Nilai Luhur Warisan Kakek Jatong


NAMANYA tergolong unik, Djatong atau Jatong. Akrab juga disapa Tae Tegong oleh cucu-cucunya. Bila dirumuskan, silsilah Jatong yaitu Jatong bin Rau bin Mela bin Kolong bin Do bin Legang bin Pindut bin Tereng bin Lengko bin Ndung bin Umbu. 

Jatong merupakan kakek saya atau ayah dari ayah saya, atau ayah dari Pua. Nama istrinya adalah Siti Seria asal Ceremba, kerap saya sapa nenek atau dalam Bahasa Manggarai-NTT, Tae. Dari pernikahan dengan nenek ini kakek dikarunia 6 orang anak yaitu Setima, Abdul Tahami, Hatima, Abdullah Malik, Muhamad Hamnu (almarhum) dan Siti Haisa.  

Kakek sendiri lahir sekitar tahun 1877 dan meninggal pada tahun 1987 akhir di Cereng. Cereng merupakan salah satu kampung di Manggarai Barat-NTT. Tepatnya di Desa Golo Sengang, Kecamatan Sano Nggoang, Kabupaten Manggarai Barat yang kala itu masih merupakan bagian dari Desa Golo Manting, Perwakilan Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai.  

Ketika beliau meninggal, saya baru berusia 4 tahun. Saya masih ingat kala itu badan beliau sedikit demam dan tak lama kemudian meninggal dunia. Dan, ketika itu saya ada di dekat beliau. Karena memang saya termasuk yang sering tidur dengan beliau. Kala itu Pua sedang ada kegiatan musyawarah kampung di rumahnya Bapak Bahaman.

Untuk urusan makan, kakek paling suka makan nasi beras merah, nasi beras ketan, sayur terong, kacang-kacangan, daun pepaya, bunga papaya, daun ubi, dan masih banyak lagi. Beliau juga suka makan jagung, talas dan ubi-ubian. 

Untuk buah-buahan Kakek suka makan pepaya, pisang, nanas, sirsak, kelapa dan masih banyak lagi. Terus beliau juga suka makan daging kerbau dan rusa yang biasanya diperoleh dari hasil perburuan di hutan dan tanah lapang yang tak jauh dari kampung. 

Warisan Berharga 

Pada zaman itu, kakek memiliki sapaan atau julukan khas. Julukan itu diberikan oleh para tokoh masyarakat dan masyarakat pada umumnya. Tiga julukan Kakek adalah raba, tamba dan pau. Hal tersebut diungkap oleh salah satu cucunya, anak pertama dari anak pertamanya (Ibu Setima), yaitu Bapak Muhamad Aca saat saya melakukan wawancara lewat telephon pada Sabtu 11 Oktober 2025 siang. 

Apa yang diungkap oleh sosok yang akrab saya sapa Kakak atau Ka’e Tu’a ini mendapat afirmasi, bahkan telah diungkap juga oleh para tetua di kampung era 1990-an saat saya masih menempuh pendidikan SD di kampung dan era 2000-an saat saya pulang libur ketika masih kuliah dan berkarier di Bandung dan Subang, Jawa Barat. 

Pertama, Raba. Raba berarti tampung, tertampung, jaga, terjaga, tahan dan tertahan, dan tampung, tertampung.

Maknanya, kakek adalah tempat bertanya masyarakat zaman itu. Bahkan kakek juga menjadi tempat masyarakat memohon bimbingan, arahan dan kebijaksanaan dalam menyelesaikan berbagai masalah. 

Uniknya, tak sedikit masyarakat yang merasa setiap keluhannya didengar dan setiap masalah terselesaikan dengan baik. Kakek menjadi sosok pendengar yang baik dan bijaksana dalam memberi bimbingan, arahan dan nasehat. Sehingga siapapun merasa didengar dan diperhatikan serta mendapatkan jawaban yang memuaskan.  

Kedua, Tamba. Tamba berarti tambah, bertambah, tumbuh, bertumbuh, dan kembang, berkembang. Pada zaman itu, siapapun yang datang silaturahim atau berkunjung ke rumah kakek, selalu merasa ada hal baru, baik ilmu dan wawasan maupun perspektif tertentu. 

Siapapun yang datang berkunjung, selalu merasa mendapatkan pencerahan dan ulasan penuh makna. Taka da yang merasa direndahkan dan dilecehkan, justru sebaliknya merasa dihormati, dimuliakan dan ditinggikan. Mereka merasa potensi dan dirinya bertumbuh dari biasanya.

Ketiga, Pau. Pau berarti mangga, pohon mangga. Maknanya, kakek selalu berupaya berorientasi pada hasil yang disimbolkan oleh buah manga yang manis. Jadi, kakek bukan saja memberi sesuatu yang dibutuhkan, tapi memberi sesuatu yang dapat dimanfaatkan oleh siapapun. Dan secara realitas, zaman itu kakek memang akrab dengan mangga. Bagaimana pun, rumah kakek kala itu berdekatan dengan manga dengan buahnya yang enak dan manis, sehingga kerap diminta oleh keluarga besar dan masyarakat sekitar. 

Makna dan Pesan

Seingat saya, kakek termasuk tetua yang sangat dihormati dan disegani di kampung. Ada begitu banyak tamu yang sering berkunjung dan berbicara dengan beliau. Temanya banyak dan beragam, dari adat dan budaya hingga sejarah dan pertanian. Di samping obrolan harian khas orang kampung. Tentang sawah dan ladang atau kebun. Tentang kemiri, jambu, kelapa, nanas, sirsak, ubi, jagung, padi, dan masih banyak lagi. 

Walau tak begitu paham seluruh perbincangan beliau dengan para tamunya, namun seingat saya perbincangannya ada yang serius dan ada juga yang santai. Menurut cerita sebagian tetua generasi setelah beliau, kakek termasuk sesepuh yang pembicaraan dan kata-katanya didengar. Selain karena termasuk yang berusia tua, beliau juga memang memiliki banyak petuah yang sangat dinanti oleh banyak kalangan.

Masih menurut cerita para tetua di kampung yang saya dengar di kala saya SD tahun 1990-1996, kakek adalah sosok yang kerap ditanya tentang banyak hal. Bila ada masalah keluarga dan kampung yang perlu penyelesaian, maka kakeklah tempat orang datang dan bertanya. Bahkan orang di luar kampung juga kerap datang berkunjung atau silaturahim ke beliau untuk berbagi cerita dan menemukan solusi atas berbagai permasalahan mereka.

Uniknya, para tamunya kadang istirahat atau bermalam di rumah. Perbincangan pun bukan satu tema tapi banyak tema. Salah satu yang lama diperbincangkan adalah sejarah para leluhur dan tentang tanah ulayat yang belakangan ini hampir-hampir jarang diperbincangkan oleh para tetua dan generasi muda. Kakek, dengan daya dan nalarnya, begitu apik menceritakan setiap tema yang menjadi perbincangan.

Kakek pun dikenal sebagai sosok yang bijaksana, cerdas, disiplin, ulet dan berwawasan luas serta akrab dengan semua kalangan. Jiwa kepemimpinannya sangat terasa dan memang dirasakan oleh semua kalangan pada zamannya. Padahal beliau tidak pernah menempuh pendidikan formal, namun beliau tergolong sosok pendidik yang sukses di keluarga dan bagi masyarakat kampung. 

Sikap bijaksana, kecerdasan dan kedisiplinan termasuk keuletan juga wawasannya yang luas,  juga keakrabannya dengan semua kalangan sangat dirasakan oleh siapapun, terutama oleh anak dan keluarga besarnya. 

Dan belakangan, semua itu terwariskan dengan baik kepada anak-anaknya. Pua, misalnya, benar-benar mewarisi karakter dan keunikan kakek. Bila kakek dulu didengar dan menjadi tempat orang bertanya, Pua yang merupakan anak kedua beliau juga didengar dan menjadi tempat orang bertanya. 

Selain mendapatkan didikan dan tempaan langsung dari kakek, Pua juga menempuh pendidikan formal dari SD dan SMP hingga SMA. Hal itu sangat wajar, sebab seingat saya dan menurut cerita para tetua di kampung baik dulu maupun saat ini,  Pua adalah salah dari dua atau tiga warga di kampung yang bisa melanjutkan pendidikan hingga lulus SMA. Selain itu, sepengetahuan saya sesuai cerita para tetua, kala itu sebagian orang hanya bisa menempuh SMP atau bahkan SR atau belakangan SD. Itu pun sebagiannya tidak sampai lulus. 

Selain Pua, yang sukses menamatkan pendidikan SMA adalah paman saya atau anak dari adik nenek saya atau anak dari bibinya Pua. Namanya Bapak Abdullah Sehami yang kini sudah meraih gelar Doktor dan menjadi akademisi di UHAMKA Jakarta. Kemudian paman saya sendiri atau adik kandungnya Pua, Ir. Abdullah Malik yang kini membangun perusahaan di Kota Bandung-Jawa Barat. Masing-masing keduanya kini menjadi warga DKI Jakarta dan Jawa Barat. Sementara saya menjadi warga Jawa Barat. 

Belakangan Pua pun kerap mendapatkan amanah masyarakat untuk menjadi Kepala Dusun Cereng dan Ketua LKMD Desa Golo Manting. Belakangan Bapak saya pun diberi amanah sebagai Kepala Desa Persiapan untuk Desa Golo Sengang. Kemudian beberapa waktu berikutnya terpilih secara definitif sebagai Kepala Desa Golo Sengang sehingga beberapa tahun menjelang beliau meninggal dunia.

Hidup sebagai orang kampung yang penuh keterbatasan tak membuat Pua merendah, justru lebih terpantik untuk menjadi sosok pembelajar. Saat itu tak ada listrik, adanya lampu pelita yang mengandalkan minyak tanah. Itupun mendapatkan minyak tanah saat itu sangat sulit. Namun dari situlah Pua belajar tentang banyak hal. 

Nilai dan prinsip hidup, serta karakter juga segala hal yang menjadi keunggulan kakek di kala hidup bukan saja terwariskan pada Pua dan anak-anaknya yang lain, tapi juga pada saya dan cucu juga cicit beliau. Walau tak mampu mencontoh secara sempurna, saya dan keturunan beliau akan berusaha untuk mengikuti jejak beliau yang didengar kata-katanya dan menjadi panutan yang baik bagi keluarga juga masyarakat. 

Entah siapa diantara keturunan beliau yang kelak benar-benar mampu meneladani dan mewarisi seluruh potensi dan keunggulan beliau, itu biarkan waktu dan sejarah yang mengulas kembali. Kakek dengan segala kelebihannya tentu memiliki kekurangan yang tak perlu diungkap, sebab setiap manusia pasti memiliki kekurangan dan kelemahan. 

Semangat menjadi pembelajar, menjadi pembawa kedamaian, menjadi pembawa kesejukan dan penenun kebersamaan adalah nilai penting dari kakek yang perlu dilanjutkan oleh keturunannya.  

Dalam konteks masa depan, hal penting lain yang perlu dilakukan oleh keturunan kakek yang kini sudah ratusan orang dan menyebar di berbagai tempat di Manggarai Barat-NTT bahkan di Pulau Jawa seperti Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jogjakarta, Jawa Timur dan sebagainya, adalah meneladani dan mewarisi kebaikan-kebaikan beliau. 

Bukan saja kebijaksanaan, kecerdasan, kedisiplinan, keuletan dan wawasannya yang luas tapi juga kerakrabannya dengan semua orang dan jiwa kepemimpinannya. Dan satu hal yang paling sulit namun perlu diwariskan lagi adalah pembicaraannya yang selalu berisi dan merasuk ke dalam hati atau jiwa pendengarnya. Terima kasih kakek, semoga Allah menyediakan bagimu surga terbaik! (*)


* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku "Abdul Tahami; Ayah, Guru dan Pemimpin Inspiratif" 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok

Anatomi dan Klasifikasi Ayat-Ayat Al-Qur’an