Nurul Hakim, namun juga masyarakat wilayah Lombok Barat dan Lombok Tengah yang bisa menangkap siaran radio tersebut.

Ada banyak cerita penuh kenangan ketika menjadi penyiar radio. Apalagi saat harus membacakan surat-surat dari pendengar setia, baik itu dari masyarakat Kediri maupun dari para santriwan dan santriwati. Bahkan hingga saat ini, ketika bertemu saya, banyak santriwan dan santriwati yang menyebutkan kenangan mereka berkirim pesan dan salam.

Selama menempuh pendidikan Ma’had Aly, selain menjadi penyiar radio, saya juga memiliki tugas lain yang menurut saya sangat berkah. Saya menjadi “ojek” Mudirul Ma’had. Saya diamanahi tugas untuk mengantar dan menjemput mudir TGH. Safwan Hakim ke tempat-tempat beliau mengisi pengajian. Sebelum subuh maupun selepas Magrib atau Isya, saya membonceng beliau dengan sepeda motor “Tornado” ke pondok putri maupun ke lokasi-lokasi pengajian di luar pondok.

Masih sangat membekas di kenangan saya, jika beliau merasa saya mengendarai motor terlalu ngebut, beliau akan memijit pundak saya sebagai kode agar saya memelankan laju “Tornado”. Bahkan, beliau sesekali memijit pundak saya untuk memberikan saya semangat dan tidak merasa lelah. Setiap kali mengingat hal itu, rindu yang teramat dalam terasa di hati saya untuk beliau. Sosok yang penuh ketawadhuan. 

Setiap perjalanan diatas “Torando”, beliau senantiasa menyisipkan pesan-pesan dan petuah-petuah yang sarat makna. Beliau banyak sekali berpesan tentang keikhlasan dan kesabaran. Sabar jika diterpa kesulitan. Ikhlas dalam mengerjakan segala hal. Utamakan keikhlasan, jangan memikirkan ganjaran. Karena Allah sebaik-baik pemberi ganjaran. 

Saya pun menyaksikan betapa beliau benar-benar memikirkan kelangsungan pondok. Setiap kali beliau menghadapi masalah yang cukup berat terkait pondok, beliau akan menghabiskan malam hari dengan berkhalwat di kamar beliau, berdzikir, sholat dan berdoa. Beliau siapkan sebaskom air di dekat sajadah, agar ketika beliau terasa mengantuk, beliau akan segera membasuh wajah hingga segar kembali.

Di suatu perjalanan, beliau sempat berkata, “Wal, jadilah seperti air putih, tidak mewah tapi sangat bermanfaat”. Semua petuah dan wejangan beliau seakan-akan menjadi doa untuk saya, dan akan senantiasa saya amalkan. (*)


* Oleh: Awaludin, Guru Bahasa Inggris MTs Putra Ponpes Nurul Hakim. Tulisan ini dimuat pada halaman 34-36 buku “Merindui Nurul Hakim”


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok